HIDUPKATOLIK.com – Tak cukup mengandalkan psikiater dan relawan untuk menangani orang dengan gangguan jiwa. Perlu kerja sama dan perhatian banyak pihak mulai dari keluarga hingga pemerintah.
Aroma tak sedap menyeruak dari dalam sebuah rumah, di Kampung Kurumboro, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bau anyir itu kian menyengat indra penciuman Pater Avent Saur SVD ketika memasuki rumah itu. Sumber bau tersebut berasal dari borok di kaki Anselmus Wora, yang dipasuk dengan dua balok kayu. Lukanya membusuk. Berulat.
Kedatangan Pater Avent ke rumah umat Paroki St Martinus Roworeke, Keuskupan Agung Ende itu tanpa rencana sebelumnya. Kebetulan, Pastor Paroki Roworeke memintanya untuk merayakan Misa di Kapel Kurumboro. Usai Misa, ketua lingkungan setempat mendatangi dan meminta Pater Avent untuk mengunjungi seorang umat yang sakit.
Pater Avent menyanggupi. Di tengah perjalanan, ketua lingkungan baru memberitahu kepada sang imam, bahwa yang mereka kunjungi adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Ia dipasung, kata Romo Avent, mengutip informasi dari ketua lingkungan. Korban pasung itu langsung menangis begitu melihat Pater Avent di dekatnya. Ia memohon agar pasungan itu dibongkar dan kakinya diobati.
Peristiwa Mengerikan
Pater Avent tak bisa berkutik menyaksikan peristiwa mengerikan itu. Dirinya, ungkap imam yang diutus sebagai wartawan Flores Pos, tak memiliki kuasa untuk mengabulkan permintaan korban. “Saya bukan pastor paroki. Saya bukan pemimpin pemerintahan,” tulis Pater Avent dalam surat elektroniknya kepada HIDUP, Selasa, 6/3.
Ia lantas menyambangi Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota dan Bupati Ende Marselinus Y. W. Petu. Sejak melihat tragedi yang menimpa Ansel pada Februari 2014, empat bulan kemudian Pater Avent dan sejumlah pihak mampu melepaskan pasung dan mengevakuasi korban. dirawat selama lima bulan di RSUD Ende. Lalu direhab di Panti Renceng Mose, di Ruteng, Keuskupan Ruteng.
Setahun di panti rehabilitasi milik bruder Karitas (Fratrum e Caritate/FC), Ansel melanjutkan perawatan di Panti Bina Laras Phala Martha, Sukabumi, Jawa Barat. Upaya ini, ujar Pater Avent, hasil kerjasama dengan Dinas Sosial Kabupaten Ende. “Awal Maret 2018, ia (Ansel) dinyatakan pulih dan kembali ke Ende,” lanjut imam asal Manggarai, Flores, dalam e-mailnya.
Pater Avent juga menulis kisah dan refleksi pemasungan yang diderita Ansel di koran harian Flores Pos dan di akun Facebook-nya. Banyak laporan tentang ODGJ yang ia terima usai menyiarkan kabar tersebut. Laporan itu datang dari dalam dan luar Ende. Tak banyak yang bisa ia lakukan terhadap laporan tersebut. Ia kerap sendirian mengunjungi rumah ODGJ.
Karya karitatif serta sharing pengalaman Pater Avent di koran dan Facebook menyita perhatian sejumlah orang. Perlahan-lahan banyak orang tergerak untuk peduli kepada ODGJ. Pada 25 Februari 2016, Pater Avent menginisiasi kelahiran Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Orang dengan Gangguan Jiwa.
Wadah sosial kemanusiaan khusus untuk ODGJ itu seiring waktu berkembang. Para relawan tak hanya di Ende tapi juga menyebar ke berbagai wilayah, termasuk di luar NTT bahkan ada di luar negeri. “Anggota di luar NTT berkonsentrasi mengatasi ODGJ di NTT dengan aneka bentuk kontribusi,” terang Pater Avent, lebih lanjut.
Setiap pekan alumnus STFK Ledalero bersama rekan-rekannya di KKI menemui ODGJ di jalan-jalan, dipasung atau dikurung di rumah atau bangunan lain. Mereka memberi obat, makanan, minuman, dan pakaian. Mereka juga memandikan, menggunting rambut dan kuku, dan membersihkan dan membangun gubuk ODGJ agar layak huni.
Pater Avent bersama KKI juga memberikan ternak kepada mereka yang telah pulih. Mereka juga berkampanye dan mengedukasi masyarakat mengenai kesehatan jiwa, menangani ODGJ, serta penghargaan terhadap marabat manusia. Sebab, ada banyak stigma sosial dan pandangan negatif dari masyarakat terhadap ODGJ. “Pandangan negatif ini ada pada semua lapisan masyarakat termasuk hierarki gereja. Maka kebijakan pastoral untuk orang dengan gangguan jiwa pun tidak ada,” tambahnya.
Semua Terlibat
Stigma, kekerasan fisik, dan diskriminasi berupa pasung atau kurungan masih jamak dialami oleh ODGJ. Padahal sejak 1977, pemerintah sudah melarang pemasungan. “Stigma yang melekat kuat (di masyarakat) adalah ODGJ adalah aib atau penyakit akibat mistis. Itu sangat kental,” ungkap Bruder Ferdinandus Sifriardus Harun FC, dalam e-mail-nya, Jumat, 9/3.
Pandangan negatif seperti itu, lanjut Pemimpin Panti Rehabilitasi Jiwa Renceng Mose ini, membuat masyarakat sulit menerima keberadaan ODGJ. Mereka juga meyakini ODGJ tak bisa sembuh. Reaksi demikian menjadi tantangan pelik bagi para bruder Karitas dan beberapa awam mengadakan sosialisasi dan edukasi tentang gangguan jiwa kepada masyarakat.
Sulit meyakinkan orang jika tak melihat langsung hasilnya. Maka para bruder memberanikan diri untuk menjemput langsung para pasien dari tengah keluarga atau melepaskan pasung mereka untuk dibawa ke panti. Selang beberapa waktu, setelah menjalani perawatan dan pembinaan mereka sembuh dan kembali ke keluarga.
Para “residen” di Renceng Mose menjalani kegiatan seperti masyarakat umum. Mereka membersihkan panti, memasak, belajar dan berlatih keterampilan, berkebun, bermain atau mendengar musik dan berolahraga. Dengan cara ini, kata Br Ferdi, ketika sembuh dan kembali ke keluarga, mereka bisa hidup bersama dan menjalani rutinitas seperti orang orang di sekitar. “Terapi utama adalah obat,” ungkap bruder yang sempat studi keperawatan jiwa di Belgia ini.
Saat ini ada sekitar 30 penghuni Renceng Mose. Mereka dilayani oleh satu dokter relawan, dua perawat, dua bruder, dan empat pendamping. Meski demikian, Br Ferdi tak menampik, fasilitas yang mereka miliki belum optimal. Keterbatasan dana adalah salah satu tantangan yang amat mereka rasakan.
Penanganan untuk ODGJ, lanjut bruder yang sempat berkarya di Panti Sahabat Kita Purworejo Jawa Tengah itu, harus melibatkan keluarga, masyarakat, pemuka agama, dan pemerintah. Keluarga, tambahnya, harus mendapatkan pengetahuan yang baik tentang gangguan jiwa. Tujuannya agar mereka memperhatikan anggota keluarganya secara baik.
Bagi pemerintah, demi memuluskan program “Indonesia Bebas Pasung” harus diikuti dengan memperbanyak rumah sakit jiwa, psikiater dan obat-obatan hingga ke pelosok Nusantara. Sementara untuk pemuka agama agar mendorong umat agar berkontribusi dengan aneka bentuk, misal tenaga, biaya, dan keterbukaan menerima ODGJ di tengah mereka.
Mempercepat Penyebuhan
Wakil Pemimpin Panti Rehabilitasi Jiwa Sahabat Kita, Benedicta Sri Setiati, menambahkan, salah satu cara untuk mempercepat proses penyembuhan ODGJ adalah menanggalkan stigma terhadap mereka. “Dekati (mereka) dengan hati yang tulus dan tidak curiga,” ujarnya, ketika dihubungi melalui telepon, Kamis, 8/3.
Upaya membuang stigma kepada ODGJ telah mereka lakukan dengan mengadakan sosialisasi kepada siswa-siswi SMP dan SMA Karitas. Dengan memberikan pencerahan kepada generasi muda dapat memutus mata rantai diskriminasi kepada ODGJ. Sehingga kelak Indonesia, secara khusus Purworejo, menjadi rumah yang nyaman bagi semua orang, termasuk mantan penyandang gangguan jiwa.
Ati, panggilannya, juga berharap Gereja memberikan perhatian kepada ODGJ. Mereka, lanjutnya, butuh dicintai dan dipercaya agar melihat dan merasakan kasih Tuhan kepada setiap makhluk dalam diri sesamanya. “Bukankah Tuhan mencintai semua orang tanpa pengecualian?” tanya Ati, retoris.
Yanuari Marwanto/Felicia Permata H.