HIDUPKATOLIK.com – Anak bangsa telah menyaksikan bagaimana dahsyatnya dan kejamnya strategi politik yang digunakan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017. Pilkada ini telah menghasilkan pemimpin baru bagi warga Jakarta. Pesta demokrasi ini telah melegitimasi penggunaan isu primordial, sektarian, serta penggunaan secara sistemik dan masif hoax, atau penipuan informasi, melalui sosial media. Ini pada akhirnya memakan korban, yakni kebersamaan warga sebagai anak bangsa, serta mendegradasi kualitas demokrasi kita.
Pilkada DKI Jakarta 2017 adalah tonggak awal. Mesin politik telah dipanaskan menuju tahun 2018 dan 2019. Di kedua tahun ini dimaknai sebagai tahun politik. Publik memaknai tahun politik dalam kurun waktu 2018-2019 ini, tidak terlepas dari dilaksanakannya pilkada serentak tahap III di 171 daerah; 39 kota, 115 kabupaten, dan 17 provinsi. Di tahun 2019 secara serentak pula, digelar Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden.
Meskipun dalam arti sesungguhnya setiap tahun secara fundamental adalah tahun politik. Hal ini dipertegas oleh Syamsuddin Haris dalam tulisannya “Tahun Politik Tanpa Isu SARA” (Kompas, 06 Januari 2017). Menurutnya, setiap kebijakan di dalam bidang atau sektor publik apapun bisa terlaksana melalui keputusan politik, baik diambil secara individual maupun kolektif kolegial.
Apabila kita melihat kembali kontestasi politik 2018-2019, maka, kekhawatiran publik terbesar saat ini adalah apabila strategi kampanye politik Pilkada DKI akan diulang, dengan penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan (tailored strategy). Ada beberapa faktor yang akan memberi sumbangsih dalam perumusan strategi tersebut, yakni; demografi, kondisi sosial kemasyarakatan, dan seberapa efektif peran sosial media.
Faktor demografi merupakan faktor fundamental di dalam penyusunan strategi, mengapa demikian? Hal ini dikarenakan terkait langsung terhadap sasaran yang dituju oleh elit politik dalam kapasitas pendulangan suara. Demografi yang merupakan studi terhadap statistik yang mana terkait langsung terhadap populasi penduduk, akan memberikan penekanan terhadap seberapa signifikan para pemilih, yang merupakan anak muda atau dikategorikan sebagai generasi millenial (y) dan generasi Z. Melalui faktor ini, tim pemenangan pasangan calon (paslon) membidik wilayah-wilayah gemuk seperti; Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara, sebagai prioritas utama.
Di sisi yang lain, faktor kondisi sosial kemasyarakatan akan memberikan determinasi terhadap opsi strategi yang dibutuhkan para kontestan politik. Kemenangan kontestan politik di Pilkada DKI Jakarta, tidak terlepas dari strategi politik yang dijahit dengan fenomena sosial di era pasca kebenaran (post truth era). Di era pasca kebenaran, dimana fakta objektif tidak memiliki relevansi untuk pembentukkan opini publik, dibandingkan dengan hal-hal yang mampu menarik emosi dan kepercayaan pribadi seorang individu. Maka strategi politik secara efektif ditujukan untuk merobohkan batas dekorum politik.
Dengan robohnya batas dekorum politik, maka politik sebagai siasat difokuskan untuk mengeksploitasi sentimen agama dan suku serta membakar emosi dan suasana kebatinan masyarakat, dibandingkan memperdebatkan gagasan, kebijakan, dan program. Sebagai contoh, dimana ketakutan masyarakat berhasil dieksploitasi dengan baik, ketika di bulan September 2017, masyarakat dihadirkan kembali narasi kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Meskipun narasi tersebut telah menjadi trending topic, hasil Survei Nasional Saiful Mujani (September 2017), menunjukkan sebaliknya, bahwa hanya 12,6% warga setuju dengan pendapat sekarang terjadi kebangkitan PKI, sedangkan sebagian besar warga tidak setuju, yakni; 86,8%.
Terakhir, faktor sosial media di dalam politik elektoral, yang mana saat ini berkembang pesat di dalam lingkungan normal yang baru (new normal environment). Sosial media adalah sebuah mekanisme dan juga instrumen yang bersifat strategis, yang tidak saja mampu menyampaikan opini, gagasan, ataupun program-program secara menarik dan interaktif, akan tetapi juga mekanisme yang efektif dalam membakar emosi massa. Sosial media meyakinkan massa secara pasti tentang apa yang dia ingin yakini, dan meningkatkan popularitas elit sehingga mampu bertengger di dalam trending topic.
Sebagai tambahan, laporan berjudul “I Can Haz All Your Votes”, (The Economist, 4-7 November 2017) disebutkan, bahwa sosial media adalah mekanisme untuk menangkap, memanipulasi, dan mendorong publik, untuk mengkonsumsi dalam mekanisme ekonomi yang baru, yakni; digital economy.
Dalam artikel yang sama disebutkan bagaimana Presiden Fillipina, Rodrigo Duterte membentuk apa yang dinamakan keyboard armies, yang bertujuan untuk menyebarkan narasi atau opini yang sumbang ke publik. Disi lain, Vladimir Putin secara efektif menggunakan sosial media untuk kampanye terselubung dan membentuk akun-akun fiktif (bots), guna memanipulasi opini di beberapa negara, seperti; Ukraina, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, dan lainnya. Dalam kasus kampanye pemilihan presiden di Amerika Serikat, kemenangan Donald Trump terbantu oleh operasi khusus Rusia dalam perang informasi (information warfare) melalui penyebaran hoax atau penipuan informasi.
Untuk meringkas, dari keempat faktor diatas, dapat kita tarik suatu gambaran, bahwa dalam jangka waktu 2018 sampai dengan 2019, dimana tahun politik berlangsung, maka akan terdapat pengulangan strategi politik. Ada dua kunci di dalam strategi tersebut. Strategi tersebut dirajut sesuai dengan kebutuhan dan mana yang paling efektif digunakan. Dari sisi demografi, maka kelompok generasi millenial maupun generasi Z, akan menjadi sasaran utama di dalam siasat politik. Hal ini dikarenakan kelompok generasi ini adalah pengguna sosial media terbesar di dalam populasi penduduk.
Dari sisi sosial kemasyarakatan, ahli strategi politik akan mencari apa yang menjadi, kemarahan dan ketakutan publik, termasuk dengan apa yang menjadi kekhawatiran di dalam suasana kebatinan publik. Ketiga hal ini akan disinergikan dengan ciri khas dari lingkungan pasca kebenaran, yakni; kebohongan atau manipulasi fakta (art of lie). Melalui mekanisme inilah, sistem politik yang sehat akan lumpuh seiring dengan robohnya batas dekorum. Opini atau gagasan kebaikan bersama akan tidak berfungsi karena kontestasi politik akan berada di bawah batas dekorum.
Instrumen sosial media akan secara efektif membentuk paradigma berpikir yakni; paradigma “kita lawan mereka” (us versus them mindset). Melalui paradigma ini, akan tercipta polarisasi hingga pada tingkat yang ekstrim, dan masyarakat akan di dorong untuk memilih, maka tidak tersedia lagi ruang dialog, dimana publik mampu bertukar gagasan dengan akal sehat.
Di sisi lain, sosial media akan membentuk ekosistem yang merajut pertemanan satu kubu dan satu rasa (Setyo Wibowo, Media Soial dan Mobokrasi, BASIS, No. 11-12 tahun ke-66, 2017). Hal ini menyatukan warga dalam satu rasa, kelompok, dan pikiran. Hal ini juga akan memutuskan tali komunikasi, tidak ada lagi ruang sesama warga untuk bercakap-cakap.
Lantas apa yang kita bisa lakukan guna menyelamatkan ruang publik dari tindakan aggresif pemanfaatan kemarahan dan keputusasaan publik? Dengan meminjam pemikiran Alain Badiou, yakni; politics is the art of the impossible. Maka, kita harus tetap bergerak maju dan berani menghadapi yang tidak pasti. Kita menggunakan politik sebagai siasat untuk memperjuangkan kebaikan bersama sebagai landasan fundamental. Kita beradaptasi secara cepat dan bertarung secara fleksibel di dalam lingkungan yang merupakan zona dibawah batas dekorum politik.
Kita juga harus mampu mengubah kebiasaan kita dari groupthink mindset. Selain itu, kita juga memiliki ketahanan terhadap ketidakpastiaan yang akan semakin semarak, sebagai keadaan yang akan ditemui dalam keseharian. Namun, kita tetap memiliki harapan, bahwa perjuangan harus tetap dilakukan guna merevitalisasi politik sebagai sarana mewujudkan kebaikan bersama.
D. Nicky Fahrizal