Berkarya di Tanah Damai

356
Keberagaman yang menjadi realisasi filosofi “satu tungku tiga batu” di Fak Fak Papua.
[Komsos Paroki St Paulus Fak Fak]

HIDUPKATOLIK.com – Bagi orang Papua, Gereja adalah “Mama”, tempat mereka bergantung dan berharap.

Sejauh memandang, rumput hijau dan pepohonan yang rindang tak akan sulit ditemukan di sekitar Modio, Nabire, Papua. Sampai setahun yang lalu, tak banyak tanaman produksi yang tumbuh di lahan subur itu. Penduduk setempat hanya mengandalkan hasil hutan. Tak banyak tanaman yang bisa diandalkan untuk menopang hidup mereka.

Sejak setahun lalu tanaman-tanaman produksi seperti bawang, kopi, mulai bermunculan di sela-sela padang rumput itu. Di beberapa wilayah, orang-orang berpeluh keringat mengolah lahan yang dulunya tidur. Tanaman produksi yang mereka tanam pelan-pelan memberi harapan akan terpenuhinya kebutuhan hidup.

Semua ini berkat program “Tungku Api” yang diinisiasi Keuskupan Timika. Melalui gerak sosial ekonomi ini mereka memberdayakan umat untuk mandiri. Mereka mendampingi umat mengolah lahan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Gereja adalah Mama
Bagi orang asli Papua, Gereja adalah “Mama”, tempat mereka bergantung dan berharap. Bak mengutarakan isi hati, Pastor Alfonsus Biru Kira mengungkapkan, seringkali masyarakat asli Papua dihadapkan kepada tantangan yang berbuah konflik. Situasi demikian membuat mereka merasa kalah dan tertindas. Untuk itu, mereka menjadikan Gereja sebagai tumpuan dan harapan. “Kami mau lari ke mana jika tidak ada Gereja? Kami hanya harap Gereja yang bisa membantu kami dan bisa berdiri bersama kami,” ungkap Pastor Kira.

Pastor Kira telah tinggal di Papua sejak 2012. Ia bahkan pernah bertugas di pedalaman Paniai Epouto. Dengan pengalaman ini, ia merasakan betapa masyarakat asli membutuhkan kehadiran Gereja di tengah mereka. Ungkapan kebutuhan akan Gereja tergambar ketika masyarakat pedalaman membagikan keluh kesah mereka kepada para pastor. “Iya ya, mereka sangat bergantung kepada kita. Jika ada apa-apa kami para pastor harus berdiri di depan melindungi domba-domba kami,” tuturnya.

Gembala yang baik harus berdiri di barisan paling depan untuk melindungi domba-dombanya. Begitu Pastor Kira menganalogikan karyanya di tengah umat. Perlindungan ini memiliki arti menjaga masyarakat asli dari orang-orang maupun perusahan yang datang hanya untuk mengeruk kekayaan alam Papua. “Orang-orang ini tak berpikir tentang kesejahteraan masyarakat asli dan kelestarian alam Papua.”

Gerakan Tungku Api
Jeritan hati masyarakat Papua ini memicu kepedulian Keuskupan Timika. Pastor Kira menjelaskan Gerakan Tungku Api menjadi salah satu jawaban. Nama “Tungku Api” diambil dari tradisi masyarakat daerah pedalaman dan pegunungan. Tungku adalah sumber kehidupan, setiap rumah memiliki tungku api. Jika tungku api menyala ini menandakan ada kehidupan di satu rumah. “Tungku api itu menghidupkan. Tungku api dapat digunakan untuk memasak makanan hasil alam dan menjadi tempat orang berkumpul dalam keluarga. Maka, tungku adalah pusat kehidupan.”

Terdapat dua esensi pencapaian dari Gerakan Tungku Api yakni perlindungan dan pengelolaan. Konsentrasi gerakan ini tertuju pada tanah yang menjadi sumber hak hidup tanah, air, hutan, dan budaya. “Tanah sumber hak hidup harus dilindungi dan dikelola agar menjadi modal bagi umat masyarakat. Dengan demikian, masyarakat menjadi tuan di atas tanahnya sendiri,” tutur Pastor Kira.

Program ini telah dilaksanakan sejak 2017. Namun, karena tersebar pada masing-masing tim pastoral, gerakan ini belum disatukan dalam gerakan resmi Keuskupan Timika. Pastor Kira menjelaskan Uskup Timika, Mgr John Philip Saklil mendukung gerakan ini. Lewat dukungan ini keuskupan mulai menjadikan gerakan ini secara bersama-sama pada akhir tahun 2017. Program disusun untuk masa tiga hingga lima tahun ke depan.

Sejalan dengan gerakan ini, Paroki Modio telah mengadakan kursus pemetaan desa. Setiap desa dan kampung yang memiliki tanah ulayat diwajibkan untuk dipetakan. Pemetaan meliputi tanah, sumber air, sumber budaya, dan tempat keramat. Peta ini dibuat dan diajukan ke pemerintah agar menjadi kawasan yang dilindungi.

Hasil alam dan budaya seperti noken, kopi, kacang, dan bawang diangkat menjadi komoditas. Pastor Kira menjelaskan, barang ini diangkat agar masyarakat menyadari betapa berharganya komoditas yang dihasilkan dari tanah mereka sendiri. Dari sini muncul rasa untuk melindungi tanah mereka.

Dengan mengangkat alam, budaya, dan manusia, ini membangkitkan kebanggaan. Alhasil, masyarakat asli akan menjaga, melindungi, dan mempertahankan tanah mereka. Pastor Kira mencontohkan, dengan mengajak berpikir soal tanah, umat akan merenungkan tanpa tanah tidak akan muncul kehidupan.

Maka, tanah harus dipertahanankan. Karena dari tanah, kopi yang sekarang dicari-cari orang muncul. Dari tanah juga muncul noken.

Menurut Pastor Kira, saat mereka tahu bahwa dari tanah bisa muncul sesuatu yang berharga dan mendatangkan kehidupan, tanah ini akan dipertahankan. Tanpa kesadaran ini, tanah akan dijual sembarangan. “Ini merupakan contoh gerakan Tungku api untuk melindungi sumber hak hidup dan pengelolaan.”

Dengan munculnya perubahan akibat gelombang modernisasi turut membawa tantangan baru bagi masyarakat asli Papua. Pastor yang sedang berkarya di Kampung Modio ini melihat geliat perubahan akibat terbukanya jalur keterisolasian oleh pembangunan jalan Trans-Nabire hingga Dogiyai. Tidak hanya dampak positif dirasakan masyarakat asli seperti kemudahan mengakses kesehatan pendidikan, tetapi juga dampak negatif. Masyarakat mulai terjerat dalam lembah konsumerisme. “Lajunya perpindahan arus barang dari kota ke desa membuat masyarakat pedalaman kebingungan dan haus untuk membeli barang.”

Setungku Tiga Batu
Perkembangan iman umat menjadi perhatian juga di seluruh keuskupan di Papua. Di tengah arus deras pendatang, membawa serta tantangan dalam dialog dan kerukunan antaragama. Di intern Gereja Katolik sendiri, fenomena ini menuntut strategi baru dalam katekese.

Adanya pendatang yang beragama lain tidak perlu dibarengi kekhawatiran. Pastor Eddy Kristiyanto OFM berpendapat, umat Katolik sejati justru akan diuji dalam kondisi semacam ini. “Saya berkeyakinan bahwa siapa yang bertahan di dalam tantangan macam-macam itulah yang disebut Katolik sejati. Ketakutan itu pun sebenarnya tidak perlu.”

Pastor Eddy mencontohkan, semangat toleransi sudah ada dalam filosofi “Satu tungku tiga batu” yang ada dalam masyarakat Fak-Fak, Kota Pala, dan Kota Perjuangan. Dalam filosofi ini meski anggota keluarga memeluk keyakinan dan agama yang berbeda, semua menopang junjungan yang sama, yakni Yang Ilahi. “Sebutan Sang Hyang Ilahi bisa berbeda tetapi memiliki esensi yang sama. Itulah sebabnya masyarakat Fak-Fak tidak memiliki konflik horizontal berlatar belakang isu agama,” ujar imam Ordo FratrumMinorum (OFM) ini.

Bagi dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini, aspek kehidupan berupa pendidikan, kesehatan, penanaman nilai-nilai dalam keluarga perlu mendapat perhatian lebih. Ia menambahkan perlu adanya kerja sama antar-keuskupan. “Solidaritas antar keuskupan sangat dibutuhkan. Bukan soal harta benda karena itu bisa dicari melainkan tenaga yang paling sulit,” ungkapnya.

Solidaritas dalam sumber daya manusia amat penting terlebih tenaga pastoral dari kaum religius. Masyarakat Papua memerlukan pekerja yang mau berjalan bersama mereka. Pastor Eddy menegaskan, gerakan kaum religius sangat menentukan bagi perkembangan Gereja Katolik. Meski begitu, ia juga melihat peran awam yang punya andil. Papua memerlukan kehadiran kaum religius yang dapat mendengar jerita kemanusiaan mereka. “Gereja yang mengerti dan rela bersama membangun dengan mereka lah model yang paling dicari. Untuk itu, solidaritas tenaga kaum religius harus ditingkatkan.”

Felicia Permata Hanggu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini