Tidak Apa, Saya Maafkan

914
Pastor Karl-Edmund Prier SJ.
[NN/Dok. Gereja St Lidwina]

HIDUPKATOLIK.com – Ia menjadi salah satu korban penyerangan di Gereja St Lidwina baru-baru ini. Alih-alih mengutuk, ia bersama para korban justru memaafkan sang pelaku.

Empat hari Romo Karl-Edmund Prier SJ dirawat di RS Panti Rapih Yogyakarta. Imam Jesuit asal Jerman itu adalah salah satu korban , Keuskupan Agung Semarang. Seorang pemuda bersenjatakan pedang, merangsek, dan mengibas senjata tajam itu kepada sembarang orang. Romo Prier memimpin Misa pada pagi itu.

Setelah menjalani perawatan di rumah sakit, Romo Prier kembali ke Rumah Residensial Komunitas Jesuit di Bener, Yogyakarta. Senin dua minggu lalu, di lokasi kejadian, diadakan perayaan Ekaristi “Peneguhan Iman Umat”. Misa digelar secara konselebrasi. Uskup Agung Semarang Mgr Robertus Rubiyatmoko menjadi selebran utama. Romo Prier hadir juga di sana. Ia berada di antara 20 imam saat itu. Penampilan Romo Prier sore itu berbeda dari sebelumnya. Ia mengenakan topi pet hitam. Di balik penutup kepalanya itu ada perban, menutup luka.

Dugaan Meleset
Mgr Rubi memberi mimbar kepada Romo Prier. Di hadapan ratusan umat yang tumpah ruah hingga ke luar gereja, Romo Prier membagikan kisah. “Saya minta maaf, karena saat ini pakai topi untuk menutup luka di kepala,” ucap Romo Prier, mengawali kesaksiannya setelah selama sakit mencoba untuk mengolah pengalamannya sebagai seorang imam.

Pastor Asistensi Paroki Hati St Perawan Maria Tak Bercela Kumetiran ini mencoba mengingat peristiwa penyerangan, yang dialami di altar tempat sekarang ia berdiri. Saat kejadian pada Minggu, 11/2, pelaku penyerangan tiba-tiba menerobos ke dalam gereja. Saat itu, umat tengah menyanyikan lagu Kemuliaan.

Romo Prier meminta maaf kepada umat karena Misa tak tuntas kala itu. “Saya minta maaf karena Misa Minggu saat itu tidak sampai selesai. Besok, Minggu depan, kita lanjutkan dengan Misa yang lengkap,” janjinya, penuh semangat.

Ketiga kalinya, imam yang dikenal banyak umat sebagai pribadi yang amat rendah hati itu kembali meminta maaf. Dalam refleksinya, ia mengungkapkan peristiwa yang merundungnya. Seandainya, ia lari atau menyelamatkan diri, mungkin takkan terluka. “Saya minta maaf atas kesombongan saya,” ucap iman kelahiran Weinsakitheim, Jerman, 18 September 1937 itu.

Romo Prier masih mengingat jelas detik-detik penyerangan itu. Si pelaku berjalan, mendekati altar, berteriak-teriak, sambil mengayun-ayunkan pedang panjangnya. Romo Prier melihat arah datangnya pelaku. Orang itu masuk dan berjalan di lorong tengah, di antara deretan kursi umat. Pelaku melangkah ke arah Romo Prier. “Ia menatap saya. Dan
saya pun melihat dia,” ujar mantan Seksi Musik di Komisi Liturgi Konferensi Wali Gereja Indonesia ini.

Pelaku terus melangkah hingga menaiki panti imam. Tiba-tiba, laju kakinya sempat terhenti. Mungkin pelaku berpikir ini rumah Tuhan, kata Romo Prier. Orang itu, lanjutnya, juga melihat dirinya masih mengenakan kasula.

Imam yang kerap mengendarai Vespa ini semula menduga, pelaku mengurungkan niat. Ia takkan menyerang diri dan umatnya. Orang itu, tambah Romo Prier, tampak ragu. Mungkin, lanjut imam yang murah senyum ini, orang itu sempat sadar bahwa dirinya tak pantas menyerangnya. Dugaan Romo Prier meleset. “Saya dua kali dipukul di bagian punggung, dan satu kali disabet pedang di kepala,” ucapnya.

Tak Kabur
Misionaris yang berkarya di Indonesia sejak 1964 memilih tidak kabur saat penyerangan terjadi. Ia tak takut, juga tak marah kepada pelaku. Romo Prier melukiskan peristiwa yang menimpa dirinya seperti kisah Daud dan Goliat. Raksasa Goliat datang dengan pedang panjang, sementara Daud tanpa senjata. Ia hanya mengandalkan campur tangan dan perlindungan Allah. “Seorang gembala tidak boleh lari meninggalkan dombanya. Iya, tho,” ucap Romo Prier,disambut gemuruh tepuk tangan umat.

Sebagai anggota Jesuit, yang menimba pengalaman spiritual dari St Ignatius dari Loyola, Romo Prier tak gentar. Ia tenang menghadapi bahaya. Katanya, kalau manusia takut berarti dikuasai roh tak baik, tapi kalau bersikap tenang, Roh Kudus yang akan melindungi. Romo Prier tak marah kepada pelaku. Ia juga tak ada dendam. Sebaliknya, ia justru memaafkan. “Andaikan bertemu, dia minta maaf, akan saya katakan, ‘tidak apa-apalah’. Saya maafkan,” ucapnya bersungguh-sungguh.

Mengapa harus memaafkan? Romo Prier menjelaskan, di dalam doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus kepada murid-murid-Nya, Dia meminta agar mereka mengampuni yang bersalah kepadanya. “Doa Bapa Kami itu musti dilaksanakan. Tidak justru malah membalas pelakunya,” pesan Romo Prier.

Meski demikian, imam yang mahir bermain organ itu berharap, pelaku segera menyadari perbuatannya. Kepada umat yang masih trauma pasca penyerangan, Romo Prier berpesan agar mereka tak lagi takut beribadat di gereja. “Seperti saya, tidak takut,” ucap imam dengan kondisi fisik yang belum terlalu pulih itu. “Saya memang tidak merasa pusing dan mual, tapi masih dalam proses penyembuhan,” tambah Romo Prier.

Kesaksian Korban
Saat kejadian, Mgr Rubi berada di Yogyakarta. Begitu mendengar kabar tersebut, Mgr Rubi bergegas menjenguk Romo Prier dan dua umat, A.M.Budiyono dan Yohanes Triyanto di rumah sakit. Mgr Rubi takjub dengan kesaksian mereka. Romo Prier, kata Mgr Rubi, tidak marah apalagi dendam, melainkan mengucapkan syukur karena Tuhan melindunginya. Sementara Budiyono merasa imannya kian dikuatkan lewat peristiwa itu. Senada dengan Romo Prier dan Budiyono, Trianto pun tak marah kepada pelaku.

Menurut Mgr Rubi, untuk ukuran manusia seharusnya ketiga korban mengalami luka serius, tetapi Tuhan melindungi semua. “Saya hanya bisa bengong dan terkagum-kagum mendengar kesaksian mereka. Ketiganya mengungkapkan hal sama, syukur kepada Tuhan. Dia menguatkan dan menjaga mereka.”

H. Bambang S.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini