Pesan Paskah PP PMKRI: Paskah dan Keberpihakan

310
PMKRI

HIDUPKATOLIK.com – Pesan Paskah PP PMKRI Sanctus Thomas Aquinas Periode 2018-2020

Paskah dan Keberpihakan
Orang berpikir jalan menuju pertobatan selalu dilihat hanya dari aspek perbuatan jahat, pertobatan hanya mungkin jika seseorang telah tercebur dalam kejahatan. Kalau ini benar, maka semua orang baik tak perlu bertobat. Tetapi kalau jalan menuju pertobatan dilihat sebagai jalan “pemurnian diri,” maka setiap orang butuh pertobatan.

Oleh karena itu, kita perlu ruang dan waktu, kondisi tertentu, mempurifikasi diri. Ruang dan waktu membawa kita pada inisiatif untuk menentukan pilihan. Apakah kita memilih untuk makan atau menahan lapar? Apakah kita memilih kenyang atau berugahari (mawas diri, tahan diri) menuju pemurnian diri? Apakah kita memilih untuk membatasi ruang gerak mengekang hasrat ragawi atau bergerak liar bermanuver sana-sini demi memuaskan nafsu-nafsu? Apakah kita memilih untuk menjaga tutur kata atau seenaknya berkata-kata tanpa mempertimbangkan konsekuensi dari ucapan kita?

Sudah dari sono-nya manusia adalah makhluk yang membutuhkan pegangan, baik itu pada agama dan kepercayaan, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Tanpa pegangan, manusia seperti kehilangan kepercayaan diri, kehilangan pijakan, kehilangan arah dan tujuan. Pegangan itu yang kita sebut kepentingan. Alasan mendasar manusia beragama adalah adanya rasa damai dan rukun antar sesama. Namun, kini semua sinyalemen mendasar itu kian terurai oleh perilaku budaya modern dan fenomena era digital yang semakin maju.

Kini, kita memasuki perayaan Paskah. Namun, ritual keagamaan ini dari tahun ke tahun hanya sebagai formalitas semata, tanpa ada pemaknaan mendalam dari esensi hidup menuju keadaban bersama. Agama cenderung larut dalam formalisme, diekspresikan dalam kebisingan, jauh dari hening, kudus, dan makna.

Berefleksi Melalui Puasa
Kita mengawali dengan masa prapaskah. Prapaskah mendahului masa Paskah, empat puluh hari menuju perayaan Paskah. Masa memaknai kebatinan jalan hidup. Hening yang hidup untuk mengajak kita kembali pada permenungan mendalam mengenai hakekat manusia yang mulia dan luhur, menyelami kedalaman spiritual.

Perjalanan puasa sebelum memasuki Paskah adalah lorong waktu yang mengajak kita kembali merenungkan nilai-nilai yang mulai terurai. Kita diajak untuk menahan
hawa nafsu dari keinginan duniawi, menjaga sikap dan perbuatan yang mulai terbawa arus globalisasi.

Puasa itu hening menuju laku tobat dan tapa. Saatnya kita memberikan perhatian pada karya amal dan olah tobat. Ruang dan waktu untuk sejenak “berbenah diri”’ menjadi pribadi yang lebih bermakna baik sebagai “’individu”’ juga “masyarakat”. Bulan untuk bercermin, kesempatan untuk berefleksi.

Puasa menolong menanamkan sikap memahami diri, mengakui kerapuhan sebagai tindakan lahiriah. Lokus menuju misteri Yang Ilahi. Kita diajak untuk melatih tutur kata, aspek “lahiriah” dan nuansa “batiniah”’ untuk berubah, serta “laku tapa” mewujudkan nilai-nilai hidup.

Puasa pada dasarnya adalah latihan untuk me-rem dan menguasai diri, baik “lahiriah” (menahan lapar dan haus, mengurangi jumlah makan, atau tidak memakan makanan tertentu yang enak-enak) maupun “batiniah” (menjaga tutur kata, tingkah laku, laku tapa, yang dari dalam diri). Soal mengendalikan sikap serta hal-hal duniawi.

Tentang menahan diri kita bisa belajar dari peristiwa Yesus dicobai oleh iblis di padang gurun sebelum ia memulai karya-Nya. Ia ditawari kenikmatan daging untuk pemenuhan hasrat makan dan minum, namun Yesus berhasil mengalahkan iblis dengan mengatakan “manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari firman Allah.” Makan dan minum memang perlu, namun bukan itu yang menjadi prioritas, melainkan laku hidup berdasarkan standard moralitas Ilahi.

Selain itu, Yesus juga ditawari kekuasaan duniawi, jika Ia tunduk dan patuh kepada kehendak iblis, namun Yesus menghardik dan menaklukan iblis. Ugahari terhadap diri sendiri membawa Yesus kepada cobaan yang lebih tinggi yakni kekuasaan. Yesus yang telah mengatasi diri-Nya sendiri atas nafsu-nafsu daging mampu mengalahkan godaan politis itu.

Peristiwa Yesus dicobai di padang gurun itu kiranya menjadi inspirasi bagi kita untuk menjadi manusia yang baik. Menjadi manusia yang ugahari, manusia yang adil, manusia yang tak mudah luntur idealismenya di hadapan godaan-godaan dan tawaran duniawi yang memikat dan mengerangkeng jiwa dan raga.

Untuk menjadi manusia yang baik tentu kita harus belajar mengendalikan hasrat, nafsu atau keinginan (baik positif maupun negatif). Kita juga harus belajar menunda kenikmatan atau kesenangan. Puasa adalah salah satu (bukan satu-satunya) cara untuk mampu mengubahnya. Sebuah proses melihat kembali ke dalam diri kita.

Sebuah perjalanan mengarungi hidup dengan berkonsentrasi, fokus pada satu doa, harapan dan pergumulan tertentu. Bukan untuk menyiksa diri, melainkan berlatih memahami dan membulatkan hati pada belas kasih-Nya. Karena saat lapar, haus dan lemah manusia biasa sulit sekali untuk fokus pada satu tujuan dan harapan.

Jalan Kebangkitan
Kini kita hidup di era aksesoris dan selebritis. Orang mengutamakan tampilan luar. Balutan kemegahan dan penuh rekayasa. Tata krama sebagai budaya bangsa ini mulai terurai. Semakin menumpuknya manusia-manusia virtual yang lahir dari rahim digital. Di saat yang sama, era digital mengurung peradaban budaya dan dimensi kultural kian tersisih.

Teknologi mengalienasi manusia dari cita rasa budayanya. Manusia mencitrakan diri, terjebak dalam pencaharian jati dirinya. Di tengah derasnya arus teknologisasi, kita kehilangan individualitas sebagai pribadi yang utuh. Ritual keagamaan untuk berefleksi justru dijadikan sebagai ruang untuk berpolitik, manuver sana-sini demi pemenuhan hasrat kekuasaan.

Tatanan sosial dirusak oleh perilaku koruptif yang kian menggurita. Rasa solidaritas diabaikan. Ketaatan beragama hanya sebagai pintu gerbang beretorika membeli suara rakyat. Tatanan etis berbangsa diacak-acak oleh golongan preman berjas. Hukum bak sebuah utopia. Pasal-pasal yang dirancang demi untung rugi semata, bukan demi kepentingan semua orang.

Keragaman direduksi untuk tidak plural lagi. Prinsip demokrasi belum sepenuhnya terwujud. Universalitas nilai sebagai simpul antar agama dalam negara demokrasi terjebak oleh kepentingan kelompok. Buktinya perbedaan masih terus diperdebatkan. Perbedaan yang diperdebatkan dalam negara demokrasi harusnya perbedaan pendapat, bukan agama. Demokrasi lahir sebagai sistem yang menyetarakan, agama memberi pedoman dasar dalam berdemokrasi.

Dalam dunia politik, kita harus kembali ke gagasan dasar politik yaitu kepentingan bersama demi terwujudnya kebaikan bersama (bonum commune). Demokrasi harus kembali pada prinsip dasarnya: universalitas nilai sebagai modal menjamin hak hidup bersama. Ada kesetaraan yang harus diperjuangkan.

Ekonomi harus bersasar pada tatanan sosial warga bangsa. Logika pasar harus berpegang pada tatanan etis berbangsa. Hukum harus menganut prinsip keadilan. Semua warga bangsa harus punya kedudukan yang sama di depan hukum. Ketegasan dan keterbukaan sistem menjadi perhatian bersama agar mengurangi penyakit sosial yang sistemik yaitu perilaku koruptif. Prinsip institusi sosial yang adil dan penataan etika perlu dijalankan agar ruang bagi siasat jahat koruptif semakin sempit dan pada gilirannya Indonesia bebas korupsi dapat tercapai.

Dalam konteks yang demikian, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) sebagai mitra kritis pemerintah dan masyarakat melihat tiga pokok persoalan bangsa yang perlu diperhatikan.

Pertama, soal hak asasi manusia (HAM) yang hari-hari ini belum tuntas proses penuntasannya. Kebebasan berpendapat dibungkam, banyak korban ketidakadilan, perdagangan manusia (human trafficking) masih menjadi trending topic serta penegakan hukum masih jauh dari keadilan. Malah bermunculan pelanggaran baru.

Kedua, ekologi. Soal kerusakan alam dan lingkungan hidup yang kian menjadi, akibat watak materialis yang dipengaruhi oleh ekspansi pasar global.

Ketiga, persatuan Indonesia. Keragaman adalah kekayaan bangsa ini, namun beberapa tahun belakangan, energi bangsa terkuras oleh perdebatan abadi yang tidak akan pernah selesai tentang dikotomi “kami dan mereka”. Ruang gerak perbedaan kian dipersempit oleh logika primordialistik yang laris manis di akar rumput. Maraknya ujaran kebencian dan aksi saling serang antar warga bangsa di media sosial menunjukkan tajinya yang liar dan beringas. Pemicunya, soal politik identitas. Memasuki tahun politik rasanya perlu kerja keras membumikan semangat persatuan: Kita Indonesia!

Paskah menggugah kepekaan sosial kita sebagai kader-kader PMKRI untuk bangkit menyerukan persoalan bangsa di atas. Kita dituntut untuk sadar dan terlibat dalam peristiwa hidup bermasyarakat. Keyakinan iman agama, perlu membuka diri-meyakini bahwa Paskah memberikan ruang dan waktu bagi kita untuk kembali pada hakekat perjuangan perhimpunan yang dicita-citakan.

Paskah itu pesta kebangkitan, seruan soal moral sekaligus sebuah ajakan untuk membangkitkan kembali semangat “spiritualitas keterlibatan” guna menjawab masalah kesenjangan dan krisis sosial bangsa, dengan bertumpu pada Pancasila sebagai simpul gerakan persatuan. Sebab, #Kita_Indonesia

Selamat pesta Paskah, teriring salam dan doa untuk Anda dan keluarga!

ttd.
Juventus Prima Yoris Kago
Ketua Presidium

ttd.
Tomson Sabungan Silalahi
Sekretaris Jenderal


 

AB

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini