Tukang Kayu

394

HIDUPKATOLIK.com BEL sekolah berdering keras menandakan waktu istirahat dimulai. Para murid segera keluar dari kelas mereka. Sebagian ke kantin. Sebagian yang lain memilih untuk sekedar bercengkerama di selasar sekolah.

Siang ini surya menyengat dengan teriknya namun rimbun daun angsana melindungi kami dari panas yang menusuk kulit. Dari kejauhan, kutatap keheningan Candi Borobudur dinaungi Perbukitan Menoreh yang asri.

Oya….. aku ingat harus bayar uang SPP. Segera aku ke ruang Tata Usaha.
“Selamat siang Ranu. Ada yang bisa saya bantu? Pak Setyo, staf TU menyapaku dengan senyum yang merekah.
“Selamat siang Pak Setyo. Saya mau membayar uang SPP. Sekalian saya mau menanyakan syarat-syarat masuk Universitas Negeri Jalur Prestasi.”
“Baik. Uang SPP saya terima. Lalu untuk syarat-syaratnya…”

“Pak Setyo. Maaf. Bapak diminta bertemu Kepala Sekolah. Sekarang. Penting katanya,” Bu Ambar, staf TU yang lain, menyela pembicaraan kami.
Meski sekolahku minim fasilitas, namun setiap guru, karyawan, dan staf selalu disiplin dan memberikan pelayanan yang terbaik. Begitu juga dengan Pak Setyo.

Sudah lebih dari 25 tahun ia berkarya di sekolahku. Dengan sabar ia selalu melayani kami, para siswa. Rambutnya sudah dipenuhi uban, seolah menjadi penanda akan perjalanan hidupnya yang panjang.

Ia tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Pendidikannya hanya sampai SMK, itupun dari jurusan pertukangan. Namun waktu itu, setelah menjalani tes masuk, ketua yayasan bisa menilai bahwa Pak Setyo adalah sosok yang jujur.

***

“Bulan lalu kami sudah memberi Surat Peringatan yang kedua untuk bapak. Tapi sampai hari ini, bapak masih sering terlambat dan absen. Hal ini mengakibatkan ketidaklancaran dalam administrasi sekolah kita, terutama disaat kita sedang sibuk mempersiapkan Ujian Nasional,” jelas Kepala Sekolah, Pak Arya.

“Sekali lagi saya minta maaf, Pak. Setelah istri saya meninggal tahun lalu, sendirian saya harus mengurus Suryani, cucu saya satu-satunya. Sekarang dia masih kelas 3 SD. Kedua orangtuanya mencari nafkah di Taiwan. Akhir-akhir ini Suryati sering sakit dan saya harus merawatnya.”

“Kami ikut prihatin dengan kondisi bapak. Tapi peraturan kepegawaian di sekolah ini harus tetap dijalankan. Dengan berat kami harus memberitahu bapak bahwa terhitung mulai awal bulan depan, bapak tidak akan bertugas lagi di bagian Tata Usaha. Kami akan mutasi bapak untuk membantu bagian sarana dan prasarana karena banyak kerusakan peralatan di sekolah kita.”

Pak Setyo  mengambil nafas panjang. Berat rasanya ia menerima keputusan itu. Ia tidak akan bisa lagi melayani murid secara langsung. Ia tidak akan bisa mengerjakan pembukuan keuangan yang selama ini menjadi tugas keseharian dia.

“Baik. Kalau memang itu konsekuensinya, saya akan jalankan apapun keputusan bapak,”
Pak Setyo hanya bisa menerima.

***

Aku sudah tidak pernah bertemu Pak Setyo lagi di ruang TU. Aku tahu, sekarang dia bekerja dalam diam di gudang sekolah. Hasil kerja tangannya bisa kami temui di kelas-kelas. Papan tulis, jendela, meja guru, bingkai foto pahlawan, dan bangku siswa yang sebelumnya banyak yang rusak dan tidak terawat, sekarang menjadi lebih baik dan enak dipandang.

Siang itu, disaat istirahat kedua, tepat jam 12 siang, aku lihat Pak Setyo di Kapel sekolah. Seperti biasa, sejenak dia berhenti dari kesibukan kerja untuk berdoa Malaikat Tuhan. Ia bersujud sembari mengucap syukur atas kemurahan Tuhan dalam hidupnya. Kebiasaan ini ia lakukan sejak awal berkarya di sekolahku.

Aku juga berdoa memohon kelancaran Ujian Nasional minggu depan. Setelah itu, aku hampiri Pak Setyo.
“Bagaimana dengan pekerjaan bapak sekarang?”
“Awalnya saya merasa berat, Ranu. Tapi pelan-pelan akhirnya saya bisa menyadari bahwa Tuhan menempatkan saya bekerja di gudang sekolah bukan tanpa alasan. Dalam berbagai tugas yang diberikan oleh atasan, kita harus siap menjalankannya dengan penuh suka cita dan tanggungjawab.

Kita masih bisa melayani sesama dengan cara yang beragam. Dengan bekerja di gudang, saya justru bisa mempraktikkan lagi ketrampilan pertukangan yang dulu saya pelajari di STM. Sekarang saya juga bisa berinteraksi dengan ciptaan Tuhan yang lain.”

“Ya, dengan kayu. Dari kayu, Tuhan mengajarkan kita untuk rela berkorban, seperti Yesus. Setelah tumbuh, kayu akhirnya mati dan dipakai manusia untuk kebutuhan sehari-hari. Sembari bekerja, saya sering memandangi serat-serat kayu yang telah menua. Serat-serat kayu itu mengingatkan saya akan bilur-bilur luka Yesus yang terkoyak.

Ia rela mati menanggung dosa-dosa kita, manusia yang congkak dan tamak. Ranu, coba lihatlah patung Santo Yusuf itu. Wajahnya begitu teduh. Sama seperti saya, ia juga seorang tukang kayu. Saya begitu kagum akan ketaatannya mengikuti kehendak Allah dan akan kesetiaannya menemani Maria dalam mengasuh Yesus.

Sebagai tukang kayu, hidupnya sangat tekun dan bersahaja. Santo Yusuf selalu memberi semangat dan melindungi kami, para pekerja, para tukang kayu, tukang batu, karyawan, para buruh pabrik, buruh bangunan, dan tenaga kasar yang lain.”

***

“Maaf telah mengganggu waktu Bapak,” Pak Arya memanggil Wakil Kepala Sekolah di kantornya.

“Tidak apa-apa, Pak. Kebetulan ini pas saya tidak ada jadwal mengajar, “
“Pak Danu, sebagai Wakil Kepala Sekolah bagian sarana dan prasarana, seharusnya bapak tahu bahwa anggaran kita untuk membeli peralatan sekolah makin lama makin menipis. Jumlah murid kita juga makin menyusut karena banyak sekolah baru yang menawarkan fasilitas yang jauh lebih lengkap dan modern.

Kita harus benar-benar ketat dalam pengeluaran uang. Kalau tidak, sekolah kita pasti akan cepat gulung tikar. Banyak dari siswa kita yang orangtuanya juga belum membayar uang SPP karena himpitan ekonomi dan kita tidak bisa memaksa mereka untuk segera melunasi uang sekolah.

Tapi tanpa sepengetahuan dan seijin saya, bagaimana bisa bapak secara sepihak membelanjakan uang sekolah untuk membeli peralatan baru? Dari mana bapak bisa membeli rak buku, lemari, meja, dan papan tulis baru kalau tidak memakai uang sekolah?”

“Sebelumnya saya minta maaf karena telah lancang tidak memberi tahu bapak. Hal ini berkaitan dengan Pak Setyo.”
“Pak Setyo? Kan sudah kami tempatkan dia di gudang. Bikin ulah apalagi dia?”.
“Begini Pak. Beberapa waktu lalu Pak Setyo melihat banyak tumpukan kayu tua, bekas renovasi aula 5 tahun yang lalu. Dia meminta ijin saya untuk diperbolehkan mengolah kayu-kayu yang teronggok di gudang agar bisa dimanfaatkan.

Sejauh itu baik, lalu saya ijinkan. Perlu saya sampaikan bahwa sepeserpun kami tidak memakai uang sekolah. Kami memanfaatkan bahan dan alat yang ada. Berkat keuletan Pak Setyo, kita sekarang bisa memiliki peralatan baru. Tidak perlu beli.

Selama bekerja di gudang, dengan tekun Pak Setyo mengolah kayu yang selama ini disingkirkan, dilupakan, dan dianggap tidak berguna.”
Pak Arya langsung terdiam. Raut mukanya tidak dapat menyembunyikan perasaan bersalah dan penyesalan yang mendalam.

 

Victor Puguh Harsanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini