F.X. Budi Satmiko: Batik Sarana Kesaksian

420
F.X. Budi Satmiko.
{NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Meski tidak sepenuhnya mendapat dukungan orang tuanya, ia terus memperdalam aliran seni dalam dirinya. Kini buahnya berguna bagi kesaksian hidupnya di masyarakat.

Darah seni mengalir dalam diri Budi Satmiko sejak kecil. Ia mengasah minat dan bakat itu secara otodidak. Bagi Budi, seni itu mewarnai kehidupannya. Di samping suka dengan seni teater, ia juga mengasah seni rupa. Tangannya fasih mengayunkan kuas menghasilkan kombinasi warna yang menakjubkan.

Gaya lukisan Budi lebih ke realis dan surealis. Meski tak menempuh pendidikan formal bidang seni, ia terus mengembangkan talenta bersama rekan-rekan yang menaruh minat yang sama.

Namun jejak lukisan Budi mampu melampau batas-batas kanvas. Gaya kemampuan lukisnya berkelana ke media lain. Ia pun memilih lembaran kain. Di sana, ia mengembangkan gaya baru dalam seni lukis batik. Keberaniannya hijrah dari Yogyakarta ke Kota Gajah Lampung di kemudian hari terbukti mengembangkan gayanya dalam lukisan di kain-kain batik.

Pindah Lampung
Saat pada tahun 2007, Budi hijrah dari Yogyakarta ke lampung. Ia mulai bersentuhan dengan budaya setempat. Motif-motif baru semakin banyak ia serap di Negeri Sang Bumi Ruwa Jurai itu. “Kepindahan saya ke Lampung belakangan hari mengubah sebagian besar jalan hidup saya, saya melihat begitu banyak hal baru di sini.”

Pada saat Budi diundang untuk membuat dekorasi natal oikumene di salah satu kantor pemerintahan. Ia menjadi penasaran dengan “siger” khas Lampung. Ketertarikan itu terutama pada makna filosofis nya. Semakin mencari, ia mendapati bahwa siger bermakna sebagai mahkota kebesar an dalam budaya Lampung.

Pelan-pelan Budi masuk dan berbaur dalam masyarakat asli Lampung. Di sana, ia menggali kekayaan setempat. Tahap demi tahap pengenalannya itu mengantarnya dapat berhubungan dengan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Lampung Selatan. Ia mulai dikenal oleh bupati dan istrinya.

Mulanya, Budi dikenal dengan seni dekorasi dan logo-logo khas Lampung. Kemudian ia juga dipercaya untuk mengikuti pelatihan di beberapa daerah. Hal itu yang kemudian ia tekuni hingga kini. “Sejak saat itu saya mulai banyak berhubungan dengan dunia kesenian di Lampung,” ungkap suami dari Maria Wiwik Widyanti ini.

Untuk semakin meningkatkan kualitas kerajinan batik khas Lampung yang dipadukan dengan motif yang sedang berkembang, ia sempat nyantrik ke Jepara Jawa Tengah. Ia sempat belajar tenun dan batik di tempat Haji Syaifudin di Troso, Jawa Tengah. Di tempat ini, ia belajar semua seluk beluk pertenunan. Ia belajar mulai dari pemintalan benang, mengikat dan penenunan. “Jenis yang saat itu saya pelajari adalah tenun ikat lungsi dan tenun ikat pakan”, ungkapnya.

Setelah cukup berkelana, Budi pun berani memadukan motif siger dan cadik (perahu). Cadik sendiri adalah sebagai simbol mata pencaharian masyarakat Lampung. Saat itu, ia mendesain gambar motif khas Lampung dan mengirimkannya ke Yogyakarta untuk dicetak.

Karena usaha ini, Budi dikirim Bupati Lampung Selatan belajar ke Thailand untuk belajar tentang motif lebih banyak lagi. Di Thailand, ia menemuakan beragam motif baru, misalnya motif gajah serta beragam motif lainnya. “Thailand menempatkan gajah sebagai binang yang penting. Ini mirip dengan di Lampung dimana gajah juga memiliki tempat istimewa,” ujar Budi.

Lintas Keyakinan
Sebagai seniman, Budi lebih suka menyamakan perkembangan jiwa seninya sebagai sebuah evolusi. Proses ini berjalan pelan namun pasti, ketimbang revolusi yang harus cepat dan jika gagal mengorbankan banyak orang. Budi mengingat, bahwa kiprahnya ini ternyata berkaitan dengan misi hidupnya sejak awal.

Budi pun mulai merangkul masyarakat pribumi sekitar rumahnya. Di situlah ia mencoba mewujudkan kesaksian lintas keyakinan. Di tangannya, batik menjadi jembatan untuk menyatukan pribadi-pribadi manusia. “Batik dan seni yang saya kenalkan kepada mereka, saya pakai sebagai sarana kesaksian. Ini dilakukan tanpa harus memaksa mereka untuk
memeluk keyakinan yang sama dengan saya.”

Sebagai seorang Katolik, Budi berusaha tidak mengambil jarak dengan saudara-saudaranya dari beragam kalangan. Ia melihat semua memiliki cita rasa yang berbeda satu dengan yang lain soal seni dan keyakinan. Budi misalnya mengingat, seorang teman yang memintanya membuat kaligrafi pada kain sorban rekan muslimnya.

Selain darah seni yang mengalir dalam hidupnya, Budi juga minat dengan karya sosial. Dalam karya sosial semacam itu, ia menemukan tantangan. Ia mengaku mendengar tuturan seorang teman bahwa lokasi akses jalan yang susah itulah menjadi salah satu tantangan yang berat. “Bagi saya kegiatan seni dan sosial semacam ini merupakan komitmen hidup untuk mewujudkan Ekaristi yang saya hidupi.”

Dengan spiritualitas Kristiani ini, Budi mengembangkan jiwa seninya. Hal ini terlihat misalnya saat ia mengikuti pameran yang diadakan oleh Dekranasda. Meski lukisan-lukisan batiknya sangat kental bernuansa Lampung, namun terasa nuansa-nuansa spiritual yang kental di dalamnya.

Budi selalu merefleksikan, bahwa karyanya itu sebagai alat untuk memberi semangat hidup bagi orang lain, siapa pun itu. Hal itulah yang ia sadari sebagai alat komunikasi efektif untuk membaur dengan masyarakat setempat. “Saya mencoba menggali kekayaan budaya setempat, agar sebagai umat Kristiani saya dapat membaur dengan siapa saja, sebab dalam diri mereka ada kebaikan yang begitu berharga,” imbuhnya.

Kaum muda seharusnya juga mencintai budaya dan berusaha mengembangkannya. Sebagai generasi masa depan, pemuda diharapkan mampu berjuang lebih keras dalam setiap hal yang ia dalami. “Anak muda mari mencintai budaya melalui kegiatan membatik, minimal sebagai sarana berkumpul.”

F.X. Budi Satmiko
TTL: Karang Anyar, 22 Januari 1979
Isteri : Maria Wiwik Widyanti
Pendidikan : SLTA Yogyakarta
Pekerjaan : Yayasan Batik Indonesia (Certificate World Summit 2011)

Fr Nicolaus Heru

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini