Anton S. Wahjosoedibjo: Tanda Salib di Penghujung Nafas

615
Anton bersama istri, anak, dan cucu.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Pasangan ini menikah beda agama. Meski demikian, toleransi amat terawat dengan baik. Setahun setelah usia emas pernikahan, sang istri menjadi pengikut Kristus.

Awal mula sempat terbesit di benak Anton S. Wahjosoedibjo bahwa jalinan asmaranya dengan Syamsuniar takkan berlabuh di pelaminan. Perbedaan suku dan keyakinan menjadi pemicunya. Orangtua dan keluarga sang kekasih berasal dari suku Minang dan Betawi. Mereka amat teguh memegang ajaran Islam. Syamsuniar juga tak pernah mencicipi pendidikan di sekolah milik yayasan Katolik.

Tak hanya orangtua dan keluarga perempuan, ayah-ibu serta kerabat Anton juga keberatan dengan pilihannya itu. Mereka berangan-angan, anak kesepuluh dari sebelas bersaudara itu bakal menentukan jodoh seiman. Apalagi, selain lahir dan tumbuh di lingkungan kristiani dan mengenyam pendidikan di sekolah Katolik sejak SD hingga SMA, empat kakak kandung Anton menjadi biarawan (dua pastor dan dua suster).

Kendati kurang mendapat dukungan dari orang-orang terdekat, dua sejoli itu tetap menggemburkan benih-benih cinta di petak hati mereka. Seiring waktu, keluarga Syamsuniar merestui Anton untuk menikahi putri mereka. Izin itu mereka berikan setelah yakin bahwa Syamsuniar tetap menjaga akidahnya. Hal serupa juga terjadi pada keluarga Anton.

Pada Mei 1967, Anton-Syamsuniar melangsungkan pemberkatan pernikahan di sebuah kapel di Jakarta Pusat. Pastor yang memberkati mereka adalah yang mengajar agama Katolik untuk Syamsuniar. Tak banyak mata yang menyaksikan peristiwa sakral itu, satu kakak kandung dan sepupu Anton hadir di sana.

Hulu Perjumpaan
Hulu perjumpaan Anton-Syamsuniar di Pekanbaru. Alkisah, begitu lulus dari Institut Teknologi Bandung, Anton dipinang oleh perusahaan minyak dan gas di Riau. Sementara Syamsuniar datang ke Pekanbaru untuk menjenguk orangtuanya, yang mendapat penugasan di kota tersebut.

Kala itu, Syamsuniar masih kuliah di jurusan apoteker di sebuah kampus swasta di Jakarta. Jadi, saban libur semester, dia datang ke Pekanbaru. Ternyata, di kota berjuluk Madani itulah kuncup asmara sepasang muda-mudi itu tumbuh dan merekah perlahan-lahan.

Setahun menikah, mereka dikaruniai malaikat kecil. Dua tahun kemudian, Syamsuniar melahirkan putra kedua. Sukacita Anton-Syamsuniar kian berlaksa karena lahir anak ketiga, perempuan, setelah terpaut lima tahun dengan anak kedua.

Anton tak segera membaptis ketiga anaknya. Meski demikian, Anton selalu mengajak putra-putrinya Misa mingguan. Dan sang istri kerap kali ikut dan menemani suami dan anak-anaknya ke gereja. “Istri selalu mendampingi saya… Dia juga menjadi pendamping saya saat melakukan tugas-tugas sosial. Pendidikan anak-anak tidak diserahkan kepada pembantu. Kami melakukan bersama. Di rumah kami biasa merayakan Natal dan Lebaran,” beber pria kelahiran Jakarta itu.

Jelang Natal 1976, Anton ditugaskan ke New York oleh kantornya. Dia memboyong istri dan anak-anaknya ke sana. Pada satu akhir pekan, Syamsuniar berpapasan dengan seorang biarawati tua di depan lobi apartemen –tempat Anton dan keluarganya tinggal. Anton saat itu tak di sana. Dia sedang di garasi apartemen untuk mengambil mobil.

Begitu Anton memarkir kendaraan di depan lobi hotel, istrinya menawarkan tumpangan dan mengantar suster ke pastoran yang berada tak jauh dari apartemen mereka. Belakangan Anton mengetahui dari sang istri, dalam pertemuan singkat dan tak sengaja itu, pada saat hujan membahasi jalanan kota New York, Syamsuniar meminta bantuan suster agar putrinya menerima Sakramen Baptis.

Biarawati itu menyampaikan keinginan Syamsuniar kepada Kepala Paroki New Rochelle. Keinginan Syamsuniar terjabah. Anton lantas meminta bantuan teman kantornya, orang Amerika berdarah Italia, menjadi wali Baptis untuk putri semata wayangnya itu. Sedangkan pembaptisan untuk kedua putra mereka terjadi sekitar tahun 1978, sekembali ke Tanah Air. Setahun kemudian, mereka menerima Sakramen Ekaristi dan Penguatan di Pekanbaru.

Selalu Menemani
Hampir tiap pekan, ungkap Anton, istrinya hampir tak pernah absen menemani dia dan anak-anak (saat mereka kembali ke Indonesia) ke gereja, terutama saat Natal dan Paskah. Tak banyak umat yang tahu bahwa pasangan ini menikah beda agama. Sementara itu, Syamsuniar pun giat dalam pengajian bersama adik dan teman-temannya. Dia juga tak pernah kalah dalam menunaikan ibadah puasa.

Saat Lebaran tiba, Anton dan anak-anak merayakan Lebaran bersama istri dan keluarganya. Bahkan, sesudah Anton pensiun, sang istri melaksanakan rukun Islam kelima, yakni naik haji.

Pada perengahan tahun 2009, musibah menimpa Syamsuniar. Dia terpeleset sewaktu menyiram bunga di depan rumah. Tulang tumit kaki kanannya mencuat keluar. Anton belum pulang kerja. Beruntung ada tetangga di depan rumah yang melihat kejadian sore itu. Syamsuniar langsung dibawa ke rumah sakit.

Keesokan hari tumit Syamsuniar dioperassi, retakan tulang disekrup ke tulang tumitnya. Meski terasa amat nyeri, di atas kursi roda, Syamsuniar menyaksikan dan mendampingi putranya yang menerimakan Sakramen Pernikahan di gereja.

Setahun pasca oprasi, Syamsuniar kembali masuk ruang bedah untuk mengambil sekrup di tumit. Sejak itu, kaki kanannya sering mengalami trombose (bengkak) lantaran pengentalan darah di urat dalam kaki.

Pada September 2012, Syamsuniar menunjukkan gejala terkena stroke ringan. Anton membawa sang istri ke dokter spesialis neurologi. Dokter menyarankan Syamsuniar untuk diopname paling kurang tiga hari untuk mengetahui penyebab stroke dan pembengkakkan di kaki. Persoalan itu teratasi dengan obat pengencer. Namun muncul masalah baru. Dokter menemukan bintik kanker di payudara kiri Syamsuniar. Ruam itu sudah menyebar ke bagian ketiak dan paru-parunya.

Hasil diagnosa dokter juga mengatakan, Syamsuniar terkena dimensia vascular. Gangguan ini menyebabkan dia sulit berbicara, mengingat, dan mengenal obyek. Serangkai tindakan medis dia jalani hingga bebas dari sel kanker.

Sebelas tahun kemudian, sel itu kembali muncul di tempat serupa. Serangan kedua itu, menurut Anton, membuat istrinya susah berdiri dan berjalan. Sehari-hari memaksa belahan jiwanya itu duduk di kursi roda atau berbaring di tempat tidur. Paling kurang sekali dalam sepekan Anton atau anak-anak mengajak istri atau ibu mereka jalan-jalan dengan mobil.

Fungsi organ tubuh Syamsuniar mulai menurun dari hari ke hari. Dia semakin sulit menelan makanan. Pernah terjadi dia kekurangan cairan karena kurang asupan makanan ke dalam tubuhnya. Dokter memberikan nutrisi makanan kepadanya lewat infus atau disonde.

Sejak empat tahun lalu, tiap malam sebelum tidur, Anton dan Syamsuniar kerap berdoa bersama. Mereka berdoa tujuh kali Bapa Kami, Salam Maria, dan Kemuliaan. Menurut Anton, kerap terjadi bila sang istri terjaga dari tidur karena kondisi tubuh tak nyaman, mereka berdoa Salam Maria atau Rosario. Anton mengakui, doa itu membuat sang istri bisa tertidur pulas.

Pada awal 2017, di sela berdoa atau bercerita, Anton menanyakan kepada istrinya, apakah dia mau dibaptis sepertinya dan anak-anak? Syamsuniar kala itu sudah semakin sulit berbicara. Tapi, dia masih bisa memberikan isyarat kepada sang suami lewat mata. Syamsuniar menyetujui menjadi pengikut Kristus. Hal ini beberapa kali Anton tanyakan kepada sang istri untuk memastikan keputusannya.

Anton berkonsultasi kepada sejumlah imam ikhwal ini. Para romo menyarankan agar sebelum sang istri dibaptis, Anton harus terlebih dahulu memberitahu adik-adik istrinya demi menjaga kerukunan keluarga dan agar keluarga besar sang istri mengetahui bahwa keputusan itu datang dari dirinya sendiri. “Namun, kalau keadaan mendesak, saya dapat membaptisnya sendiri,” ujar Anton, mengutip pendapat romo yang ditemuinya.

Pada 10 November 2017, lewat tengah malam, Anton melihat wajah sang istri amat gelisah. Badannya panas tinggi. Dia mengambil air dari Sendangsono, yang disimpannya sewaktu berziarah bersama istri dan anak-anak ke sana. Sambil memeluk Syamsuniar, Anton menuangkan air ke dahinya dan berkata, “Mami, atas kemauan Mami sendiri untuk menjadi pengikut Yesus, dengan ini Mami saya baptis, dengan nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus.”

Margaretha. Nama itulah yang dipilih Anton sebagai nama baptis untuk sang istri. Nama itu dia ambil dari nama baptis mendiang ibunya. Menurut Anton, roman sang istri tampak tenang. Dia bisa istirahat dengan nyenyak usai dibaptis. Anton juga memberitahu kepada anak-cucu, bahwa ibu atau nenek mereka telah menjadi warga Gereja Katolik.

Bulan Februari lalu, Anton meminta pastor paroki memberikan Sakramen Pengurapan Orang Sakit untuk sang istri. Kondisi kesehatan istrinya kian menurun. Usai itu, pastor menyarankan agar Anton mengusahakan istrinya bisa menerima Sakramen Ekaristi. Saran itu dia ikuti.

Terima Kasih
Umat Paroki Ratu Rosari Jagakarsa ini meminta seorang diakon memberikan hosti untuk istrinya. “Hari itu diperlukan waktu setengah jam untuk memasukan Hosti Kudus ke mulutnya (istri),” ujar Anton.

Pada 5 April 2018, pukul 07.45, Margaretha Syamsuniar Wahjosoedibjo tutup usia. Malam sebelum meninggal, sang istri menunggu Anton yang baru kembali ke rumah pukul 10.30, usai pertemuan asosiasi profesi. “Di luar kebiasaan, istri saya belum tidur. Dia menunggu kedatangan saya dan menyapa saya dengan mata terbuka dan senyum,” ungkapnya.

Malam itu mereka berdoa bersama. Lewat tengah malam, sang istri terbangun dan terlihat gelisah. Anton mengajaknya berdoa Rosario. Sang istri mengiyakan. Pagi hari mereka bangun, berdoa bersama, lalu sang istri berpulang dalam pelukan suaminya. “Terima kasih Bunda Maria yang telah mendengar doa dan membimbing kami. Setelah 50 tahun menikah dan mengalami pasang-surut kehidupan, istri saya bersedia dibaptis dan menjadi pengikut Yesus,” pungkasnya dengan bola mata berkaca-kaca.

Yanuari Marwanto

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini