Satu Tarikan Nafas Toleransi

204
Kegiatan bersama lintas agama di Jakarta.
[NN/Dok.Pribadi]

HIDUPKATOLIK.com – Isu agama selalu sensitif untuk terus digoreng. Demi menjaga kerukunan dan toleransi antarumat beragama, semua pihak harus berani terlibat dalam gerakan kebhinnekaan.

Bumi Pertiwi mungkin akan bersedih atau bahkan menangis, melihat maraknya perilaku intoleransi, yang memicu konflik dan perpecahan di Indonesia. Kemajemukan yang sejak awal dipupuk menjadi sebuah kekuatan pemersatu oleh pendiri bangsa, kini dengan mudahnya diombang-ambing. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika seakan mulai pudar makna serta nilainya, terutama oleh pihak-pihak yang memiliki agenda tertentu.

Dewasa ini masyarakat terlena dengan ujaran-ujaran yang sarat dengan kebencian. Bahkan akhirnya membuncah dan melangkah ke tahap aksi kekerasan. Benturan kepentingan menelusup dalam hampir setiap aspek kehidupan, tidak dapat dihindari. Namun banyak pihak yang tak tinggal diam. Mereka terus menginisiasi gerakan-gerakan kebersamaan agar bangsa ini tidak makin tercabik-cabik.

Bukan Hal Baru
“Tema sensitif” yang diusung untuk memecah belah sudah cukup lama ada. Hal ini diutarakan Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Albertus Patty. Kasus kekerasan mengatasnamakan agama bukanlah yang muncul begitu saja. “Kasus-kasus kekerasan sudah lama dibuat pihak tertentu untuk memunculkan kebencian kepada yang berbeda demi kepentingan tertentu. Selama ini benci ya benci saja, tapi tidak pernah melukai. Namun kebencian menjadi kekerasan itu rekayasa sudah lama demi kepentingan tertentu,” ungkapnya.

Pendeta Albert mencontohkan, peristiwa yang terjadi di Gereja St Lidwina Bedog, Yogyakarta. “Itu hanya kelompok kecil. Jangan digeneralisir. Saya percaya dengan nilai-nilai Islam. Islam tidak bermasalah. Yang bermasalah adalah orang-orang tertentu yang merekayasa dan memanfaatkan isu agama,” tegasnya.

Masyarakat Indonesia, menurutnya, tengah diadu domba pihak yang ingin menciptakan konflik, memecah belah, dan menciptakan opini, bahwa pemerintah tidak mampu. Sebaliknya ia menambahkan, justru kita harus semakin erat. Hal itu terbukti dengan sigapnya warga sekitar melakukan aksi bersih-bersih gereja.

Dalam upaya menangkal benih intoleransi, PGI membangun keakraban komunikasi dengan teman-teman Islam dan agama lain. Pendeta Albert menjelaskan, dengan membangun relasi yang lebih solid antarumat beragama, kita tidak seperti pion-pion dan pihak yang sengaja memunculkan konflik bertepuk tangan. Ini membutuhkan kerja sama semua pihak. Pendeta Albertus berharap masyarakat kritis atas bahasa agama kaum oportunis. “Isu-isu agama dicermati, termasuk ujaran kebencian. Pemuka agama ambil peran sebagai pejuang cinta, kedamaian, dan solidaritas,” imbuhnya.

Hubungan Manusiawi
Ketua Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia DKI Jakarta, Js. Liem Liliany Lontoh pun angkat bicara. Kerukunan menjadi factor amat penting bagi kehidupan bersama. Perbedaan dapat digerus setidaknya dengan kesadaran untuk saling menghargai. “Kalau tidak ada kerukunan akan mudah timbul konflik. Kerukunan hidup beragama sebenarnya sesuai hakekat manusia. Kerukunan hidup beragama adalah syarat mutlak agar manusia dapat hidup tenteram dan damai,” ujarnya.

Liliany mengatakan, pemantapan kehidupan keimanan wajib menjiwai segala upaya membangun kehidupan beragama. “Dialog dan silahturahmi antara tokoh agama menjadi poin penting. Ia mengajak masyarakat semakin menghargai kemajemukannya. Mereka harus menegaskan, bahwa setiap anggota umat beragama dan pihak yang berkepentingan wajib berkontribusi positif bagi kerukunan,” tuturnya.

Sekretaris Parisada Hindu Dharma Indonesia, Ketut Oka Harmini menambahkan keseimbangan perlu dijaga. “Kita harus bisa saling mengerti, menghargai, dan mendalami. Kita semua sama. Jika kita menyakiti, itu sama saja kita yang merasakan sakit,” tuturnya.

Dasar Harmonis
Secara umum, kehidupan umat beragama di Indonesia sangat harmonis. Sekretaris Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu`ti menjelaskan sikap intoleransi merupakan tantangan dan masalah sosial keagamaan yang kompleks. Penyebab sikap intoleransi tidak selalu karena masalah teologi. “Dinamika politik global dan lokal turut berpengaruh. Banyak kekerasan keagamaan terkait dengan Pilkada. Kita perlu menyikapi masalah intoleransi dengan sangat hati-hati,” jelasnya.

Abdul Mu`ti mengemukakan, PP Muhammadiyah sudah melakukan tiga hal. Pertama, mendorong Pemerintah, khususnya aparatur keamanan dan penegak hukum, menindak tegas siapapun yang melakukan tindak kekerasan. “Negara tidak boleh melakukan pembiaran. Negara tidak boleh kalah,” tegasnya.

Kedua, usaha-usaha peneguhan dan pembangunan moderasi dalam beragama. Muhammadiyah tidak menggunakan dan tidak setuju dengan istilah deradikalisasi. Moderasi memiliki pengertian dan ruang lingkup yang lebih luas dibandingkan dengan deradikalisasi. Ketiga, membangun dan memperkuat jejaring dan kerjasama dengan kekuatan kelompok moderat lintas organisasi dan iman.

Sejak awal Muhammadiyah mendukung dan memperkuat keutuhan, persatuan, dan kedaulatan bangsa. Bagi Muhammadiyah, Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah bentuk ideal. Muhammadiyah menegaskan, Negara Indonesia sebagai Darul Ahdi wa Syahadah.

Indonesia adalah negara kesepakatan dan consensus nasional para pendiri bangsa (Darul Ahdi). Muhammadiyah senantiasa bekerja untuk mewujudkan cita-cita Indonesia. Muhammadiyah mengajak dan bekerjasama dengan kekuatan bangsa melakukan yang terbaik bagi bangsa.

Muhammadiyah berusaha memperkuat keindonesiaan yang majemuk dalam spirit Bhinneka Tunggal Ika. Selama ini Indonesia menjadi model dan contoh bangsa yang hidup dalam harmoni dan persatuan di tengah kebhinnekaan agama, budaya, dan etnis. “Indonesia adalah milik bersama seluruh anak bangsa yang secara individu dan bersama-sama bertanggungjawab untuk memajukan bangsa dan negara,” imbuh Abdul Mu`ti.

Perwakilan Forum Kerukunan Umat Beragama Keuskupan Agung Jakarta, Romo Antonius Suyadi mengatakan tindak kekerasan tidak dikehendaki semua agama dan agamawan. Sudah ada upaya-upaya bersama menyikapi menguatnya kecenderungan intoleransi dan radikalisme belakangan ini.

Salah satu upaya itu, menurut Romo Suyadi, melalui dialog dan silahturahmi. Adanya gerakan bersama ini menunjukkan, bahwa segala bentuk tindak kekerasan tidak memiliki tempat dalam kehidupan bersama di Indonesia. “Ini menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum. Pelaku tindakan kekerasan harus diproses sesuai hukum yang berlaku,” kata Romo Yadi.

Marchella A. Vieba

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini