Paus dalam Kacamata Fransiskus

339
Paus bersama imigran di Pulau Lesbos Yunani.

HIDUPKATOLIK.com – Gerak pastoral Paus Fransiskus tak hanya menjangkau kemanusiaan biasa, ia melampaui batas-batas religius, budaya, dan politik.

Paus pada masa depan, seharusnya adalah orang yang merenungkan Yesus. Ia membantu Gereja pergi ke daerah pinggiran dan menolong mereka menjadi “ibu yang subur”. Paus itu juga hidup dan mendapatkan kebahagiaan dalam pewartaan Injil yang manis dan menyenangkan. Begitu, sepenggal tulisan tangan Kardinal Jorge Mario Bergoglio SJ menjelang konklaf, Maret 2013, yang akhirnya memilih dirinya.

 

Catatan di secarik kertas putih dan berbahasa Spanyol ini menjadi rahasia, sampai diterbitkan setahun yang lalu, tepat pada peringatan empat tahun kepemimpinan Paus Fransiskus. Dalam goresan tangannya itu, Kardinal Bergoglio menginginkan sebuah Gereja yang tidak dirasuki dengan “narsismeisme teologis” dan “spiritualitas keduniawian”. Ia menginginkan Gereja yang pergi ke “pinggiran” untuk menemukan jiwa-jiwa yang terluka.

Terkesan dengan pesan ini, Uskup Agung Havana, Kardinal Jaime Ortega, bahkan meminta salinan tulisan itu. Kardinal Ortega bertanya, apakah dia bisa menerbitkan teks pidato tersebut? Seperti diberitakan Telegraph (17/3/2017), permintaan ini diulang lagi oleh Kardinal Ortega setelah Bergoglio terpilih menjadi Paus.

Meski nyaris tak terbaca, namun gagasan di dalam tulisan itu menjadi begitu akrab hingga sekarang dan mudah dipahami. Tulisan ini praktis menjadi gambaran seorang Paus. Isi pidato itu menjadi nyata kini dalam gerak pastoral Paus Fransiskus selama lima tahun.

Paus Sederhana
Fransiskus menjadi Paus ke-266 dan penerus pertama Takhta St Petrus yang berasal dari Amerika Latin. Setelah terpilih, ia seketika memperlihatkan sosok seorang Paus impian, seperti dalam catatannya. Tak berselang lama, Paus Fransiskus menelpon penjual koran langganannya. Dalam percakapan itu, Paus menghentikan langganan korannya.

Paus Fransiskus juga menelepon tukang sepatu yang menjadi langganannya selama menjadi Uskup Agung Buenos Aires, Argentina. Tukang sepatu berusia 81 tahun yang bernama Carlos Samaria itu mengungkapkan, Paus memberitahunya, akan ada orang lain yang akan mengambil sepatu yang sedang diperbaiki.

Paus Fransiskus juga memesan sepatu baru berkelir hitam, bertali, dan dengan model amat sederhana. Saking sering membuat sepatu semacam itu, Carlos mengungkapkan, dapat membuatnya dengan mata tertutup. “Pernah saya menyarankan untuk menambahkan hiasan kecil, agar sedikit berbeda, tapi dia tidak pernah mau,” ungkap Carlos seperti diberitakan Telegraph (11/9/2013) .

Menurut Carlos, semasa menjadi Uskup Agung Buenos Aires, Paus Fransiskus adalah seorang yang cerdas dan rendah hati bak seekor burung. Paus juga sangat baik dan senang bercanda. Beberapa kali, Carlos makan malam bersama Kardinal Bergoglio dan sang Kardinal tidak pernah duduk di bagian kepala meja.

Sejak pemilihannya, Paus mengatakan, ingin menciptakan sebuah “Gereja yang miskin bagi orang miskin”. Gereja dipanggil untuk pergi keluar dari dirinya sendiri dan pergi ke pinggiran, tidak hanya geografis tapi juga menjangkau mereka yang terpinggirkan.

Paus mencela kecenderungan Gereja yang tertutup dalam dirinya sendiri, dan tidak mau membuka pintunya. Gereja seharusnya pergi mencari mereka yang paling membutuhkan penghiburan dari Tuhan. “Kecenderungan buruk yang dapat menimpa Gereja dari waktu ke waktu berakar pada sifat self-referential ini, semacam narsisme teologis.”

Menjangkau yang Terpinggir
Setahun lalu, tepatnya Jumat, 19 Mei. Paus Fransiskus mengunjungi selusin keluarga di daerah Ostia, Roma, Italia. Ini adalah tradisi setelah Paskah, ketika pastor paroki pada saat tertentu akan mengumumkan bahwa mereka akan melintas. Kali ini bukan pastor paroki, Paus mengetuk beberapa rumah umat, berdoa, dan memberikan berkat untuk penghuni rumah itu.

Sebelumnya, Pastor Plinio Poncina, Kepala Paroki Stella Maris Ostia, Roma, memasang sebuah tanda yang mengumumkan, bahwa seorang imam akan mengunjungi lingkungan di Ostia, sebuah kota pinggiran Roma di Laut Mediterania. Dalam kunjungan itu, Paus masuk dari rumah ke rumah, berdoa bersama penghuni, dan memberikan sebuah Rosario kepada setiap orang.

Rilis yang dikeluarkan Kantor berita Vatikan mengungkapkan, di setiap keluarga yang dikunjungi, mereka terkejut ketika mendapati bukan pastor paroki yang datang melainkan Paus. Di hadapan beberapa keluarga yang terkejut atas kunjungan tiba-tiba ini, Paus meminta maaf karena telah mengganggu mereka.

Tidak jarang, Paus Fransiskus melakukan kunjungan semacam ini. Pada kesempatan lain, Paus sering mengadakan kunjungan ke rumah sakit dan tempat perawatan anak. Di tempat-tempat itu, ia mempraktikkan karya belas kasih.

Di Milan, Paus bahkan melakukan kunjungan ke rumah-rumah keluarga kelas pekerja. Satu di antaranya adalah rumah seorang Muslim. Di kota mode dan pusat bisnis Italia ini, Paus sama sekali tidak tertarik melintas di pusat kota yang dipenuhi bangunan bersejarah dan butik-butik mode dunia. Ia memulai kunjungannya di sebuah perumahan umum, yang suram di pinggiran kota.

Di tempat ini, Paus Fransiskus mengunjungi rumah Mihoual Abdel Karim, seorang imigran Muslim asal Maroko. Ia tinggal di sana bersama istri dan tiga anaknya. Di rumah ini, tuan rumah menawarinya cemilan manis, kacang, kurma, dan segelas susu. Karim tidak menyangka kunjungan itu. Kesempatan ini menjadi saat yang takkan terlupakan bagi dia dan keluarganya. “Itu sangat emosional. Rasanya seperti memiliki teman di rumah,” kata Karim, yang bekerja di sebuah pabrik farmasi.

Melampaui Batas
Perjalanan Paus Fransiskus selama lima tahun sepertinya berhasil menyajikan wajah Gereja yang baru. Hal ini terlihat dalam setiap gerak langkahnya memimpin Gereja. Sejak terpilih, ia telah mempromulgasikan dua ensiklik (Laudato Si’ dan Lumen Fidei).

Lewat kedua ensiklik ini, gambaran pastoral Fransiskus dari Amerika Latin terlihat dengan sangat jelas. Gambaran seorang Paus yang harus menjangkau ke “daerah pinggir”, seperti yang diungkapkannya dalam pidato sebelum konklaf, benar-benar diwujudkannya.

Di atas pesawat dalam perjalanan pulang dari kunjungan singkat ke Pulau Lesbos, Yunani, 16 April 2016, Paus Fransiskus mengungkapkan, masalah imigran di Eropa adalah sebuah permasalahan kemanusiaan. Tembok bukanlah solusi permasalahan ini, menurutnya, selama ini dinding tidak memecahkan apa-apa, yang harus dibangun adalah jembatan yang menyatukan.

Jembatan ini akan dibangun dengan cerdas, melalui dialog dan integrasi. “Eropa harus segera mengadopsi kebijakan penerimaan dan integrasi, pertumbuhan, kerja, reformasi ekonomi. Semua hal ini adalah jembatan yang menuntun kita untuk tidak membuat dinding.”

Pada kesempatan itu, Paus pulang bersama 12 pengungsi Muslim yang dijumpainya di Pulau Lesbos. Pengungsi itu dibawanya bersama di dalam pesawat ke Vatikan. Paus mengungkapkan, mereka adalah tamu Vatikan, selanjutnya akan menjadi tugas Vatikan, untuk menemukan tempat kerja mereka. Tindakan ini seakan menjadi seruan, negara-negara Eropa harus menerima pengungsi-pengungsi itu.

Gerak pastoral Paus Fransiskus tak hanya menjangkau kemanusiaan biasa. Lewat Laudato Si’, Paus membangkitkan kesadaran dunia, masalah kerusakan lingkungan adalah bentuk lain dari tragedi kemanusiaan, yang seharusnya mendapat perhatian dunia. Di hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat, 23 September 2015, Paus menyerukan manusia adalah bagian dari lingkungan.

Manusia hidup dalam persekutuan dengannya. Setiap kerusakan yang dilakukan terhadap lingkungan, oleh karena itu, merugikan kemanusiaan (Bdk. Laudato Si’, 81). Orang Kristen, lanjut Paus, bersama agama monoteistik lainnya percaya, alam semesta adalah buah keputusan penuh kasih oleh Sang Pencipta.

Di dalam pesawat yang membawanya pulang dari Lesbos, Paus seakan mengulangi seruannya di hadapan Sidang Umum PBB. Penyalahgunaan dan penghancuran lingkungan juga disertai dengan proses pengucilan tanpa henti.

Akibatnya, seru Paus, haus akan kemewahan dan kemakmuran yang mementingkan diri, mengarah pada penyalahgunaan sumber daya alam. “Yang paling miskin adalah mereka yang paling menderita karena pelanggaran tersebut, karena tiga alasan serius: mereka dilemparkan oleh masyarakat, dipaksa untuk hidup dari apa yang dibuang, dan menderita secara tidak adil karena penyalahgunaan lingkungan.”

Dua ensiklik itu sebenarnya hanya sebagian dari gambaran ribuan langkah-langkah yang telah dilalui Paus Fransiskus. Perjalanan pastoralnya di detik ini pun masih berjalan dengan beragam warna kemanusiaan. Pesan cinta kasihnya seakan tiada henti berusaha menembus batas-batas religiusitas, politik, dan budaya.

 

Antonius E. Sugiyanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini