Hendrikus Slamet Suherman: Jalan Terjal Menuju Baptisan

1250
Wujud Syukur: Herman mengisi salah satu sesi dalam Kursus Persiapan Perkawinan.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Kerinduan menjadi Katolik menggelora sejak kecil. Meski dilarang keluarganya, ia tetap mengikuti pelajaran agama, membaca buku-buku, dan menghafalkan doa-doa Katolik. Selang delapan tahun, ia dibaptis dan menjadi pelayan Gereja yang handal.

Namanya sering disingkat H. Slamet Suherman. Orang mengira singkatan “H” adalah “Haji”. Padahal “H” singkatan untuk “Hendrikus”, nama baptisnya. Sejak kelas 6 SD, ketertarikan Herman untuk menjadi pengikut Kristus mulai bersemi.

Waktu itu, siswa SDN 1 Gumuk Rejo, Pringsewu, Lampung ini, memiliki teman sekelas sekaligus tetangga bernama Widi Asmoro. Temannya ini berasal dari keluarga Katolik. Setiap Senin pukul 14.00, Widi mengikuti pelajaran agama untuk persiapan Baptis dan Komuni Pertama di SDN 1 Patoman, Pringsewu yang berjarak tiga kilometer dari rumahnya. Herman tergerak mengikuti pelajaran tersebut. Biasanya, justru Herman yang kerap menghampiri Widi untuk berangkat.

Sekalipun tak pernah ditanya dan “dilibatkan” dalam pelajaran agama oleh katekis yang mengajar, Herman tak patah arang. Ia tetap bertahan untuk mengikuti pelajaran agama. “Saya sudah bersyukur boleh berada di kelas, mendengarkan, dibiarkan, dan tidak diusir,” ungkap pria kelahiran 1 Januari 1966 ini. Setahun berselang, Widi dan 14 teman lainnya yang mengikuti pelajaran agama menerima Sakramen Baptis dan atau Komuni Pertama pada Pesta Paskah. Sementara Herman tidak. Meskipun tidak dibaptis, ia tetap tabah dan sabar. Ia menyimpan semuanya dalam hati.

Kerinduan menjadi pengikut Kristus pun menyelimuti sanubari Herman. Ia terus berjuang untuk bisa menuntaskan kerinduannya: dibaptis, menjadi anggota Gereja, dan ambil bagian dalam pelayanan kristiani. Ia membaca buku-buku tentang kekatolikan di rumah Widi dan menghafal berbagai doa. Ia pun menghafalkan doa-doa: Aku Percaya, Bapa Kami, Salam Maria, Kemuliaan, dan Doa Tobat dalam bahasa Jawa.

Bungsu dari empat bersaudara ini kerap hadir dalam Misa di Gereja Panutan. Ketika keluarga besarnya mengetahui hal itu, mereka segera memanggil Herman. Pamannya, yang merupakan tokoh agama pun mengumpulkan keluarga besar dan menyidang Herman. Beragam pertanyaan dilontarkan padanya. Bahkan mereka memberi ultimatum: ‘Herman dilarang pergi ke gereja’.

Herman tetap memeluk keyakinannya. “Yang membuat saya tetap ingin menjadi Katolik bukan siapa, tetapi apa, yaitu suasana. Dalam Gereja Katolik, saya merasa mendapatkan suasana kesatuan, kerukunan, kasih, dan kedamaian yang saya rindukan,” tuturnya. Setelah penantian selama delapan tahun, ia menerima Sakramen Baptis. Ia pun memberikan diri dalam pelayanan di lingkungan dan Gereja.

Keteguhan Hati
Herman berasal dari keluarga Muslim. Ketika usia dua tahun, orangtuanya bercerai. Ibunya tinggal di Palembang bersama saudaranya. Sementara Herman dan ketiga kakaknya menetap di Lampung bersama ayah dan ibu tirinya. Diam-diam ia mengikuti pelajaran agama Katolik.

Tamat SD, ia tinggal bersama kakak perempuan tertuanya yang telah menikah. Sang kakak memberinya kebebasan untuk memilih agama yang akan diyakininya. Mendalami agama Katolik pun menjadi pilihan hatinya.

Herman dianggap mbalelo, mberot (memberontak-Red). Perilakunya pun dinilai telah membuat malu keluarga besar di Gumuk Emas, Lampung yang sebagian besar menjadi pemuka agama, dan tokoh masyarakat. Bibir Herman terkunci. Tak ada sepatah kata pun meluncur dari mulutnya. Ia tak berani mengurai jawab atas berondongan pertanyaan yang dihujankan kepadanya.

Meski diultimatum, Herman tak gentar. Secara sembunyi-sembunyi, ia masih nekad menyediakan waktu untuk datang ke gereja. Tekadnya untuk lebih mendalami dan menghayati iman Katolik justru kian membulat.

Lulus SMP pada 1982, Herman memilih melanjutkan pendidikan di SMA Xaverius Pringsewu demi perkembangan imannya. Kebahagiaan seolah mengalir dalam hidupnya karena bisa menempuh pendidikan di sekolah Katolik. Mengetahui hal itu, keluarganya hanya diam, seolah tak peduli.

Suatu hari, ayahnya terkena serangan darah tinggi dan komplikasi penyakit lainnya. Biaya tak sedikit mesti dikeluarkan untuk berobat. Herman sering tak masuk sekolah. Bahkan ia pun berniat tak melanjutkan sekolahnya. Saat mengutarakan niatnya, guru olahraga mendengarnya. Kemudian gurunya memberi tawaran agar Herman tinggal di rumah guru agama Katolik di sekolahnya, Pak Karsono. Dengan senang hati, ia menerima tawaran itu.

Setiap hari Minggu, usai mengikuti Misa, Herman menerima pelajaran agama dari Pak Karsono. Ini berlangsung selama dua tahun. Namun, lagi-lagi kecewa harus ditelan Herman. Ketika ada penerimaan Sakramen Baptis, namanya tidak tercantum dalam daftar Calon Baptis. Perlahan ia berdamai dengan hal itu. Ia sadar, meski dirinya belajar di sekolah Katolik, tinggal di rumah guru agama Katolik, dan ingin menjadi Katolik atas keinginan sendiri, tak serta merta menjadi tiket untuk bisa begitu saja dibaptis.

Berkat dan Syukur
Tahun 1985, ayahnya meninggal. Untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, Herman dibantu kakak perempuannya yang kedua. Tahun 1986, ia menempuh pendidikan di jurusan Bahasa Indonesia, Universitas Lampung (UNILA). Waktu itu, ia memilih untuk kembali mengikuti pelajaran agama Katolik di bawah asuhan Uskup Tanjungkarang, Mgr Andreas Henrisoesanto SCJ dan Pak Sukiji sebagai dosen pengajarnya.

Setahun berselang, Herman mendapat tawaran untuk dibaptis. Hatinya bersorak kegirangan. Delapan tahun ia menanti momen ini. Pada 25 Maret 1987, bersama sejumlah umat, Herman menerima Sakramen Baptis dari RP Paul Billaud MEP di Gereja St Yohanes Rasul Kedaton, Bandar Lampung.

Dari pengalamannya dalam menjalani proses untuk menjadi pengikut Kristus, Herman berkata, “Untuk para katekumen, janganlah mudah putus asa dan merasa dipersulit menjadi Katolik. Saya menanti delapan tahun lamanya dan baru bisa dibaptis, meski sudah rajin dan tekun .”

Sementara itu, Herman tetap menjaga relasi baik dengan keluarga besarnya yang berbeda keyakinan. “Soal agama itu urusan pribadi, hak asasi, dan tidak dapat diintervensi oleh siapapun. Saya sudah bahagia. Keluarga pun tidak ada masalah. Semua didasarkan pada iman. Inilah keyakinan saya,” tegas ayah dua putra ini.

Guru SMU N 1 Sidomulyo, Lampung Selatan ini bersyukur bisa menerima rahmat pembaptisan yang telah lama ia rindukan. Sebagai wujud syukur, suami Agnes Triwiyarti ini ingin memberikan diri dalam pelayanan, baik di lingkungan maupun Gereja. Ia melayani sebagai Ketua Dewan Pastoral Paroki Keluarga Kudus Sidomulyo, organis gereja, menjadi tim pendamping keluarga di paroki, memberi Kursus Persiapan Perkawinan, dll. Pada Peringatan Hari Kemerdekaan RI, ia diminta mengiringi sebagai organis. Ia ingin melayani sesuai kemampuan dan talenta yang dianugerahkan Tuhan padanya. Baginya, pelayanan adalah panggilan dari Tuhan sendiri. Tidak ragu ia berkata: “Kapan dibutuhkan, saya siap!”

RD Andreas Basuki W.

HIDUP NO.37, 14 September 2014

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini