Politik Identitas dan Pilihan Masyarakat Katolik

498

HIDUPKATOLIK.com – Setiap orang bangga identitasnya diakui oleh semua pihak karena pencapaiannya. Yunani dikenang karena praktik demokrasi, yang walaupun tenggelam tahun 400 SM setelah dikalahkan Macedonia dan Sparta, sehingga Sokrates dipaksa minum racun. Suku Viking di Norwegia bangga sebagai cikal bakal demokrasi modern. Bangsa Aria Jerman membanggakan diri sebagai uber alles, orang Sardinia Italia berbangga karena praktik pemerintahan rakyat (res publica).

Dalam demokrasi modern, politik identitas justru berbahaya. Demokrasi menolak telak penonjolan identitas primordial. Demokrasi mengenal ada satu kata: percaya. Basis dasar demokrasi adalah kepercayaan warga untuk bersedia diperintah.

Politik Identitas Indonesia
Untuk pertama kalinya isu identitas sangat kuat dalam Pemilu 1955. Sejumlah 7 (tujuh) partai yang memperoleh suara terbesar adalah partai politik identitas aliran tertentu. Partai Katolik di posisi ke-7 dengan perolehan 6 (enam) kursi parlemen, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) di urutan ke-6 dengan 8 (delapan) kursi. Di masa Orde Baru, isu politik identitas ditutup.

Politik identitas mencapai puncaknya pada Pemilu 1999 dan 2004. Partai agama yang sangat menonjol adalah Partai Keadilan. Pada Pemilu 1999, Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) beraliran Protestan mendapatkan 5 (lima) kursi, sementara Partai Katolik Demokrat (PKD) mendapat 1 (satu) kursi. Pada Pemilu 2004, Partai Damai Sejahtera (PDS) beraliran Protestan memperoleh 13 (tiga belas) kursi di parlemen.

Namun sejak 2009 hingga 2014, partai identitas tidak lagi menarik bagi pemilih. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebagai partai kader yang tulen berbasis agama berubah menjadi partai terbuka dan mencalonkan kader non Muslim di Bali, Papua, dan daerah lain. Partai politik identitas agama terjun bebas di titik nadir pada Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Partai Bulan Bintang (PBB) yang sealiran dengan PKS malah tidak lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum untuk Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.

Pilihan Politik Orang Katolik
Dalam sejarah politik Katolik di Indonesia, campur tangan Gereja tidak bisa dihindari. Duet sejati IJ Kasimo sebagai Ketua Partai Katolik dengan Mgr Soegijapranata sebagai hierarki Gereja mendorong identitas Katolik muncul dalam peta politik nasional. Keduanya kelak menjadi Pahlawan Nasional. Cita-cita kedua tokoh tersebut membuktikan bahwa keberadaan umat Katolik di bumi pertiwi Indonesia bukanlah perantau atau orang asing tetapi bagian tidak terpisahkan dari negara Indonesia.

Dalam demokrasi modern, bagaimana sebaiknyapilihan orang Katolik? Mengamati perkembangan politik sejak Pemilu Presiden 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, sangat terasa pengaruh politik identitas. Kehadirannya bukan dalam bentuk partai tetapi dalam isu pemenangan calon.

Padahal prinsip demokrasi adalah prinsip kepercayaan. Maka ukuran demokrasi modern adalah kualitas, kapasitas, dan kredibilitas. Allan Ware (2011) berpendapat bahwa pilihan politik yang paling menonjol dewasa ini bukan karena ideologi partai, bukan program partai tetapi sosok. Maka menjadi sangat penting pengetahuan mendalam warga terhadap sosok kandidat bukan politik identitas primordial.

Demokrasi harus bebas nir isu primordialisme. Politik Katolik harus selalu digaris tersebut. Jumlah masyarakat Katolik Indonesia sebesar 2,9% (data BPS 2010) sangat signifikan menentukan arah politik Indonesia terutama jika terjadi dua pertarungan politik pelik. Dalam Pilkada 27 Juni 2018 nanti sebaiknya orang Katolik konsisten di garis prinsip demokrasi nir primordialisme.

Osbin Samosir

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini