Bulan Mei Ada Reformasi

403
[48 218CP-Ilustrasi]

HIDUPKATOLIK.com HUJAN deras di penghujung Februari berwarsa 1998. Gang Pandega Marta, di Jalan Kaliurang Yogya yang biasanya ramai, tampak lengang. Jam menunjuk ke angka sepuluh malam. Dari kamar kos aku masih terbenam dengan buku-buku, mesin ketik dan secangkir kopi. Tulisan opini sedang aku ketik. Majalah kampus UGM “Balairung” meminta aku menulis tentang bisnis dan politik era Orde Baru.

Tiba-tiba muncul suara mobil, menderu perlahan. Aku longok dari kaca jendela. Jip dengan sorot lampu temaram. Jip berhenti tepat di depan pintu pagar rumah kos. Jip dimatikan. Empat orang dengan seragam serba hitam muncul dari balik jip.

“Aparat!” aku membatin. Segera kuraih jaket. Kumatikan lampu. Membuka pintu. Ada lorong kecil yang menghubungkan tembok belakang. Aku buka pintu tembok belakang, untuk kemudian berlari kencang menuju Jalan Kaliurang. Bang Yono, meringkuk dengan motor ojeknya. Aku menghambur ke sana.

“Seminari Tinggi Kentungan, Bang!” Aku berseru ke arahnya. Bang Yono segera menyalakan motornya.
“Mau pakai jas hujan?” Tawaran Bang Yono.
“Enggak usah. Berjaket enggak apa-apa.”

Lalu motor menderu. Berjarak empat kilometer dari Gang Pandega Marta, ada bangunan kuno asri; Seminari Tinggi Kentungan. Aku meloncat dari ojek Bang Yono. Kuketuk pintu. Lelaki tua penjaga gedung dengan langkah tertatih membuka pintu.

“Romo Wijaya ada?” Kutanya lelaki tua itu.
“Dari?” Ia menatap wajahku yang kuyup berbungkus jaket.
“Theo,” jawabku. Ia mempersilakan aku duduk. Ia masuk ruangan kembali.
Enam menit berselang, seorang berjubah putih dengan rambut yang juga memutih muncul; Romo Wijaya.
“Aparat satu jip merapat ke kos, Romo,” tanpa ditanya aku sudah membuka mulut.
“Sebelum mereka menculik, aku sudah kabur.”

“Masuk,” Romo Wijaya mengajak diriku memasuki kampus para calon rohaniwan itu. Kamar yang hangat. Baju bersih membungkus tubuhku. Membuat nyaman tidurku malam itu.

***

Sambil sarapan pagi, Romo Wijaya berbincang kepadaku, “Tempat ini tidak elok untuk persembunyian aktivis. Zainal, Mahbub, Ong, dan Andreas sudah aku larikan ke biara Sangkal Putung Klaten. Siregar, Ignas, Ahmad, Putu dan Watimena aman di Sendang Sono. Pagi ini kamu kuantar ke Ganjuran Bantul. Aku sudah telpon Suster Kepala. Kamu bersembunyi sekaligus bekerja. Disana ada lima puluhan anak yatim piatu.”

Suzuki Carry lawas yang disopiri sendiri oleh Romo Wijaya, membawa kami meluncur ke selatan kota Yogyakarta.
Panti Asuhan Ganjuran, Romo Wijaya mengetuk pintu. Seorang wanita muda berpakaian serba putih membuka pintu.
Aku terperangah. Napasku berhenti sebentar. Logika laki-lakiku langsung bekerja, “Mengapa ada wanita berparas ayu ditempat ini?”

“Selamat pagi, Romo,” sedikit membungkuk ia menjulurkan tangan ke arah Romo Wijaya.
“Pagi juga Maria. Ini aku mengantar Theo untuk berkarya di sini.” Romo Wijaya kemudian menoleh ke arahku, “Theo, ini Maria. Baru dua tahun berkarya disini. Menyelesaikan pendidikan susternya sambil kuliah psikologi di Universitas Sanata Dharma.”
“Theo,” kuulurkan tangan ke arahnya. Ia menerima uluran tanganku. Sejenak kami saling pandang. Kunikmati wajah ayunya. Maria sejurus berikut memilih menundukkan kepala.

***

Tangan kekar Theo terasa begitu erat menggenggam tanganku. Aku merasakan aliran darah dari tangan Theo muncrat menjalar memenuhi tubuhku. Ia memandang tajam wajahku. Aku tak kuasa menatap dua bola matanya. Aku memilih menunduk sebelum akhirnya Romo Wijaya memecah kebekuan itu, “Suster Kepala ada, Maria?”

“Ada Romo. Sedang berberes bersama anak-anak panti membersihkan makan pagi.”
“Baik kalau begitu, aku masuk ke dalam. Theo kamu tunggu dulu di sini.”
Lalu Romo Wijaya masuk ke ruang dalam panti asuhan. Aku berjalan di sampingnya.
“Maria,” kata Romo Wijaya, “Theo itu aktivis mahasiswa. Ia dikejar-kejar aparat. Sengaja aku sembunyikan di sini. Nanti Theo akan membantu mengelola Panti Asuhan. Dia akan banyak bersinggungan denganmu. Inilah ujian paling berat bagimu sebelum kamu resmi jadi suster. Sosok Theo dengan aura laki-lakinya.”

Perkataan Romo Wijaya menghujam lubuk hatiku. Apakah Romo Wijaya langsung paham dari pertemuan sejenak diriku dengan Theo? Dan benarkah jatuh cinta itu merupakan peristiwa manusiawi yang muncul dalam hitungan super cepat ketika pertama bertemu? Aku tidak paham misteri alam ini.

Yang aku pahami, akhirnya aku senang bermitra kerja dengan Theo dalam mengelola Panti Asuhan. Theo yang gagah perkasa di mimbar-mimbar demonstrasi mahasiswa, menjadi lembut ketika mengajari anak-anak panti berhitung matematika atau membuat hiasan Paskah yang awal April akan kami rayakan.

Sore hari ia akan suntuk melahap buku-buku di perpustakaan. Sebelum jeda makan malam untuk melanjutkan lagi tertungkus-lumus dengan aneka buku. Ia sering mengajak aku berdiskusi ketika selesai membaca buku. Berhari-hari aku bermitra dengan Theo. Sejak itu pula muncul gejolak hebat pada naluri purbaku, cinta.

Tanggal menunjuk pada 11 April 1998. Malam menjelang larut ketika kami seisi Panti Asuhan selesai merayakan Malam Paskah. Berjalan berdua – aku dan Theo – menuju kamar selesai merayakan perayaan Paskah. Tepat di depan pintu kamarku, kami bersitatap.

“Selamat Paskah, Maria,” Theo berkata lirih.
“Selamat Paskah juga, Theo,” kujawab sambil tetap menatapnya.
Theo mendekatkan wajahnya ke wajahku. Tangannya menempel dibahuku. Dua ciuman mampir ke pipiku. Sebelum akhirnya bibir Theo bertemu dengan bibirku.

Kubiarkan bibir Theo berkeliaran melahap bibirku. Aku menikmati. Sungguh menikmati malam yang begitu agung ini.
Sebelum akhirnya kudorong tubuh Theo. Bergegas aku membuka pintu kamar. Menutup pintu dengan rapat.

“Theo, apakah kamu tahu semalaman ada gadis yang menangis menumpahkan habis air matanya karena mulai berkhianat untuk hidup selibat selamanya? Gadis itu mengikuti naluri purbanya, jatuh cinta?”

***

Maria, bercita-cita mulia. Ingin menjadi suster, melayani Tuhan melalui bocah-bocah yatim piatu. Berhari-hari aku bekerja bersamanya mendidik bocah-bocah piatu. Sudah sepuluh minggu aku di Panti Asuhan ini. Menyaksikan Maria mengajari anak-anak panti belajar menari. Berdiskusi suntuk membicarakan ilmu psikologi, sastra dan teologi. Selalu kutatap habis wajah ayunya. Mengapa aku harus menguji panggilan sucinya menjadi suster
dengan mencium habis bibirnya tepat di malam Paskah?

Maria, sesosok gadis ayu. Harus kutinggalkan dirinya. Kutinggalkan Panti Asuhan Ganjuran. Gejolak politik semakin runyam. Kekuasaan Orde Baru nan digdaya selama tiga dasa warsa sudah berada di ujung tanduk. Kawan-kawan perlu amunisi baru penggerak demonstrasi.

Dari persembunyian aku muncul lagi. Balairung kampus UGM menjadi tambah panas ketika aku berdiri di mimbar. Meneriakkan keadilan. Mengepalkan demokrasi. Menolak korupsi, kolusi dan nepotisme.

Mei berwarsa 1998. Tumbanglah kekuasaan Orde Baru. Kami – aku, Mahbub, Zainal, Ong, Putu, Watimena, Ignas, Siregar dan teman lainnya – bersorak ramai. Menyongsong fajar baru demokrasi.

Tiba-tiba aku teringat kembali Seminari Tinggi Kentungan. Ruang-ruang kuliah dan asrama yang sejuk. Kemudian berkelana menuju Panti Asuhan Ganjuran. Dan Maria, pemilik wajah ayu yang memiliki cita-cita mulia melayani Tuhan melalui bocah-bocah yatim piatu? Bagaimana kabar dia?

***

Kalender menunjuk Minggu 20 Mei 2012. Anak mungil nan lucu ada dalam dekapanku. Lahir tujuh bulan lalu. Tepat disampingku, Yohanes Pratama. Ia suamiku. Kunikahi dia dua tahun lalu. Pergumulan imanku ternyata berujung pada satu keputusan; hidup berpasangan. Ternyata panggilanku bukan sebagai rohaniwati yang melayani Tuhan melalui anak-anak yatim piatu.

Kumasuki Gereja. Hari ini anak-anak mendapat berkat istimewa, upacara Sakramen Pembabtisan. Ya, anakku hari ini di babtis. Di depan altar Gereja, anakku diperciki air suci pembabtisan.
“Theodorus Pratama, aku babtis engkau atas nama Bapa, Putera dan Roh Kudus, Amin,” Kata Sang Romo sambil membubuhkan tanda salib tepat di jidat anakku.

Sang Romo yang nama babtisnya aku pakai untuk nama baptis anakku. Sang Romo, aktivis mahasiswa yang justru memilih untuk menjalani panggilan hidupnya; menjadi rohaniwan. Hidup selibat tanpa menikah. Dia, Theo. Tepat di malam Paskah bertahun-tahun lalu melumat habis bibirku.

 

A.M. Lilik Agung

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini