Renungan Paskah Para Kaum Awam

311
[Ilustrasi: Menyalakan Lilin di Malam Paskah; Foto:HIDUP/A.Bilandoro]

HIDUPKATOLIK.com – Paskah adalah hari bangkitnya Tuhan Yesus Kristus sang juruselamat manusia pada hari ketiga dari antara orang mati, setelah wafatnya di kayu salib untuk menebus dosa seluruh umat manusia.  Ia harus kembali bangkit dari wafatnya untuk menggenapi firman.

KebangkitanNya semata-mata bukan hanya untuk menjadikan firman tersebut eksis sesuai dengan realita. Akan tetapi, ada makna dibalik bangkitNya yakni hadir kembali membawa kedamaian, keadilan di tengah-tengah kehidupan manusia.

Paskah yang dianut oleh kaum kristiani sangat memiliki momentum yang sakral. Maka perayaan paskah dimulai dari hari Rabu Abu, yang pada tahun ini tepat pada tanggal 14 Februari 2018. Setelah itu, 40 hari lamanya, para penganut agama Katolik melaksanakan pantang dan puasa sesuai dengan ketentuan kepercayaan mereka.

Kemudian ditandai dengan Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci dan Minggu Paskah. Kesakralan perayaan paskah bahkan disambut harus lebih meriah dibandingkan hari lahirnya Sang Juruselamat karena Ia sudah mati untuk menebus seluruh dosa umat manusia.

Dengan hadirnya paskah, tak lupa seluruh gereja menyiapkan sabda renungan sebagai pesan paskah untuk jemaat tiap tahunnya. Seperti tahun ini, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) tertanggal 21 Maret 2018 menyampaikan Pesan Paskah melalui website yang berjudul “Menjadi Hamba Kebenaran”.

Melalui pesan tersebut PGI mengingini tiap masyarakat untuk tidak terprovokasi dengan hadirnya para nabi-nabi palsu yang hendak merusak kedamaian di Indonesia. Hendaknya juga jemaatnya dihimbau untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi tahun politik ini; dimana banyak kepentingan yang dengan gampang diperjual-belikan demi meraup keuntungan dan demi mendapatkan pangku kekuasaan.

Gereja Katolik pada tahun ini mengambil tema tahun persatuan. Tak lupa memesankan kepada jemaatnya untuk tidak lalai dalam menjaga keberagaman Indonesia. Terlebih di tahun politik yang mengundang banyak sekali polemik kekuasaan di dalamnya.

Fungsi gereja nyata halnya dalam menyentuh setiap spiritualitas seluruh jemaatnya. Gereja hadir menjawab setiap permasalahan baik meliputi konflik lahan, kekerasan rumah tangga, kekerasan seksual, kemiskinan dan beberapa hal lainnya lagi. Hadirnya tidak lagi mengawang-awang, oleh karena itu, gereja juga harus hadir ditengah-tengah masyarakat untuk berdampingan menyelesaikan setiap permasalahan yang lahir ditengah mereka.

Gereja sebagai tempat orientasi para jemaatnya dalam melaksanakan ibadah penantian akan datangnya Kerajaan Allah. Ia tak hanya hadir sebagai bangunan cantik nan megah. Ia juga bukan persekutuan yang tinggal diam disaat dunia sedang dalam dinamika. Bukan juga himpunan yang mengurusi keimanan seseorang, dilihat dari berapa banyak sumbangsih yang telah mereka berikan.

Gereja hadir sebagai representasi dari Kerajaan Allah; dimana ada kebenaran tentang keadilan dan kedamaian. Ketika dunia sedang akrab dengan penindasan, gereja harus ikut ambil alih dalam perbaikan dunia.

Karena penindasan tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang dinaut oleh gereja, yang meletakkan manusia segambar dengan Allah (Imago Dei). Allah yang telah mengorbankan anakNya yang tunggal untuk menebus dosa manusia melalui restorasi keadilan, menciptakan kedamaian di dunia.

Lalu, bagaimana dengan Sumatera Utara yang akan menghadapi pesta demokrasi pada bulan Juni 2018? Bagaimana gereja yang fungsinya sebagai katalisator, mencoba berdiri bersama-sama dengan masyarakat untuk mendapatkan hak yang layak. Para calon pemangku kekuasaan tak lagi berjualan barang lapuk yang seperti biasanya kita alami di tahun-tahun sebelumnya.

Bukan lagi calon pemimpin yang dengan seenaknya saja  menginjak hak-hak rakyat yang tertindas. Akan tetapi bagaimana pemimpin tersebut dapat memberikan kebebasan tanpa penindasan. Sumatera Utara yang notabene memiliki nilai kriminalisasi tinggi, dengan hadirnya gereja setidaknya melahirkan pemikiran-pemikiran baru terkait pencegahan terhadap mewabah luasnya kriminalisasi.

Selain itu, konflik agrarian juga merupakan salah satu konflik yang masih menjadi momok terbesar di provinsi ini. Sepanjang 2017 seperti dikutip dalam rilis pers dari BAKUMSU (NGO), mencatat korban kekerasan dan kriminalisasi sebanyak 114 orang, sementara itu terdapat 24 kasus konflik tanah yang muncul ke permukaan dengan luas lahan mencapai ± 27.500 ha dan melibatkan ± 4.000 Kepala Keluarga (KK).

Sumber daya alam dan masyarakat tertindas merupakan salah satu barang yang bisa diperjualbelikan sebagai komoditi politik zaman sekarang. Sampai saat ini, belum ada gerakan gereja yang nyata untuk menanggulangi ini bersama-sama dengan jemaatnya.

Setidaknya menipiskan jumlah yang dipaparkan. Malah gereja seakan acuh dan terjebak di dalam lingkaran internal. Masih berbicara ke’aku’annya. Masih bergelut menyelesaikan persoalan-persoalan di dalam tubuh gereja tersebut. Belum turun di dalam masyarakat dan meninggalkan bangunan.

Harapan jemaat, terkhusus para masyarakat yang tertindas, paskah yang didengungkan oleh gereja, tidak lagi hanya sebatas perayaan untuk memenuhi kalender liturgi. Akan tetapi memang perayaan untuk memenangkan kembali setiap penderitaan yang diderita oleh jemaatnya.

Mempersipakan jemaat menikmati keadilan dan kedamaian yang tak sebatas bangunan belaka dan segala bentuk peraturan yang terkadang mengaburkan arti keadilan tersebut. Gereja tidak lagi  bekerja dalam ruang yang hampa. Seolah-olah membangun spritiualitas dan gerakan, padahal masih terlalu pasif untuk bergerak.

 

Prihartini Simbolon (anggota GMKI Medan)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini