Beata Rani Mariam Vattalil FCC : Pengampunan yang Membebaskan

481
Beata Rani Mariam Vattalil FCC.
[sistersfcc.com]

HIDUPKATOLIK.comIa dibunuh untuk mematahkan rasa benci dan rakus akan kekuasaan. Kematiannya menjadi tanda pertobatan bagi banyak orang.

Tiga pria berpakain putih memasuki sebuah bus jurusan Indore, India. Di Nachanbore, India, kursi paling depan dekat sopir selalu diprioritaskan bagi biarawan-birawati. Maka bila ada biarawan-biarawati yang menumpangi bus itu, mereka diberi kehormatan untuk duduk dekat sopir.

Tradisi ini tidak diindahkan oleh Jeevan Singh, seorang dari tiga pria tadi. Tanpa rasa bersalah, ia menaruh tas dan duduk di kursi terdepan. Melihat itu, sopir memintanya pindah. Namun, Jeevan justru terbawa emosi, keduanya lalu terlibat pertengkaran.

Melihat situasi ini, Sr Liza Rose FCC, pemimpin biara di Nachanbore meminta agar seorang anggotanya Sr Rani Mariam Vattalil FCC tetap dizinkan menumpangi bus itu dan duduk dekat dua pria teman Jeevan. Sr Rani tanpa curiga langsung meletakkan tasnya dan duduk dekat Dharmendra dan Samunder Singh, pengusaha ternama di Indore.

Di tengah jalan, Jeevan sekaligus pemimpin komplotan itu menodang pisau ke arah sopir. Ia meminta agar si sopir memberhentikan bus yang ditumpangi sekitar 40 orang tersebut. Rani yang saat itu diapit dua pria tadi tidak berkutik ketika Dharmendra mengeluarkan pisau dari saku bajunya dan menghunus di perut biarawati Fransiskan Klaris ini.

Dibantu oleh Samunder, keduanya menyeret tubuh Sr Rani keluar dari bus dengan terus menusuk perutnya. Para penumpang yang takut akan kejadian itu melarikan diri termasuk sang sopir. Dengan 14 kali tusukan, tubuh Sr Rani tewas seketika. Jazadnya lalu dibuang dekat ilalang di bukit Nachandbore.

Aktivis Keadilan
Setelah kematiannya, para biarawati menghubungi Uskup Emeritus Indore, Mgr George Marian Anathil SVD (1932-2009) dan meminta bantuan untuk mencari tahu alasan dibalik kematian suster dari Ordo Ketiga Fransiskan ini. Polisi bersama utusan dari Keuskupan Indore mengambil jazadnya dan membawa ke wisma keuskupan untuk didoakan. Tubuhnya berlumuran darah dengan luka di sekujur tubuh.

Setelah mendengar kematian suster kelahiran Pulluvazhy, distrik Ernakulam, Kerala India, 29 Januari 1954 ini, Uskup Agung Bombai Kardinal Oswald Gracias meminta kepada seluruh umat untuk berdoa khusus bagi Sr Rani.

“Sr Rani adalah contoh martir heriok. Ia meninggal karena keberpihakannya kepada orang miskin dari pemilik tanah di India yang rakus akan kekuasaan. Kematian Sr Rani adalah tanda bagaimana kebencian dan rakus akan kekuasaan masih merajalela dalam hati kita,” ujar Kardinal Oswald seperti dilansir Catholicherarld.

Sementara itu, karena perbuatannya Samunder bersama dua rekannya dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Hebatnya setelah vonis hukuman mati ini, para suster FCC dari wilayah Kidangoor dan Nachanbore mengunjungi Singh pada 31 Agustus 2002. Dalam kunjungan itu, Singh meminta pengampunan kepada para suster. Singh menyesal karena kekuasaan, seorang biarawati dibunuh.

Hal yang sama juga dilakukan Singh kepada ibunda Sr Rani, Eliswa Vattalil saat mengunjunginya pada 25 Februari 2003. Ia memohon ampun dan mencium tangan Eliswa. Pengampunan terjadi dalam penjara ketika Eliswa memeluk erat Singh dan meminta Singh untuk bertobat.

Singh dibebaskan dari penjara tahun 2006 karena berperilaku baik. Keluarga Vattalil lalu mengangkat Singh sebagai anak dan tinggal di kamar milik Sr Rani. Dalam keluarga saleh ini, Singh mengalami pertobatan dan melanjutkan karya Sr Rani sebagai pengajar bagi orang-orang miskin.

Singh juga hadir dalam Misa Beatifikasi Sr Rani yang dipimpin Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus Kardinal Angelo Amato SDB di Indore, 4 November 2017. Sepanjang Misa beatifikasi, Singh terlihat meneteskan airmata. Ia memukul dirinya dan berlutut di hadapan relikui Sr Rani. Singh bertobat bukan karena keluarga Vittalil semata tetapi ketulusan hati dan penerimaan umat Katolik India kepadanya. Saat beatifikasi itu, banyak umat membawakan spanduk bertuliskan “Kami memaafkanmu Singh”.

Proses beatifikasi kematian Sr Rani dimulai pada 26 September 2003 di Keuskupan Indore dalam kerja sama dengan para Kongregasi FCC. Perjuangan ini berbuah setelah mendapatkan validasi dari Komisi Penggelaran Kudus Vatikan pada 29 Juni 2005. Paus Benediktus XVI menggelarinya Venerabilis pada 27 November 2009. Delapan tahun kemudian, Paus Fransiskus menyetujui kemartiran Sr Rani pada 23 Maret 2017.

Biarawati “Nomaden”
Sejak kecil, Rani sudah menunjukkan kesalehan. Ia lahir dari keluarga Kristen Siro Malabar dan Katolik. Sang ayah Paily beragama Kristen Malabar sementara sang ibu seorang Katolik yang saleh. Ia dibaptis sebagai Katolik pada 5 Februari 1954 di Gereja St Thomas Rasul India.

Anak kedua dari tujuh bersaudara ini dikenal memiliki hati yang peka terhadap orang-orang miskin. Karena didikan disiplin hidup kekristenan yang kuat, tiga anak dalam keluarga ini memutuskan mengabdi untuk Tuhan yaitu Sr Rani, Pastor Selmy Paul OFM, dan Sr Lusi Vattalil FCC.

Sejak menerima komuni pertama pada 30 April 1966, Rani sudah memutuskan ingin menjadi biarawati. Ia tidak sendirian. Ia mengajak sepupunya Cicily agar keduanya bisa masuk menjadi biarawati Fransiskan Klaris di Kidangoor, India.

Cicily yang saat itu masih terbilang muda menyetujui tawaran ini. Keduanya lalu mendaftarkan diri sebagai aspiran pada 3 Juli 1971. Di biara itu, Rani mengganti nama menjadi Sr Rani Maria sementara Cicily bernama Sr Soni Maria.

Mereka menjadi postulan pada 1 November 1972- 29 April 1973 lalu menyelesaikan masa Novisiat pada 20 April 1974. Kemudian Sr Rani ditugaskan untuk melayani orang-orang miskin di Keuskupan Indore. Ia mendedikasikan hidupnya untuk membantu pelayanan di bidang pendidikan kepada anak-anak miskin di pinggiran Kota indore. Ia guru sekaligus ibu bagi sejumlah anak.

Sebelum dikirim ke Biara St Maria Bijnor, ia mengucapkan profesi pertama pada 1 Mei 1974. Di Binjor, ia diutus membantu pelayanan pendidikan di Distrik Utar Pradesh, India itu. Di situ juga, Sr Rani mengucapkan kaul kekal pada 22 Mei 1980 di Gereja St Hormis, Ankamaly. Demi pendidikan yang baik, Sr Rani sering berpindah-pindah.

Kerap banyak kolegianya memanggil Rani sebagai “biarawati nomaden”. Setelah sekolah di Binjor berjalan baik dan sistem pendidikan karakter terbentuk, pada 21 Juli 1983, ia dipindahkan ke Odagady dan tiba di sana pada 25 Juli 1985.

Di Odagady, Sr Rani diangkat sebagai koordinator kegiatan-kegiatan sosial. Demi meningkatkan pengetahuannya tentang realitas kehidupan masyarakat miskin, Rani menempuh studi dalam bidang sosiologi di Universtasi Rewa pada 1992. Setelah selesai studinya, ia dipindahkan ke Udayanagar pada 15 Mei 1992.

Bagi banyak orang, Rani adalah seorang yang vokal. Ia tak takut menyuarakan keadilan bagi masyarakat kecil. Saat itu tuan tanah dan pemilik modal dengan sesuka hati memperlakukan para pekerja. Upah kerap dibayar tak sesuai dengan waktu kerja. Banyak anak dipaksa kerja sampai tengah malam. Waktu istirahat diganti lembur tanpa bayaran. Bila ada yang sakit, dipulangkan atau bekerja sampai meninggal.

Pemerintah hanya menjadi penonton kala ketidakadilan merajalela. Pihak keamanan seperti polisi terlibat kasus korupsi. Hakim pun hanya tutup mata dan telinga atas ketidakadilan ini. Menentang keputusan para pengusaha hanya berakhir dengan kematian. Tidak ada orang yang berani menentang selain Sr Rani.

Perjuangannya ini berakhir dengan kematian tragis. Ia dibunuh oleh kaki tangan pengusaha Samunder Singh. Jazad Beata Rani dimakamkan dalam sebuah museum di Ernakulan, India. Tahun 2013, sebuah film dibuat mengisahkan tentang perjalanan hidup Singh dan kisah pembunuhan Beata Rani dianugerahi World Interfaith Harmony Film Festival.

 

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini