HIDUPKATOLIK.com – Ia menjadi Paus hanya 25 bulan. Selama bertakhta, dia harus menghadapi serangan bangsa barbar dan gempuran ajaran Origenes; juga bidaah Donatisme di Afrika Utara.
Menjelang akhir abad IV, tepatnya 26 November 399, kabut duka menyelimuti Kota Abadi. Paus Siricius (334-399) wafat di Roma. Gereja pun berkabung atas mangkatnya Patriark Roma. Namun, duka itu berbuah manis. Pada 27 November 399, pengganti Uskup Roma telah terpilih dan naik takhta pada hari itu. Dialah Paus Anastasius I.
Paus Anastasius I merupakan putra berdarah Roma, yang lahir dan tumbuh besar di Kota Abadi. Ayahnya bernama Maximus, seorang warga negara Roma. Paus baru ini segera menggerakkan roda gubernasi Gereja Roma dan melanjutkan tampuk kepemimpinan pendahulunya.
Tak Kompromi
Selama bertakhta, Paus Anastasius I dikenal sebagai pribadi yang tegas dan cakap. Dia berani mengambil tindakan keras terhadap ajaran Origenes (185-254), yang saat itu berkembang dan mewarnai kehidupan Gereja. Padahal, Origenes adalah seorang teolog besar dari Aleksandria yang sangat berpengaruh pada perkembangan Gereja Yunani awal. Dia menulis banyak sekali buku yang berisi pemikiran-pemikiran dan refleksinya tentang kekristenan. Selain itu, dia juga banyak menulis mengenai tafsir kitab suci, teologi sistematik, dan transliterasi Yunani.
Di samping karya-karyanya berlimpah, hidupnya juga menunjukkan sikap asketis ketat. Konon, Origenes hidup sederhana, banyak bermatiraga, belajar dan berdoa, bahkan mengebiri diri sendiri untuk mematikan nafsu kedagingannya. Meski demikian, Paus Anastasius I tidak mau berkompromi dengan ajaran-ajarannya yang menyimpang dari orthodoksi Gereja. Penilaian Paus terhadap ajaran Origenes ini muncul ketika buku yang berisi ajarannya selesai diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Rufinus (345-411). Rufinus adalah seorang rahib, teolog dan sejarawan dari Aquileia, Italia, yang banyak menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Latin–terutama karya-karya Origenes.
Setelah karya-karya Origenes tersebar luas dalam bahasa Latin, Bapa Suci menemukan banyak kesesatan di dalamnya. Paus Anastasius I pun sempat menjelaskan kesesatan Origenes tersebut melalui sebuah surat yang ditujukan kepada Mgr Yohanes II, Uskup Agung Yerusalem (386-417).
Pemikiran dan ajaran Origenes banyak dipengaruhi oleh Plato (427-348SM), seorang filsuf kenamaan Yunani. Origenes mengajarkan bahwa semua yang berbau material dan duniawi adalah dosa. Namun, setelah terjadi penebusan melalui sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus, semua orang akan ditebus dosanya–tanpa terkecuali–bahkan orang-orang yang sudah berada di neraka. Semua manusia akan dikembalikan menjadi suci, melalui darah Yesus di kayu salib. Sementara itu, orang-orang yang sudah hidup di surga tetap dapat melakukan kesalahan dan dosa, sehingga mereka dapat dikeluarkan dari sana. Padahal Gereja mengajarkan bahwa orang yang sudah masuk neraka, sudah tidak dapat lagi ditebus; dan orang yang sudah berada di surga, sudah tidak dapat berbuat dosa lagi. Oleh karena itu, ajaran Origenes ini kelak dikutuk oleh Konsili Konstantinopel II tahun 553.
Tahun 400, Paus Anastasius I menggelar Sinode di Roma untuk membahas mengenai kasus Origenes. Dia mengupas tuntas dan menunjukkan kesesatan ajaran teolog Aleksandria tersebut. Maka, sinode itu pun sepakat, bahwa ajaran Origenes sudah melenceng dari doktrin dan ajaran Gereja Roma, serta memuat kesesatan. Tanpa kompromi, Paus Anastasius I dengan tegas dan berani melarang ajaran Origenes dan menjatuhkan hukuman berat kepada siapa pun yang masih mengikuti ajaran tersebut.
Jaga Orthodoksi
Ternyata, Paus Anastasius I bersahabat baik dengan beberapa tokoh besar Gereja, seperti Uskup Hippo, St Agustinus (354-430); St Hieronimus (347-420); dan St Paulinus dari Nola (354-431). Ketiga sahabatnya ini sangat menghormati Paus Anastasius I karena keteladanan dan kesalehan hidupnya. Mereka juga segan terhadap keberaniannya dalam melakukan perlawanan kepada bidaah-bidaah demi menjaga orthodoksi Gereja. St Hieronimus–misalnya–menyebut Paus Anastasius I sebagai pribadi yang hidupnya penuh dengan kesucian; seorang yang kaya raya dalam penghayatan kemiskinan. Penilaian St Hieronimus ini terkait dengan ketegasan Paus Anastasius I yang secara terbuka melawan ajaran dan para pengikut Origenes.
Selama masa pemerintahannya, Paus Anastasius I sangat giat melakukan perlawanan terhadap para pengikut Origenes. Dia mengutuk tulisan-tulisan Origenes, yang kala itu sudah tersebar luas di seantero Gereja. Ia juga melarang ajaran-ajaran Origenes disebarluaskan karena dinilai sesat.
Selain itu, Paus Anastasius I juga sangat memperhatikan dinamika Gereja di “Benua Hitam”. Meskipun masa kepausannya sangat pendek, dia tidak henti-hentinya memberikan dukungan kepada para Uskup, klerus, dan umat di Afrika Utara untuk terus berjuang melawan bidaah Donatisme. Donatisme adalah ajaran yang disebarkan oleh Uskup Kartago, Mgr Donatus, sekitar abad IV. Aliran ini berpendapat bahwa Gereja hanya terdiri dari kumpulan orang-orang suci. Oleh karena itu, Sakramen yang diterima tidak sah jika klerus yang menerimakannya pernah berdosa, sehingga harus diadakan upacara penerimaan ulang Sakramen-sakramen tersebut. Padahal, Gereja Katolik mengajarkan bahwa Sakramen yang diterimakan tetap sah meskipun klerus yang melayani dalam keberdosaan, karena keabsahan Sakramen tidak tergantung dari kesucian pelayannya, tetapi rahmat Allah sendiri.
Kepausan Singkat
Energinya untuk memerangi ajaran dan para pengikut Origenes, serta Donatisme di Afrika utara begitu luar biasa. Namun sayang, masa kepausannya sangat singkat. Paus Anastasius I bertakhta sebagai Patriark Roma dalam waktu sekitar 25 bulan. Dia wafat di Roma pada 19 Desember 401. Jenazahnya disemayamkan di Katakombe St Pontianus.
Paus Anastasius I digantikan oleh Paus Innocentius I (†417). Konon, Paus Innocentius I adalah putra kandungnya sendiri. Paus Innocentius I merupakan putra hasil perkawinan sah Paus Anastasius I, yang lahir sebelum sang ayah memutuskan untuk bergabung menjadi klerus Keuskupan Roma.
Ketika bertakhta, Paus Anastasius I juga memperhatikan disiplin hidup menggereja. Dia dikenal sebagai Paus pertama yang membuat aturan, bahwa semua imam harus berdiri ketika membaca Kitab Suci. Bahkan, kecintaannya terhadap Sabda Tuhan, dia ekspresikan dalam perintah agar semua imam menghormati Kitab Suci dengan menundukkan kepala sebelum mulai membacanya.
Di sela-sela masa kepausannya yang singkat, Kota Abadi bertubi-tubi menjadi target serangan bangsa barbar. Sebutan “bangsa barbar” merujuk pada bangsa-bangsa di luar Roma, yang memiliki adat istiadat dan cara hidup, serta berbicara dan berkomunikasi menggunakan bahasa yang berbeda, dengan yang dipraktikkan oleh orang Roma.
Meski masa kepausannya sangat singkat, Paus Anastasius I mampu berdiri tegak di tengah serangan bangsa-bangsa barbar, dan memperkokoh diri menjadi benteng pembela doktrin dan ajaran Gereja. Orthodoksi Gereja menjadi khazanah berharga yang selalu ia perjuangkan untuk ditegakkan melawan aneka ajaran sesat yang berkembang saat itu, seperti ajaran Origenes dan bidaah Donatisme.
Setelah wafat, Paus Anastasius I dihormati oleh Gereja sebagai orang kudus dengan gelar Santo. Gereja memperingati Paus pengutuk ajaran Origenes ini setiap 19 Desember.
R.B.E. Agung Nugroho