Lima Jalan Menuju Kekudusan Menurut Gaudete Et Exsultate

8336

HIDUPKATOLIK.com – Lima Jalan Menuju Kekudusan, menurut “Gaudete Et Exsultate” adalah Seruan Apostolik Paus Fransiskus Mengenai Kekudusan Dalam Dunia Modern.

Pada Senin, 9/4, sesuai dengan pengumuman Vatikan, eksortasi (seruan) apostolik (pewartaan) yang baru dari Paus Fransiskus akan dipublikasikan kepada publik. Eksortasi Apostolik ketiga ini diberi judul : “Gaudete et Exsultate” (Bersukacita dan Bergembiralah).

Baca juga: http://www.hidupkatolik.com/2018/04/11/19909/gaudete-et-exsultate-panggilan-kesucian-dari-paus/

Seruan apostolik setebal 81 halaman ini berdasar pada Sabda Yesus dalam Mat.5:12: “Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga.” Paus mengambil Sabda Yesus pada saat Khotbah di Bukit ini sebagai seruan bagi orang modern, guna mengusahakan kekudusan dalam hidup sehari-hari.

With this exhortation I would like to insist primarily on the call to holiness that the Lord addresses to each of us, the call that He also addresses, personally, to you,” // “dengan seruan ini saya ingin menekankan terutama pada panggilan untuk kekudusan yang ditujukan Tuhan kepada kita masing-masing, panggilan bahwa Dia juga menyapa secara pribadi, untuk Anda,” kata Paus Fransiskus, seraya menambahkan: “Do not be afraid of holiness. It will take away none of your energy, vitality or joy,”// “Jangan takut akan kekudusan. Itu tidak akan menghilangkan tenaga, vitalitas, atau kegembiraan Anda.”

Lalu mengapa kita harus bersukacita? Bagaimana kita orang modern menanggapi panggilan kepada kekudusan itu?

Cuplikan tayangan mengenai Gaudete et Exsultate dari Pastor James Martin,S.J (Editor America Magazine)

Tulisan ini mengulas lima poin penting dari seruan apostolik tersebut, berdasarkan tulisan Pastor James Martin SJ berjudul: “Top Five Takeaways from ‘Gaudete et Exsultate’ – sebagaimana dimuat dalam laman www.americamagazine.org.

  1. Kekudusan berarti menjadi diri Anda sendiri.

Paus Fransiskus menawarkan kepada kita banyak contoh kehidupan suci dalam seluruh dokumen ini: St. Theresia dari Lisieux, Karmelit Prancis yang menemukan kekudusan dalam melakukan tugas-tugas kecil; St. Ignatius dari Loyola, pendiri Yesuit yang mencari Tuhan dalam segala hal; St. Philip Neri, pendiri Oratorians yang terkenal karena selera humornya.

Paus Fransiskus mengatakan, orang-orang kudus berdoa bagi kita dan memberikan teladan mengenai bagaimana kita hidup. Akan tetapi, kita tidak perlu menjadi “penggalan” atau “salinan” dari orang-orang kudus tersebut. Kita perlu menjadi diri kita sendiri.

Setiap orang percaya perlu  “membedakan jalannya sendiri” dan “memunculkan yang terbaik dari dirinya sendiri,” sebagaimana dikatakan oleh Thomas Merton: “Bagi saya menjadi orang suci berarti menjadi diri saya sendiri. ”

  1. Kehidupan sehari-hari dapat memimpin kita kepada kekudusan.

Bagi Paus Fransiskus, kita tidak perlu menjadi uskup, imam, atau anggota ordo religius untuk menjadi suci. Setiap orang dipanggil untuk menjadi orang suci -sebagaimana dikatakan Konsili Vatikan II- entah sebagai seorang ibu atau ayah, seorang siswa atau seorang pengacara, seorang guru atau petugas kebersihan.

Paus menyebut mereka ini sebagai “Saints next door“. Bagi Paus, yang perlu kita lakukan adalah “menjalani hidup kita dalam cinta” dan “memberi kesaksian” tentang Tuhan dalam semua yang kita lakukan.

We are frequently tempted to think that holiness is only for those who can withdraw from ordinary affairs to spend much time in prayer, that is not the case“. We are all called to be holy by living our lives with love and by bearing witness in everything we do, wherever we find ourselves.”

Hal ini tidak berarti kita harus melakukan tindakan besar dan dramatis. Paus Fransiskus menawarkan contoh kesucian dalam hidup sehari-hari, misalnya: orang tua yang penuh kasih membesarkan anak-anak mereka; serta “gerakan kecil” dan pengorbanan yang dapat dilakukan seseorang, seperti memutuskan untuk tidak meneruskan gosip.

Paus menegaskan bahwa apabila kita dapat melihat kehidupan sendiri sendiri sebagai “misi,” maka kita akan segera menyadari bahwa kita dapat dengan penuh kasih dan baik hati bergerak menuju kekudusan.

Artinya juga tidak harus “berlelah-lelah sampai pingsan dalam mengusahakan hidup mistik”. Kita juga tak perlu harus mengundurkan diri dari orang lain. Di sisi lain, kita tidak perlu terjebak dalam suatu perlombaan yang terburu-buru dari satu hal ke hal lainnya. Hal terpenting untuk mengusahakan kekudusan dalam hidup sehari-hari, menurut Paus Fransiskus, adalah keseimbangan antara tindakan dan kontemplasi.

  1. Menghindari dua kecenderungan utama: Gnostisisme dan Pelagianisme.

Yang pertama adalah Gnostisisme. Paham ini berasal-usul dari kata Yunani “gnosis”, berarti “mengetahui”. Dalam sejarah Gereja, Gnostisisme adalah ajaran sesat yang mengatakan bahwa yang paling penting adalah “apa yang kita ketahui”. Paham ini menolak tindakan amal atau perbuatan baik. Paham ini menegaskan bahwa yang kita butuhkan hanyalah pendekatan intelektual yang benar.

Paus Fransiskus mengatakan, dewasa ini Gnostisisme menggoda orang untuk berpikir bahwa mereka dapat membuat iman “sepenuhnya dapat dipahami” dan menuntun mereka untuk memaksa orang lain mengadopsi cara berpikir mereka. “Ketika seseorang memiliki jawaban untuk setiap pertanyaan,” kata Fransiskus, “itu adalah tanda bahwa mereka tidak berada di jalan yang benar.” Dengan kata lain, menjadi orang yang tahu segalanya tidak akan menyelamatkan Anda.

Hal kedua yang harus dihindari adalah Pelagianisme. Paham ini berasal dari Pelagius, seorang teolog abad ke-5. Pelagianisme adalah paham yang mengatakan bahwa kita dapat mencapai keselamatan kita melalui upaya kita sendiri. Pelagian mempercayai kekuatan diri sendiri, tidak merasa membutuhkan rahmat Tuhan dan bertindak lebih superior daripada yang lain karena mematuhi aturan tertentu.

Paus Fransiskus mengatakan Pelagianisme dewasa ini sering kali memiliki apa yang disebut sebagai “obsesi terhadap hukum, penyerapan dengan keuntungan sosial dan politik, perhatian penuh terhadap liturgi gereja, doktrin, dan prestise.” Ini adalah bahaya nyata bagi kekudusan, karena itu merampok kita dari kerendahan hati, menempatkan kita di atas orang lain, dan memberikan sedikit ruang untuk peranan rahmat Allah.

  1. Bersikap baik.

Dalam “Gaudete et Exsulatate”, Paus memberikan nasihat praktis bagi umat zaman modern untuk menjalani kehidupan menuju kepada kekudusan. Paus mengatakan, misalnya, jangan bergosip, hentikan sikap memberi penilaian dan, yang paling penting, berhenti bersikap kejam.

Nasihat berbuat baik ini juga berlaku untuk “kegiatan online”. Komentar Fransiskus tentang topik ini mudah diingat. Secara online, ia menulis:

“Fitnah dan umpatan bisa menjadi hal yang biasa, karena hal-hal dapat dikatakan di sana, tidak dapat diterima dalam wacana publik, karena orang-orang mencari untuk mengimbangi ketidakpuasan mereka sendiri dengan menertawakan atau memukul orang lain. Dalam mengklaim untuk menegakkan perintah-perintah lain, mereka benar-benar mengabaikan Perintah Allah kedelapan, yang melarang membuat saksi palsu atau berbohong dan dengan kejam memfitnah orang lain.”

Bagi Paus, menjadi suci, berarti berbuat baik.

  1. Ucapan Bahagia adalah penunjuk jalan menuju kekudusan.

Kekudusan menjadi pusat dari sarana apostolik ini. Kekudusan itu bukan sekadar apa yang dimaksudkan Yesus melalui pewartaan-Nya, melainkan kekudusan adalah potret Tuhan Yesus sendiri. Untuk menjadi kudus kita dipanggil untuk menjadi miskin dalam roh, takut akan Allah, menjadi pembawa damai, haus dan lapar akan kebenaran, dan seterusnya.

Paus Fransiskus sendiri mengatakan: “Berbahagialah orang yang berbelas kasih.” Belas kasihan sebagai salah satu tema sentral kepausannya, memiliki dua aspek yakni membantu dan melayani orang lain, tetapi juga memaafkan dan memahami. Yesus tidak mengatakan, “berbahagialah orang yang merencanakan pembalasan!”

REFLEKSI

Bagi sebagian orang, istilah-istilah seperti kudus, suci atau kekudusan, kemartiran, mungkin menjadi hal aneh untuk diusahakan dalam dunia modern yang penuh dengan tawaran kesenangan. Namun, bagi orang Kristen, kesucian adalah bagian integral dari IDENTITAS dan PANGGILAN kita sendiri. Kekudusan tidak berada di luar diri kita melainkan tertanam dalam hakikat kekristenan kita.

Bagi saya, Seruan Apostolik Paus ini menekankan kembali ajaran Gereja yang sangat positif dan penuh harapan akan kehidupan abadi kelak. Selain itu, Seruan Apostolik ini membangkitkan semangat semua orang beriman zaman ini untuk melihat dirinya secara positif sebagai “calon-calon orang kudus di masa depan” sejauh mewujudnyatakan Sabda Tuhan dan mengharapkan senantiasa rahmat Tuhan dalam praksis hidup sehari-hari.

Sebagai seorang Paus-Pastoral, Fransiskus juga memberikan pedoman yang jelas bagaimana mengkonkritkan konsep kekudusan di zaman penuh tantangan ini.

Paus secara konkrit mengingatkan kita bahwa kita mengusahakan kekudusan melalui:

(1) hidup pribadi, keluarga, kelompok kategorial.

(2) kegiatan kecil-kecil yang kelihatan tanpa arti. Semuanya yang kecil itu indah karena menjadi sarana ampuh yang menuntun kita kepada kerendahan hati, mati raga dan akhirnya mencapai kekudusan.

(3) tutur kata yang penuh kehangatan dan cinta, tidak nyinyir dan tanpa motivasi kebencian. Kata Paus Fransiskus, orang-orang kudus “do not waste energy complaining about the failings of others; they can hold their tongue before the faults of their brothers and sisters, and avoid the verbal violence that demeans and mistreats others.”

(4) cara berpikir yang diilhami atau diterangi oleh Roh Kudus sehingga tidak jatuh dalam ajaran dan praktek yang sesat. Kita hanya perlu melaksanakan yang kecil dengan cinta kasih yang besar.

(5) cinta kasih kepada Tuhan dan sesama. Kekudusan, kata Paus, “is not about swooning in mystic rapture,” melainkan pemahaman dan pelayanan kepada Tuhan dalam diri mereka yang lapar, terasing, telanjang, yang miskin, dan yang sakit.

 

Pastor Constantinus Fatlolon (Keuskupan Amboina, Manila, 9 April 2018)
Editor: Antonius Bilandoro

3 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini