Paskah, Perayaan Kehidupan

134
Tradisi bakar batu oleh umat Paroki Damabagata, Keuskupan Timika.
[Ibrani Gwijangge]

HIDUPKATOLIK.com – Ada banyak cara merayakan Paskah, di Papua Paskah dirayakan dengan “bakar batu”.

Asap tebal mengepul dari tumpukan batu di sampiung honai (rumah adat Papua). Hangat menyelusup di antara dinginya angin sore Lembah Damabagata, Distrik Tigi Timur, Kabupaten Deiyai, Timika, Papua. Pastor Ibrani Gwijangge mengambil sebuah tongkat yang ujungnya terbelah untuk menjepit dan memindahkan batu-batu panas ke dalam sebuah liang bulat. Ia menyusun batu-batu itu melapisi dinding liang sedalam 70 sentimeter. Beberapa pria membantunya memindahkan batu-batu panas itu. Sesekali dari mulut mereka terdengar teriakan seperti paduan suara dan siulan khas Papua. Suasana inilah yang terbangun dalam acara “Bakar Batu” di Paroki Kristus Kebangkitan Kita Damabagata, Keuskupan Timika, Papua, 1/3.

Sementara bapak-bapak terus dengan “teriakan” mereka, kaum perempuan menyiapkan aneka jenis ubi, sayuran, dan daging babi. Terlihat beberapa ibu menaruh sepelukan daun lokop, sisika, jeleka, dan kayu-kayu kering melapisi batu-batu panas itu. Beberapa juga memasukan bongol-bongol jagung di sela ubi-ubi. Mereka menambahkan garam dan menuang minyak goreng nabati. Tumpukan itu dilapisi daun pisang lebar dan aneka daun agar tidak ada uap panas keluar sehingga makanan lekas matang. “Kita tinggal menunggu satu setengah jam agar masakan ini benar-benar matang. Bakar batu di Paroki Damabagata sebagai ungkapan keakraban karena Kristus telah menang atas maut. Paskah bagi kami adalah kemenangan semua orang maka pantas dirayakan,” ungkap Pastor Kepala Paroki Damabagata.

Dalam refleksinya, Pastor Ibrani mengatakan, di Papua tradisi bakar batu atau barapen selalu identik dengan berbagai peristiwa kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah kematian yang kerap terjadi di Papua khususnya Paniai, Timika. Di banyak tempat bila orang melihat kematian sebagai akhir kehidupan, masyarakat di sini merefleksikan sebagai awal kehidupan baru.

Refleksi ini, kata Pastor Ibrani sama dengan proses kematian Yesus. Dalam iman Katolik kematian Yesus adalah awal kehidupan manusia. “Lewat bakar batu inilah kami merayakan pucuk kehidupan baru itu,” jelas alumni Seminari Tinggi Hati Kudus Pineleng, Manado ini.

Pastor Ibrani mengatakan Yesus sebelum kematian-Nya duduk dan makan bersama dengan para murid. Ia membagi-bagikan roti kepada para murid yang kemudian diterjemahkan dengan membagi-bagikan tubuh-Nya. Dalam tradisi bakar batu, semacam pengenangan akan Pesta Perjamuan Terakhir Yesus dan para murid-Nya. Gundukan bahan yang sudah dipanasi tersebut dibongkar dan semua orang datang duduk mengelilingi dan makan bersama. Semua orang makan, tanpa ada yang menolak termasuk tamu-tamu yang hadir. “Bakar batu adalah terjemahan dalam tradisi Papua untuk mengenang peristiwa
Perjamuan Terakhir Yesus. Jadi peristiwa ini bisa terjadi dalam Ekaristi tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Semua bahan yang sudah matang akan didoakan oleh seorang imam (Ketua Adat) dan kami makan dalam persaudaraan,” pesan Ibrani.

Menurut Pastor Ibrani, dalam makan bersama itu muncul kehidupan baru. Bila ada umat yang bertikai karena tanah, perkawinan dan sebagainya dapat tercairkan. Katanya, dengan bakar batu tidak ada lagi suku itu dan ini yang ada adalah persaudaraan. Karena tradisi bakar batu itu biasanya oleh suku-suku pegunungan seperti Lembah Baliem, Paniai, Nabire, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Dekai, Yahukimo, dan lainnya. Ketika bakar batu mereka (orang Katolik-Red) datang makan dan berbicara tentang kasih pucuk baru kehidupan. “Meski setelah ini mereka akan bertengkar lagi atau berperang tetapi Paskah yang mereka lewati adalah pesta kebersamaan untuk merayakan hidup baru yang telah ditebus Kristus.”

Yusti H. Wuarmanuk
Laporan: Pastor Ibrani Gwijangge (Timika)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini