HIDUPKATOLIK.com – Pendidikan sebagai jembatan masa depan menjadi perhatian para pengungsi di Medan, Sumatera Utara. Geliat pendidikan dialami di Sekolah Annai Paadaisaalai.
SADURJANA dan Jasmita gemar menyantap makanan Indonesia. Dua siswi dari Sekolah Annai Paadasaalai, Medan, Sumatera Utara ini terlihat bahagia menikmati makanan kesukaan mereka, nasi goreng dan mie Aceh di Kantin Kanna-Graha Maria Annai Velangkanni, Sabtu,12/05.
Gadis berumur 13 dan 15 tahun ini tampak bahagia. Kulit hitam manis dengan tilak dan bindik ditandai di atas dahi, menunjukkan keduanya bukan asli Indonesia. Mereka adalah dua dari beberapa pengungsi asal Sri Lanka yang menetap di Medan.
Jasmita bercerita rasanya kehadiran mereka “ditolak” banyak orang. Perasaan mereka tercabik-cabik saat hidup penuh perjuangan. Masa kecil mereka hilang direngut amarah, luka, dendam, dan luapan emosi. Tak ada kata bahagia bagi Jasmita dan teman-teman sejawatnya.
Kata Jasmita, untuk menikmati hidup layak, Indonesia adalah pilihan utama dibandingkan negara lainnya. Cita-cita Jasmita kelak ingin menjadi dokter bisa tercapai. “Bila besar nanti, saya ingin menjadi dokter untuk menyembuhkan anak-anak yang menderita sepertiku,” janji Jasmita.
Kemauan Jasmita dan Sadurjana untuk menikmat sekolah ditangkap oleh Rajeevan, seorang pengungsi yang berinisiatif untuk mendirikan Sekolah Annai Paadaasalai-lembaga pendidikan untuk anak-anak pengungsi. “Kami mengungsi sebab gejolak di negara asal kami. Kemudian entah bagaimana, mungkin karena Tuhan, kami pun sampai di Indonesia,” kenang Rajeevan.
Rajeevan bercerita saat ini ada dua lembaga sosial yang membantu para pengungsi dari Sri Lanka, Afganistan, Iran, dan Irak. Lembaga-lembaga ini sangat memperhatikan kehidupan pengungsi bahkan memberikan uang bulanan untuk kebutuhan hidup.
“Namun sesuai peraturan imigrasi kami dilarang bekerja. Kami tidak memiliki uang yang cukup untuk memasukkan anak-anak kami di sekolah internasional,” ujar Pemegang gelar Higher National Diploma in Accountancy Sri Lanka ini.
Pengungsi-pengungsi ini berharap mereka dapat mencari nafkah sementara, minimal untuk bisa menyekolahkan anak-anak. Rajeevan tidak ingin mengabaikan pendidikan bagi anak-anak pengungsi. Sebab sampai saat ini, mereka tak tahu kapan mereka bisa mendapat
suaka ke negara lain.
Sekolah pengungsi yang dirintis Rajeevan kini dapat berjalan dengan 70 murid yang semuanya pengungsi. Sekolah ini dimulai dari komunitas penampungan di Binjai, Sumatera Utara. Beberapa pelajaran seperti Matematika, Bahasa Tamil, dan Bahasa Inggris diajarkan di sekolah ini.
Rajeevan lalu meminta bantuan kepada Rektor Graha Maria Annai Velangkanni, Pastor James Bharataputra SJ untuk membangun sekolah. Lewat perjuangan panjang akhirnya sebuah sekolah bisa berdiri.
Kini, anak-anak mulai dari PAUD hingga sekolah dasar bisa mengenyam pendidikan. Untuk operasional sekolah, Rajeevan meminta bantuan saudara-saudara dari Sri Lanka yang kini mendapat suaka di Australia.
Pastor James mengungkapkan, perhatian atas sekolah ini terus mengalir. Awalnya pihak sekolah sempat terkendala masalah transportasi antar jemput di enam komunitas. Akhirnya ada bantuan untuk membeli sebuah mobil yang besar dan bisa digunakan.
“Sekolah ini berdiri atas bantuan para donatur yang luar biasa,” ujar Pastor James. Kemudian Pastor James meminta bantuan Sr Elpiana Barus SOSFX dan beberapa suster serta guru lainnya untuk membantu pendidikan di sekolah tersebut.
Suster Elpi mengaku senang bisa mengajar para siswa sekolah tersebut. “Saya mengajar alfabet dengan nyanyian. Kemudian mengajarkan bahasa Indonesia dengan kombinasi dua huruf. Pada umumnya anak-anak cepat menangkap apa yang saya ajarkan,” ujar Sr Elpi.
Ananta Bangun (Medan)