St Agatha Lin Zhao (1817-1858): Katekis Pembela Martabat Wanita

942
St Agatha Lin Zao.
[agathalinzao.org]

HIDUPKATOLIK.com – Ia berkarya dengan tekad memajukan pendidikan kaum perempuan Tiongkok. Baginya, pendidikan adalah gerbang utama membangun keluarga sejahtera.

Sejarah mencatat Gereja Katolik Tiongkok mengalami masa-masa suram pada zaman Dinasti Manchu (1644-1912). Kematian Pater Francisco Fernández de Capillas OP mengawali daftar panjang misionaris yang mengorbankan nyawa. Dengan tangan besi, Kaisar Kangxi (1662-1722) tak memberi pilihan lain bagi Wangsa Manchu, taat kepada kaisar atau budaya Barat.

Kaisar Kangxi mengeluarkan perintah untuk mengejar para pembelot. Saat bersamaan, Gereja Katolik berkembang dengan kehadiran misionaris baru. Pada abad XVIII, lima martir Dominikan menumpahkan darah yang menyuburkan iman di Tiongkok.

Memasuki abad XIX, penganiayaan terus berlanjut. Pemerintahan Kaisar Jiaqing (1760-1820) menganiaya pengikut Kristus dan terus menghimpit Gereja. Kaisar ketujuh Dinasti Manchu ini melarang misionaris Société des Missions Étrangères de Paris (MEP) asal Perancis yang bermisi ke Tiongkok. Vikaris Apostolik Se-Ciuen (kini Keuskupan Chengdu) Mgr Luis Gabriel Taurin Dufresse MEP (1750-1815) dan beberapa imam diosesan menjadi saksi kebengisan Kaisar Jiaqing.

Namun, di antara darah martir yang tercurah di Tiongkok, kemartiran tiga katekis Jerome Lu Tingmei (1810-1858), Laurence Wang Bing (†1858), dan Agatha Lin Zhao menjadi sebuah pengorbanan yang tak ternilai. Ketiganya dibunuh di Maokai, Provinsi Guizhou.

Lin dan dua rekannya dibunuh pemberontak Mandarin di Maokai karena mereka menolak menanggalkan iman. Meski begitu, Lin menunjukkan bahwa kesetiaannya pada Kristus memberinya kekuatan untuk tetap setia sampai mati.

Menolak Dijodohkan
Sejarah mencatat tidak banyak catatan soal Lin Zhao. Ia dibaptis tiga tahun setelah ayah kandungnya meninggal. Sejak kecil, ia dikenal sebagai gadis cerdas berparas cantik. Wajar saja, sejak kecil Lin sudah dijodohkan. Pada usia 18 tahun, Lin menolak perjodohan itu karena ingin menjadi biarawati.

Berkat Pastor Matteo Liu, Lin bisa mengenyam pendidikan di Sekolah Perempuan Guiyang. Dua tahun kemudian, Lin terpaksa pulang ke rumah karena sang ayah tiri ditangkap pemberontak. Seluruh harta benda mereka dirampas termasuk tanah warisan almarhum ayahnya. Saat itu, Lin harus membantu ibu sebagai tulang punggung keluarga.

Pastor Matteo bercerita kepada Lin. Sebuah sekolah putri di Maokai sangat membutuhkan tenaga pendidik. Sang imam menceritakan gadis-gadis Kristen di Maokai sangat tertinggal baik dari sisi budaya maupun iman. Dengan ini, Pastor Matteo mendambakan adanya seseorang yang rela menjadi pengajar di Maokai.

Tak cukup itu saja, Lin juga mendengar informasi lain dari Jerome Lu Tingmei dan Lorenzo Wang Bing, dua katekis yang melayani secara gerilya di sana. Cerita yang diungkapkan kurang lebih sama. Derita dan kesulitan yang dihadapi di Maokai.

Lin pun trenyuh, ia pun mengajukan diri untuk bekerja di Maokai. Ia lalu berangkat dan tiba di Maokai tahun 1855. Di sana, gadis berlesung pipi ini tinggal bersama Jerome dan Lorenzo.

Tidak Takut
Maokai (Maokao) sebenarnya tempat yang mustahil bagi misi Kristen. Bagi katekis lokal di Guizhou, Maokai hanyalah lahan gersang yang dihuni kaum pemberontak. Di sini pemberontak Mandarin membangun markas mereka. Selain berbukit-bukit, daerah ini menjadi jalur utama pelayanan pastoral. Seorang imam MEP hilang dan tidak diketahui keberadaannya ketika melewati “jalur neraka” ini.

Masyarakat hidup pada moutai, sejenis minuman beralkohol yang menjadi produk andalan di daerah itu. Daerah dengan iklim lembap ini, menjadi tempat berkembangnya budaya pesta pora. Bisa ditebak, kejahatan lain pun satu per satu bermunculan. Wajah ini pun menjadi tantangan bagi misi iman Katolik kala itu.

Lin sangat paham bahwa bermisi ke Maokai adalah bunuh diri. Tetapi, ia tak tega saat mendengar informasi bahwa suku-suku minoritas Dong tertekan dengan kehadiran pemberontak. Para gadis hidupnya hancur karena menjadi budak nafsu pemberontak. Mereka kerap disiksa dan bahkan dibunuh. Budaya Tiongkok yang arif dan kekeluargaan pun terlupakan seiring kehadiran pemberontak.

Wanita energik kelahiran Ma-Trang, Guizhou tahun 1817 ini mulai tak tahan dengan situasi ini. Lin prihatin mendapati kondisi ini. Hatinya sebagai seorang perempuan serasa tersayat ketika membayangkan penderitaan perempuan lain yang hidup di tengah budaya yang keras itu.

Dengan gerilya, mereka melayani masyarakat. Mereka menyulap sebuah ruangan sebagai kapel untuk mengajarkan iman Katolik kepada umat. Bila Jerome mengajarkan katekismus, Lorenzo menjelaskan Kitab Suci, dan Lin menanamkan budaya Tiongkok lewat baca dan tulis.

Lin terus menjadi guru bagi sejumlah gadis Maokai. Disiplin hidup rohani, kebudayaan, etika, dan moralitas yang hidup dalam budaya Tiongkok pun diajarkan Lin. Ia juga memperkenalkan cheongsam, “pakaian panjang” khas perempuan Tiongkok. Lambat laun pendidikan kepribadian dan keimanan bertumbuh pesat. Dalam kamus hidupnya, hanya ada kata “ya” untuk kebaikan. Segala sesuatu yang bertentangan dengan iman dan kebudayaan ia anggap salah. Cara berbicaranya datar, tapi tegas. Ia menjadi guru yang jujur dan keibuan.

Sayang, kesuksesan Lin dan dua rekannya dibarengi dengan tekanan dan kebencian dari para pemberontak. Di usia 39 tahun, ia menjadi incaran para pemberontak. Mereka berusaha menghancurkan jejak-jejak misi seperti kapel dan sekolah lokal. Tekanan itu berujung dengan penangkapan Lin dan kedua sahabat katekisnya.

Derajat Wanita
Lin semakin serius barkatekese. Ia selalu membawa patung, salib, lilin, dan mengajak anak-anak berdoa. Suatu saat ketika berdoa, tiba-tiba masuklah para pemberontak. Mereka mendapati Lin sementara berlutut dan berdoa. Sementara para gadis, mereka berhasil menyelamatkan diri.

Lin pun tertangkap bersama dua saudaranya tahun 1857. Saat ditangkap, Lin mengenakan rompi kulit yang menutupi gaun panjang berwarna biru. Di atas kepalanya, ia mengenakan kain putih seperti cadar biarawati. “Ia terlihat begitu manis, bak malaikat,” tulis seorang imam MEP.

Lin dituduh menentang kaisar. Dihadapan pengadilan negeri Maokai, Lin dipaksa menanggalkan imannya, tetapi ia menolak. Hakim menanyakan siapa yang mengirim Lin ke Maokai dan apa tujuan kedatangannya. Ia bahkan mempertanyakan statusnya yang tidak bersuami. “Apakah kamu seorang perawan? Semua orang di Tiongkok harus menikah sesuai budaya. Kamu telah mengkhianati tradisi leluhur,” desak sang hakim.

Mendengar itu, Lin tegas menjawab, bahwa ia datang ingin mendidik wanita-wanita di Maokai. Ia mendidik agar perempuan dapat bertukar pikiran dengan suami tanpa canggung. Ia juga mengatakan bahwa dengan ajarannya setiap perempuan akan patuh dan hormat pada tradisi dan iman Kristiani. “Saya mengajarkan kaum wanita agar bisa memahami tentang pernikahan dan membangun keluarga berdasarkan tradisi leluhur.”

Pertanyaan ini bukannya mengubah keputusan malah membuat hakim murka. Ia memerintahkan agar dua prajurit menelusuri apakah Lin seorang gadis perawan atau tidak. Namun, Lin telah bertekat untuk hidup dalam kemurnian. Ia ingin hidup selaras dengan nasihat Injil.

Pernyataan Lin inilah yang akhirnya membuat hakim menjatuhkan hukuman mati untuk Lin. Demikian juga dengan kedua sahabatnya yang lain. Tiga pejuang iman ini dibunuh dengan cara dipenggal di Maokai, pada 28 Januari 1858.

Paus Pius X membeatifikasi Lin pada 2 Mei 1909 bersama dua rekannya dan beberapa martir Tiongkok lain. Mereka dikanonisasikan pada 1 Oktober 2000 oleh Paus Yohanes Paulus II.

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini