Santo Thomas More: Bertaruh Nyawa, Membela Iman dan Gereja

1028
Thomas More (kedua dari kiri) bersama keluarganya.
[arewethereyet-davisfarmmom.blog.com]

HIDUPKATOLIK.com – Karir sebagai pengacara membawanya menjadi tangan kanan Raja Inggris. Namun, kedudukan dan harta tak membutakan mata hatinya. Ia mengritik raja yang melakukan praktik poligami dan memisahkan Gereja Inggris dari Vatikan.

Raja Inggris, Henry VIII (1491- 1547) kepincut dengan kemolekan Anna Boleyn. Meski sudah beristri Ratu Catherine dari Aragon, Ia berniat menikahi Anna. Demi mendapat legitimasi, ia menyurati Paus Clement VII untuk meminta izin dan merestui keinginannya. Namun, ia justru ditegur Bapa Suci karena praktik poligami bertentangan dengan hukum pernikahan monogami dan tak terceraikan dalam Gereja Katolik.

Raja Henry pun geram. Hubungannya dengan Vatikan menjadi renggang, hingga akhirnya sama sekali putus. Henry memproklamirkan dirinya sebagai Kepala Gereja Inggris yang menolak supremasi Takhta St Petrus di Roma. Inilah cikal bakal lahirnya Gereja Anglikan. Saat itu, Henry memaksa para uskup dan imam di Inggris untuk mengakui dan setia kepada raja sebagai Kepala Negara dan Gereja. Para klerus yang menolak dihukum mati.

Di antara mereka, masih ada yang menentang Henry dan memilih setia kepada Paus. Penentang ini seorang awam, teman dekat dan orang kepercayaan raja, Thomas More. Sebagai protes, Thomas menanggalkan jabatannya sebagai Lord Chancellor of England. Raja memerintahkan prajuritnya menangkap Thomas. Di hadapan raja, mantan tangan kanannya itu dipaksa patuh pada Act of Supremacy, yakni mengakui Raja HenryVIII sebagai Kepala Pemerintahan dan Gereja Katolik Inggris. Thomas menolak. Ia dijebloskan ke penjara dan hartanya dirampas.

Keluarganya sempat meminta agar ia pura-pura patuh kepada raja. Namun, ia bergeming. Dalam pledoi di pengadilan, 1 Juli 1539, Thomas dengan tegas mengatakan, “Meski para uskup, parlemen, dan kerajaan tidak mendukungku, aku percaya Kerajaan Allah mendukungku!”

Akibatnya, Thomas diganjar hukuman mati. Pada 6 Juli 1535 di Tower Hill, Inggris, sebelum dipenggal, ia minta kepada penjagalnya agar tidak ragu-ragu mengeksekusi dirinya. Dengan canda dan tak berbeban, ia berpesan kepada eksekutornya agar jenggotnya jangan sampai tertebas kapak karena rambut di dagunya tak bersalah. “Aku mati bukan sebagai pelayan raja, tapi aku lebih dulu menjadi hamba Tuhan,” tegasnya. Ia pun berdoa dan memohon kepada Tuhan agar mengampuni semua yang telah mendakwanya. Meski sudah tak bernyawa, raja memerintahkan agar kepala Thomas digantung di London Bridge selama sebulan, sebagai teror kepada masyarakat yang berani menentangnya. Kepala Thomas akhirnya diturunkan dari jembatan dan dikubur di Gereja St Dunstan, Canterbury. Selepas pemancungan, tubuhnya dikebumikan di St Peter ad Vincula, Tower of London, Inggris.

Pada 29 Desember 1886 di Florence, Italia, Paus Leo XIII membeatifikasi martir dari Inggris dan pembela Gereja Katolik ini. Lalu pada 19 Mei 1935 di Vatikan, Paus Pius XI menggelarinya Santo. Hingga kini, nama Thomas More dikenal, tak hanya di Britania, tapi juga di seantero dunia. Ia dijadikan patron di beberapa universitas di banyak tempat, pelindung dan teladan para politikus, pengacara, dan abdi masyarakat. Gereja Katolik mengenang teladan dan kesetiannya tiap 22 Juni. Sedangkan Gereja Katolik Inggris mengenangnya tiap 6 Juli.

Doa dan Karya
Thomas More lahir di London, 7 Februari 1478. Ia, anak kedua dari lima bersaudara: Joan, Agatha, Jhon, Edward, dan Elizabeth. Mereka berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Jhon More, adalah hakim di pengadilan King Bench dan mantan prajurit Raja Henry VIII. Sedangkan ibunya, Agnes Graunger, saudari kandung Thomas Graunger – anggota Dewan Parlemen Inggris dan pengusaha dalam bidang perdagangan di Perancis.

Sejak kecil, Thomas dan saudara-saudarinya dididik sangat ketat dalam hidup rohani dan moral. Meski hidup berkelimpahan, Jhon dan Agnes mewariskan kesederhanaan kepada buah hati mereka. Kala beranjak dewasa, orangtuanya mengirim Thomas ke Universitas Oxford. Di kampus terkenal itu, ia menekuni Ilmu Hukum, memulai jalan profesional sebagai pengacara. Namun di tengah ketenarannya, ia mengambil sebuah keputusan radikal. Ia melucuti kesuksesannya sebagai pengacara, lalu memilih hidup sebagai biarawan Kartusian. Tetapi, ia hanya merasakan sebagai pranovis, karena menyadari kemampuannya lebih dibutuhkan masyarakat, terutama kaum miskin yang sulit mendapatkan pengacara.

Pada 1504, setelah meninggalkan biara, ia mencalonkan diri dan akhirnya terpilih sebagai anggota parlemen (House of Common). Ia menorehkan prestasi gemilang, salah satunya membongkar praktik korupsi di tubuh parlemen.

Beberapa posisi penting pemerintahan Kerajaan Inggris direngkuhnya, mulai dari Sheriff of London, anggota King’s Council, hingga Raja Henry VIII menobatkannya sebagai Lord Chancellor of England. Semua prestasi itu tak membutakan mata hati Thomas. Sebagai anggota Ordo Fransiskan Sekular, ia berusaha menghayati hidup dengan baik sesuai amanat Tuhan. Bersama raja, ia berjuang menangkal pengaruh gelombang reformasi di Inggris yang dimotori oleh Martir Luther dan William Tyandale.

Konon, saat Thomas mengikuti Misa, seorang petugas istana mendekatinya dan berbisik: “Tuanku, Raja ingin Tuanku menghadap segera.” Thomas menjawab: “Tidak sekarang. Sampaikan kepada Raja, aku sedang menghadap Raja yang lebih besar daripadanya. Usai ini, aku langsung menghadapnya.” Setelah petugas itu pergi, Thomas melanjutkan Misa hingga usai. Kebahagiaan Thomas bertambah ketika ia menikahi Jane Colt. Biduk keluarga ini dikaruniai empat anak: Margareth, Elizabeth, Cecily, dan Jhon. Namun sukacita itu segera terenggut. Istrinya meninggal karena sakit. Thomas pun membangun kembali biduk keluarga baru dengan Alice Middleton. Thomas dan keluarganya hidup saleh dan sederhana.

Praktik kesederhanaan ia hidupi dengan mengenakan pakaian yang terbuat dari hair shirt (sejenis karung) seperti pakaian para Kartusian. Thomas juga gemar menulis. Salah satu karya fenomenalnya berjudul Utopia. Di dalam bukunya itu, ia mendambakan sebuah negeri yang sejahtera, adil, dan makmur. Ia membayangkan, negeri Utopia itu tak butuh lagi pengacara karena hukum dijunjung tinggi, toleransi beragama sangat kental.

Kesetiaannya kepada Tuhan, Takhta Suci, dan ajaran iman Katolik harus dibayar dengan nyawanya sendiri.

Dionisius Amadea Prajna P.M.

HIDUP NO.36, 7 September 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini