HIDUPKATOLIK.com – Umat Katolik Paroki Taliabu, Maluku Utara sangat membutuhkan gereja. Kesederhanaan telah menjadi semangat keseharian mereka.
Gereja Katolik Maluku Utara telah melalui perjalanan panjang. Dalam bukunya Pasang
Surut Penyebaran Agama Katolik di Maluku Utara abad XVI, Pastor Kees Böhm MSC
menyebutkan saat Portugis dan Spanyol menyebarkan kekatolikan di Maluku Utara,
di sana sudah ada agama Islam.
Meski belum jelas kapan persisnya Islam masuk, mereka diperkirakan sekitar tahun
1486 sejak Zainal Abidin di Ternate menggunakan gelar sultan saat ia dilantik menjadi
kolano, “raja’. Meski Islam telah mengakar kuat, di pelosok-pelosok Maluku Utara masih berkembang kepercayaan tradisional animisme dan dinamisme.
Kepercayaan ini bertahan seperti di kalangan penduduk Moro dan di daerah sekitar Jailolo dan Taliabu. Mereka memuja matahari, bulan, dan pohon-pohon besar sebagai tempat kediaman para dewa.
Sejak kedatangan para misionaris abad XVI-XVII, Fransiskan, Dominikan, Agustinian, dan Serikat Yesus masyarakat masih mengakui kepercayaan leluhur. Baru tahun 1522 pelayanan rohani pertama kali diadakan di Benteng Sao Paolo.
Penyebaran Agama Katolik mulai gencar pada pemerintahan Gubernur Portugis Tristao de Atayde (1534-1537) di Ternate. Pastor Simon Vaz mengonversi iman Raja Moro Tioliza yang kala itu menganut kepercayaan tradisional. Sejak itu penyebaran Agama Katolik berkembang cukup pesat.
Terus Terhimpit
Hingga saat ini, Gereja Katolik di Ternate, masih terus berjuang. Paroki St Thomas Rasul Bobong, Taliabu, misal, terus berusaha untuk memiliki gereja yang pantas. Kepala Paroki, Pastor Thomas Ratuanak menceritakan, umat di Taliabu sangat susah mendirikan gereja yang nyaman.
Selain karena medan pastoral yang sulit, mayoritas umat hidup dalam kemiskinan. Akses pendidikan untuk anak menjadi persoalan lain di sini. Belum lagi kepercayaan tradisional
yang telah lama mengakar.
“Umat Katolik meski sudah mengenal Kristus tetapi masih terkontaminasi dengan kepercayaan-kepercayaan tradisional. Ini tugas berat dalam berkatekese tentang iman Ka-tolik,” ujar Pastor Thomas.
Pastor Thomas melanjutkan Gereja Taliabu masih terus bertahan. Gesekan-gesekan baik antar-warga masyarakat, antar-umat beragama, antar-suku masih rentan terjadi di Taliabu.
“Tetapi hal yang menjadi prioritas utama adalah mendirikan gereja. Sebab dengan adanya gereja, identitas orang Katolik Taliabu semakin jelas.”
Saat ini di Paroki Taliabu ada empat stasi tidak memiliki gereja. Pelayanan dijalankan di rumah-rumah umat atau di alam terbuka. Tidak ada pastoran, sehingga pastor harus beristirahat di tenda, bekas kandang ayam yang disulap menjadi rumah sementara.
Pastor kadang tidur di pantai atau di bawah pohon. Pastor Thomas mencontohkan Paskah tahun ini ia melayani di Stasi St Petrus Pencadodekat, Kelapa Banyak. Di dusun ini, hanya ada tujuh keluarga yang beragama Katolik. “Di sini kami mengadakan Misa di rumah umat dan semua Liturgi saya bawakan termasuk lagulagu, bacaan, mazmur, Kisah Sengsara, Madah Paskah, dan lainnya,” kisah Pastor Thomas.
Pastor Thomas selalu mengingatkan umat bahwa ciri khas Gereja Katolik adalah berkembang dalam penindasan. Tetapi persekutuan umat sebagai anak Allah menjadi kekuatan bagi Gereja.
“Gereja hidup dan berkembang bukan dari pastor atau pelayan lain tetapi dari keterbukaan hati umat akan bisikan Sabda Tuhan dan mau terus membarui diri demi kemulian Tuhan. Gereja menjadi besar karena pernah ditindas,” demikian Pastor Thomas.
Tetap Katolik
Yopy Laiyan, seorang katekis yang setiap minggu ditugaskan untuk melayani umat Taliabu bercerita, kendati umat Taliabu terbelenggu dengan kemiskinan tetapi iman mereka tak diragukan.
Ia mengisahkan suatu kali ada tiga kepala keluarga yang dalam kesederhanaan mereka datang meminta kepada Pastor Thomas untuk diterima dalam Gereja Katolik. “Motivasi mereka sederhana karena mereka menyaksikan saudara-saudara mereka yang beragama Katolik sangat diperhatikan oleh para pelayan gereja.”
Yopy percaya bahwa Gereja Taliabu akan berkembang bila ada pelayan-pelayan yang mau berjuang bersamanya untuk melayani umat Taliabu. Sebab bila tidak ada pelayan, dirinya mengkhawatirkan banyak orang akan meninggalkan imannya.
Saat ini baru ada dua katekis yang mau berjuang melewati hutan, lembah, sungai, gunung-gunung untuk melayani umat. Para katekis, lanjut Yopy, tidak dibayar dan bersedia meninggalkan keluarga mereka untuk melayani umat-umat yang jauh.
“Meski umat tidak membayar dengan uang tetapi setiap kali pulang para katekis dibekali hasil panen seperti cengkeh, kelapa, pala, dan hasil perkebunan lainnya,” kata Yopy.
Cosmas Tawelu, seorang tokoh umat di Taliabu mengatakan bahwa salah satu tantangan utama adalah ketidak-pedulian masyarakat. Setiap kali Misa mereka tidak mempersiapkan dengan baik. Selain itu, mereka semangat untuk berkumpul, berdoa Rosario, dan kegiatan rohani lain masih kurang.
Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Paulus Laiyan (Taliabu)