Pastoral Belas Kasih bagi Pengungsi

430
Pastor Agustinus Heri Wibowo (kanan) saat mengunjungi pengungsi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
[HIDUP/Hermina Wulohering]

HIDUPKATOLIK.com – Menyapa dan berbagi cerita dengan para pengungsi menjadi waktu-waktu sangat berarti. Sama seperti semua orang mereka ingin mendapat kasih sayang.

Masalah pengungsi ada dan terjadi di tengah masyarakat. Di lingkup Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) setidaknya mereka tinggal di daerah Kalideres, Jakarta Barat dan di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Gereja tidak dapat berpaling muka. Problem ini adalah juga masalah yang menuntut perhatian Gereja.

Ketua Komisi Keadilan Perdamaian (KKP) KAJ Pastor Agustinus Heri Wibowo mengatakan Gereja sebagai kawanan kecil turut serta berpartisipasi memberikan perhatian atas dasar kemanusiaan kepada saudara-saudari pengungsi yang jauh dari tanah air mereka. “Mereka saudara kita. Ini terjadi di depan mata kita, di wilayah pastoral kita. Kita mencoba melakukan apa yang bisa kita lakukan.”

Pastor Heri sadar, kehadiran Gereja boleh jadi tak memiliki arti banyak. Gereja tidak bisa membantu secara penuh dan tuntas. Tapi sebagai bentuk perhatian dan persaudaraan.

Menurut Pastor Heri, masalah pengungsi begitu kompleks dan luas. Ia mengatakan mereka memang membutuhkan makanan, tapi bukan hanya itu. Mereka juga membutuhkan persahabatan.

Sahabat Sesungguhnya
Menyapa dan berbagi cerita dengan para pengungsi menjadi waktu-waktu sangat berarti bagi mereka. Meski hanya sesekali, namun inilah persahabatan sesungguhnya. Seperti dalam kunjungan KKP pertengahan April lalu. Pastor Heri ditemani beberapa anggota komisi dan dua calon imam. Mereka membagikan bantuan kepada para pengungsi. “Persaudaraan yang kita berikan akan menjadi seperti air di tengah padang gurun. Walaupun seteguk tetapi akan sangat berarti,” ungkap Pastor Heri.

Pastor Heri berpegang pada keprihatinan yang beberapa kali disampaikan Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo. Dalam seruannya, Mgr Suharyo meminta para imam untuk tidak lupa memperhatikan pengungsi yang ada di wilayah pastoralnya.

Selain di tingkat komisi keuskupan, paroki-paroki di KAJ juga mengupayakan bantuan dan pelayanan bagi pengungsi. Hanya saja di beberapa tempat belum terkoordinasi dengan baik. Paroki Trinitas Cengkareng dan Paroki St. Maria Imakulata Kalideres, Jakarta Barat telah mengupayakan bantuan dan pelayanan bagi para pengungsi di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kalideres.

Sedangkan di Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu, Jakarta Selatan sekitar 20 pengungsi bermukim di Lingkungan St. Yakobus Zebedeus. Para pengungsi di sini umumnya berasal dari Sri Lanka. Mereka rata-rata beragama Katolik dan Hindu. “Selain mengupayakan bantuan, salah satu bentuk perhatian lingkungan adalah dengan menerima para pengungsi dalam komunitas Gereja. Mereka antusias dan terlibat aktif dalam kegiatan lingkungan,” ungkap Ketua Lingkungan St Yakobus Paroki Pasar Minggu Laurensius Ola.

Paroki St. Nikodemus Ciputat upaya membantu pengungsi dilakukan Seksi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE). Paroki melakukan kunjungan dan memberi bantuan erupa bahan-bahan pokok. Keberlanjutan bantuan ini masih dalam proses koordinasi dengan KAJ. Pastor Heri mengatakan KKP berupaya untuk melakukan koordinasi dengan Seksi Keadilan dan Perdamaian yang kini hadir di paroki-paroki.

Pendamping Pengungsi
Serikat Yesus Indonesia selama ini memberikan bantuan kepada para pengungsi lewat Jesuit Refugee Services (JRS). Sudah sejak lama, JRS menjadi saluran dalam Serikat Yesus saat melakukan bantuan bagi pengungsi, menemani, melayani, dan membela hak-hak para pengungsi.

JRS bermula dari keprihatinan atas “manusia perahu”, yaitu para pengungsi Vietnam akibat Perang Vietnam (1955–1975). Mereka menempuh perjalanan penuh risiko, melintasi Laut Tiongkok Selatan dan ditampung di kamp pengungsian di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau.

Pastor Thomas Aquinas Maswan Susinto SJ mengungkapkan JRS ingin menjadi bagian dari respons Gereja terhadap keadaan para pencari suaka dan pengungsi lintas batas negara. Pengungsi selalu mudah dilupakan dan disalahmengerti. Ia menjelaskan, JRS kini ada di Bogor, Manado, dan Medan.

Di Rude nim Medan dan Manado, JRS membantu di sana dengan aneka kegiatan psikososial. Di Medan, Sumatera Utara, Graha Maria Annai Velangkanni memiliki learning center bagi para pengungsi Sri Lanka. Sedangkan di Cisarua Jawa Barat, Pastor Maswan menambahkan, JRS mendampingi pencari suaka dan pengungsi dengan mendukung biaya hidup untuk makan-minum dan tempat tinggal.

JRS selalu ada dalam koordinasi dan kolabo rasi dengan organisasi yang berbasis agama, seperti Buddha Tzu Chi, Dompet Dhuafa, Church World Service untuk JRS Jakarta. Sedangkan di Cisarua, JRS bekerjasama dengan sebuah pondok pesantren di sana.

Berdasarkan pengalaman, Pastor Maswan mengatakan, Gereja setempat kadang ragu untuk mendampingi pengungsi karena belum tahu harus berbuat apa. JRS selalu berbagi pengalaman perjumpaan dengan pengungsi kepada komunitas Gereja setempat. JRS menjelaskan siapakah para pengungsi ini dan mengapa mereka terpaksa mengungsi. “Kami jelaskan proses apa yang mereka tempuh di Indonesia untuk mendapatkan perlindungan internasional. Stres dan kesulitan apa yang mereka hadapi karena masih dilarang bekerja, ketidakpastian apa yang mereka hadapi, kekerasan apa yang sering mereka alami,” ungkap Pastor Maswan.

Pastor Maswan menambahkan, beberapa kali JRS menjumpai pencari suaka dan pengungsi Katolik dan Protestan yang sedikit jumlahnya di Indonesia. JRS memperhatikan pengungsi yang dalam kriteria pengungsi yang paling rentan. “Fokus perhatian tetaplah bukan pada latar belakang agama tetapi pada pribadi pengungsi sebagai sesama manusia.”

Chrispina Maria Grace
Education Project Officer

“Pengungsi adalah orang yang berdaya. Mereka mampu secara intelektual. Dalam berbagai tekanan psikis, mereka amat membutuhkan teman. Dalam komunitas sesama pengungsi yang tertekan karena nasibnya tidak jelas, mereka cenderung tidak saling menambahkan beban.

Teman bicara sekalipun hanya untuk mengobrolkan masalah paling remeh sudah menjadi hiburan bagi mereka. Saya sangat terkesan akan daya juang para pengungsi, terutama kaum lansia, yang sangat tinggi. Mereka seperti tidak punya kontrol atas masa depan mereka. Hidup mereka di tangan UNHCR untuk status dan negara ketiga, apakah mereka bisa melanjutkan perjalanan atau tidak.”

Qoni Khoirisyah
Finance Officer JRS

“Meski mengurusi keuangan, staf JRS juga bersentuhan langsung melayani pengungsi. Mereka tidak punya pilihan saat melalui situasi yang menantang di negara mereka. Mereka datang melintasi beberapa negara, bersama keluarga dan ada yang terpisah. Rutinitas mereka dari hari ke hari sama dan hanya di sekitar pemukiman.

Tidak jarang, rasa bosan dan jenuh datang. Aktivitas yang beragam dan bermanfaat akan membantu mengatasi kejenuhan. Misalnya belajar Bahasa Inggris dengan tema dan aktivitas berbeda. Mereka adalah orang yang tabah dan gigih. Saya pikir tidak semua orang bisa menjalankan hidup seperti mereka.”

Hermina Wulohering

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini