Mengembalikan Kesucian Politik

106

HIDUPKATOLIK.com – “Jangan diberikan tepuk tangan untuk itu,” kata Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi di Jakarta akhir 2016. Dalam sambutannya Presiden Jokowi menyebutkan lebih dari seratus anggota DPR/DPRD, puluhan mantan menteri dan duta besar, belasan gubernur, lima puluhan bupati/walikota, ratusan pejabat eselon satu sampai tiga, dan belasan hakim yang dipenjara karena kasus korupsi.

Kita mafhum sindiran tajam Presiden Jokowi. Hingga tulisan ini diturunkan, kecenderungan praktik korupsi belum berhenti. Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya tidak menimbulkan efek jera bagi para pejabat yang ingin korupsi demi mengejar kursi atau kekuasaan. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan politik uang berperan dalam membuat banyaknya pejabat publik terjerat pidana.

Indonesia makin terpuruk dalam masalah korupsi ini. Transparansi Internasional merilis indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia tahun 2017 menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-96. Menurut lembaga ini, indeks persepsi korupsi tahun 2017 memperlihatkan mayoritas negara hanya membuat sedikit perkembangan atau justru tidak ada perkembangan sama sekali dalam mengakhiri korupsi. Indeks persepsi korupsi Indonesia dari tahun 2016 ke 2017 sama, yaitu 37, peringkatnya turun. Tahun 2016 peringkat ke-90.

Kondisi ini tentu saja merisaukan. Bukan hanya Presiden Jokowi tetapi semua pihak yang ingin melihat bangsa ini keluar dari kubangan korupsi (politik uang) ini. Tahun ini “Tahun Politik”. Pilkada serentak akan berlangsung medio tahun ini. Tahun depan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres). Tahun yang rawan akan praktik-praktik politik uang. Sebagaimana disinyalir Agus Rahardjo, demi libido kekuasaan, apa pun ditempuh. Etika politik dibuang jauh-jauh! Terjadi politik transaksional. Kekuasaan adalah segala-galanya.

Di sinilah tantangan bagi para aktivis Katolik, politisi Katolik, dan pihak-pihak yang peduli dengan nasib bangsa ini ke depan. Bagaimana menegakkan marwah (kehormatan) politik yang telah lama diinjak-injak para politisi yang tak punya nurani.

Sejatinya politik itu sangat terhormat. Aristoteles menyebut politik itu indah dan terhormat. Karena politik bertujuan menyelenggarakan kehidupan negara yang adil dan makmur, meningkatkan kesejahteraan semua warga. Plato bahkan menegaskan politik kekuasaan itu agung nan mulia karena di sana ada kekuasaan dan sarana membangun masyarakat yang bermartabat.

Tahun 1997, Konferensi Waligereja Indonesia, dalam Surat Gembala Prapaskah, mengatakan demikian: “Kita disadarkan bahwa kita sedang menghadapi suatu masalah serius yang sangat mendasar dan berdampak amat luas. Kita semakin yakin bahwa kita sedang menghadapi kemerosotan moral hampir di semua bidang kehidupan masyarakat yang dapat membahayakan, bahkan menghancurkan persatuan, masa depan, dan keselamatan bangsa kita.”

Kata KWI kala itu, “Korupsi dan kolusi sering disertai kekerasan sosial. Orang kecil mudah menjadi korban pelbagai bentuk intimidasi, rekayasa, dan penggusuran yang tidak jarang sampai menghancurkan basis kehidupan pribadi, keluarga, dan kelompoknya”.

Sekali lagi, tantangan kita di sini. Mengembalikan keindahan dan kehormatan politik kepada hakikatnya yang asali agar kemerosotan ini tidak makin melemparkan kita ke jurang yang kian dalam.

Redaksi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini