RP Lambertus Sugiri van den Heuvel SJ: Menjadi Hamba yang Menyatukan kesaksian

3636

HIDUPKATOLIK.com – Pelajaran sejarah mengetuk hatinya untuk menjadi Yesuit. Tahun pertama novisiat mengubah keputusannya: menjadi misionaris. Ia menjadi Yesuit dan imam di Jawa. Tidak enak menolak, Roh Pemersatu menyentuhnya.

Lengkung janur kuning menghiasi pintu utama Gereja St Theresia Menteng, Jakarta, suatu sore di awal Agustus. Janur berpadu warna-warni bunga terdekorasi apik di dalam gereja. Sementara di luar gereja, tenda didirikan, dilengkapi panggung. Selain sejumlah pria berjubah, tampak para perempuan dan laki-laki berbusana tradisional Jawa.

Pesta. Perayaan istimewa. Umat datang berbondong-bondong. Sore itu, Kamis, 7/8, Serikat Jesus (SJ) punya hajat. Ekaristi syukur menandai perayaan Pesta Nama St Ignatius Loyola, Peringatan 200 Tahun Restorasi Serikat Yesus, dan Emas Imamat RP Lambertus Sugiri van den Heuvel SJ. Hari itu, Romo Sugiri, imam SJ, asal Negeri Kincir Angin, setelah Misa mengenakan pakaian Jawa. Waktu telah membawa peziarahan hidupnya tertambat cinta di Indonesia. Bahkan, ia menerima tahbisan imamat di Indonesia, dari tangan orang Indonesia, Uskup Agung Semarang waktu itu, Mgr Justinus Darmojuwono, 31 Juli 1964.

Heuvel memang ingin menjadi imam, bahkan sejak kanak-kanak. Namun, pada mulanya tak terbesit dalam benaknya untuk menjadi Yesuit –sebutan untuk anggota SJ. Dalam bayangannya, tanah misi adalah daerah yang masih primitif, terdapat bentangan hutan belantara dan banyak binatang buas. Ia lebih memilih menjadi imam wartawan. Heuvel memang gemar menulis. Suara hatinya berubah, mantap meninggalkan tanah kelahirannya dan memberikan diri dalam pelayanan di tanah misi.

Jatuh Cinta
Semasa kanak-kanak, Heuvel aktif sebagai misdinar. Di rumah, keluarganya biasa mengambil waktu untuk berdoa bersama setiap malam, juga berdoa Rosario bersama pada saat tertentu. Betapa gembira hati orangtuanya, ketika ia mengutarakan ingin menjadi imam. “Suasana di rumah, lingkungan saya, mendukung panggilan saya sebagai imam. Dari 10 anak, ada empat anak yang melanjutkan ke seminari kecil, termasuk saya. Namun, hanya dua yang bertahan dan menjadi imam, saya dan adik yang nomor lima. Ia sekarang menjadi misionaris di Afrika,” kisah putra pasangan Petrus van den Heuvel dan Johanna van Nistelrooy ini.

Heuvel masuk Seminari Menengah Norbertus. Di tempat ini, ia mengenal SJ dari guru sejarah yang mengisahkan tentang pengusiran Yesuit dari Portugal, Perancis, dan Jerman. “Guru saya menceritakan tentang SJ yang dibekukan, karena sangat membela Paus yang saat itu dilawan oleh kekuatan politik. Yesuit dianggap memiliki pengaruh besar, harus diusir. Saya berpikir, wah hebat sekali ya para Yesuit ini. Saya mau menjadi Yesuit,” kenang sulung dari 10 bersaudara ini.

Kelahiran Berneheeze, Belanda, 23 Desember 1930 ini, lantas mengutarakan ketertarikan itu kepada Pater Rektor. Mendukung, Pater Rektor memberikan buku-buku tentang SJ kepadanya. “Saya juga diperkenalkan dengan Kepala Novisiat SJ di Belanda. Saya mengunjungi novisiat dan menemuinya.”

Akhirnya, pada 7 September 1951, Heuvel masuk Novisiat SJ. Pada tahun pertama, cita- cita menjadi imam wartawan pun terajut. Tetapi, keinginan itu berubah setelah menjalani retret 30 hari. Diceritakannya, ia semakin jatuh cinta pada Yesus, dan memutuskan akan ambil bagian dalam karya misi. “Saya tidak takut lagi.”

Pada 1952, Heuvel pun dikirim ke Indonesia, untuk menjalani tahun kedua Novisiat, di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah. “Saya mesti menyesuaikan dengan iklim di sini, yang terlalu panas bagi saya. Juga menyesuaikan makanan dan minuman serta suasana kehidupan Gereja yang berdampingan dengan penganut agama lain. Begitu berbeda dengan Belanda,” ujar imam yang seusai Novisiat dan mengucapkan kaul seumur hidup, kemudian menjalani masa Yuniorat selama dua tahun (1953-1955). Sebagai Yuniorat, ia belajar bahasa dan kebudayaan. Setelah itu, ia menjalani studi Filsafat di Yogyakarta, selama tiga tahun (1955-1958).

Sebagaimana para frater Yesuit lain, ia melakukan kunjungan ke rumah umat, setiap Rabu. Para frater Yesuit ini pergi berdua-dua, mengayuh sepeda menuju rumah-rumah umat, menyapa para keluarga dan mengenal situasi umat. Bagi Fr Heuvel, itu adalah kesempatan untuk belajar bahasa Jawa. Pada saat kunjungan ini, ia selalu ditanya umat dalam bahasa Jawa halus. Dan, yang selalu ditanyakan oleh orang yang baru ditemuinya adalah nama. Tetapi, nama yang diucapkan tentu tidak familiar di telinga orang Jawa, sehingga susah diingat.

“Suatu kali, saya kunjungan bersama Fr Bratawiratma (Alm). Ketika saya ditanya nama, ia yang menjawab: ‘Sugiri’. Dia bilang, kata itu artinya sama dengan nama saya. Heuvel, berarti gunung kecil. Giri juga berarti gunung. Su berarti baik atau indah. Sugiri berarti gunung yang indah, asri. Saya pikir, ya tidak apa-apa,” tersenyum, Romo Sugiri mengisahkan. Setelah itu, setiap kali ada umat yang bertanya nama, Fr Heuvel dengan mantap menjawab: Sugiri. Jadilah nama itu melekat hingga sekarang.

Singkat kisah, peziarahan sebagai Yesuit terus ditapaki Sugiri. Selepas Filosofan, ia menjalani Tahun Orientasi Pastoral di Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang (1958-1961). Di tempat ini, ia mengajar bahasa Latin. Setelah itu ia melanjutkan studi Teologi, sebelum ditahbiskan menjadi imam. Masa Tersiat, retret agung kedua sebagai Yesuit yang menghidupi spiritualitas St Igatius, ia jalani di Jerman, pada 1966. Setelah itu, ia melayani di Paroki Purbayan dan Paroki San Inigo Dirjodipuran, Solo, Jawa Tengah (1967-1976). Kemudian, ia diutus menjadi Pastor Paroki St Petrus dan Paulus Mangga Besar, Jakarta (1977- 1984); ditugaskan menjadi Moderator Karismatik KAJ dan Indonesia (1985- 1995); melayani sebagai pastor di Paroki Katedral Jakarta (1996-2005); dan akhirnya diutus sebagai pastor di Paroki St Theresia Jakarta (2005-sekarang).

Selama di Solo, bersama umat Romo Sugiri menempuh berbagai cara untuk mencari dana pembangunan Gereja San Inigo. Antara lain, ia menggerakkan umat melalui budaya Jawa dan sendratari. Gamelan ia masukkan ke gereja sebagai alat musik iringan lagu-lagu liturgi. Budaya Jawa merasuk ke dalam jiwanya.

Awalnya tidak enak
Ketika menjadi gembala di Paroki Mangga Besar, Romo Sugiri diundang untuk hadir dalam Seminar Hidup Baru Dalam Roh Persekutuan Doa Karismatik yang diselenggarakan di Gedung Karya Sosial Katedral Jakarta. Karena merasa tidak enak menolak, ia memenuhi undangan itu. Padahal selama di Solo, ketika diundang untuk menghadiri acara oikumene oleh Gereja-gereja Kristen dengan acara karismatik, ia merasa tidak nyaman karena suasana ingar-bingar.

“Saya tidak nyaman karena terlalu ekstrovert. Tapi saat saya datang ke Persekutuan Doa itu, saya merasakan pengalaman mistik pembaruan dalam Roh Kudus. Saya melihat perubahan hidup umat. Hidup mereka lebih semangat… Semangat untuk berdoa, membaca Kitab Suci, dan melayani. Itu menjadi pengalaman mengesankan bagi saya. Selama ini, dalam pendidikan, saya tidak mendapatkan sesuatu tentang daya kekuatan Roh Kudus,” ungkapnya.

Romo Sugiri pun belajar segala sesuatu tentang pembaruan dalam Roh Kudus, hingga akhirnya menggunakan Karismatik sebagai gerakan iman di parokinya. Tantangan dan kritik mengalir untuknya. Namun, itu tak menyurutkan semangatnya. Romo Sugiri akhirnya diutus menjadi Moderator Karismatik KAJ dan Indonesia. Tugas ini membawanya menuju Dublin, Irlandia. Di sana ia menghadiri pertemuan Karismatik.

Pada perayaan emas imamatnya, nuansa Karismatik dan Jawa bak menyatu dalam perayaan syukur Ekaristi. Lantunan nyanyian khas Karismatik menggema dalam Misa. Sementara usai Misa, saat ramah tamah di halaman gereja, suasan Jawa terasa kental. Tarian Jawa menjadi tontonan yang melengkapi “kejawaan” Romo Sugiri yang mengenakan busana Jawa lengkap dengan blankon di kepalanya.

Romo Sugiri telah menetapkan semangat yang ingin dihidupinya: menjadi hamba Tuhan yang mempersatukan umat, memuliakan Tuhan, dan menolong orang lain. Harapnya: “Semoga umat juga semakin berkembang, dan terus hidup dalam Roh Kudus.”

Maria Pertiwi

HIDUP NO.36, 7 September 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini