HIDUPKATOLIK.com – Jika jam kerja usia, segeralah pulang ke rumah. Jangan berdalih untuk keterlambatan. Jika menjadi kebiasaan, relasi dengan pasangan bisa renggang, anak pun telantar, pesannya.
Berbagai jenis tanaman menghiasi pekarangan rumah Fransiskus Xaverius Toegijono, di Kemang Pratama Regency, Bekasi. Rumah yang ia diami sejak 1990 itu tak berpagar. Pada masa itu, baru ada tiga rumah di sana. Toegijono dan sang istri, Maria Floribertha Soepingi, merupakan keluarga Katolik pertama di kluster tersebut.
Seiring makin menggeliatnya pembangunan, saat ini ada lebih seratus rumah yang berdiri di atas areal seluas 18 hektar itu. Dulu, hanya keluarga Toegijono yang beragama Katolik. Tapi kini, ada puluhan umat Katolik di sana. Mereka masuk dalam Lingkungan Maria Asumpta, Paroki St Bartolomeus Taman Galaxi, Keuskupan Agung Jakarta. Toegijono adalah Ketua Lingkungan pertama, yang saat itu masih bernama Maria Immaculata 5.
Toegijono juga pernah didapuk sebagai pengurus Rukun Tetangga (RT) di kompleks perumahan itu. Pertama kali, ia menjadi wakil. Pada periode selanjutnya, ia dipercaya menjadi sekretaris. Kini, ia tak lagi memikul tanggung jawab tersebut. Meski demikian, Toegijono tetap berbaur dan membina relasi dengan para tetangga. Ia bergabung dalam Komunitas Jalan Pagi dan menjadi instruktur senam pagi untuk warga setiap Selasa dan Jumat. “Meski kecil, kita harus menjadi ‘garam’ untuk sesama,” ungkapnya.
Asian Games
Toegijono menyukai kesenian, secara khusus seni suara. Sejak remaja, purnawirawan TNI ini sudah tergabung dengan kelompok kor di Paroki St Yoseph Matraman. Lewat tarik suara, ia bersama rekan-rekannya sempat terlibat dalam sejumlah aksi penggalangan dana. Salah satunya, untuk membangun bubungan makam uskup pribumi pertama Indonesia, Mgr Albertus Soegijapranata SJ.
Tak dinyana, dunia itu pula yang mempertemukan Toegijono dengan tulang rusuknya. Perjumpaan perdana mereka terjadi saat Asian Games di Jakarta pada 1962. Toegijono dan Soepingi berada satu panggung sebagai kelompok paduan suara di perhelatan akbar tersebut. Kolaborasi antara mereka terus berlanjut ketika pementasan tonil di paroki. “Ibu menjadi pembisik naskah untuk saya di atas panggung.”
Kisah romansa Toegijono dan Soepingi berlanjut hingga ke pelaminan. Pada 2 Desember 1967 mereka mengikat janji setia di hadapan Romo J. B. Wijana Harjadi SJ, di Gereja Stasi St Antonius Sokarini, Muntilan (kini telah menjadi paroki).
Tantangan pertama yang dihadapi oleh pengantin muda ini adalah jarak medan karya yang berjauhan. Toegijono di Bandung, sementara Soepingi di Jakarta sebagai guru. Selang beberapa waktu, mereka berembug ikhwal kondisi tersebut. Pada akhirnya, Soegijono mengambil keputusan berani, pensiun dini dari militer. Keputusan itu mendatangkan konsekuensi bagi keluarga barunya. Mereka tak mendapat fasilitas seperti sedia kala.
Toegijono banting setir menjadi guru. Tuntutan ekonomi ia rasakan semakin berat. Apalagi, mereka telah mendapat buah hati. Pada suatu ketika, tanpa sepengetahuan suaminya, Soepingi mendekati orangtua siswanya asal Jerman. Perempuan asal Muntilan, Jawa Tengah itu meminta kepada orang itu agar suaminya diterima di tempatnya bekerja, yakni perusahaan baja. “Silakan dikirim lamarannya. Tapi, semua pelamar harus melalui tes,” kenang Soepingi, mengutip jawaban orangtua siswanya.
Sayang, meski lulus dan diterima, Toegijono tak lama bekerja di sana. Perusahaan itu gulung tikar. Beruntung, salah satu direktur di sana memintanya bergabung di sebuah perusahaan penerbangan. Toegijono mengambil peluang itu. Ia ditempatkan sebagai sekretaris di divisi teknik.
Tantangan yang ia hadapi di tempat baru adalah karakter kepala divisinya. Menurut Toegijono, pimpinannya itu kasar dan temperamental. Dalam sehari, ia bisa enam kali kena damprat tanpa alasan jelas. Meski demikian, Toegijono, tetap setia mengerjakan semua tugas dengan baik.
Deraan psikis yang diterimanya bertubi-tubi akhirnya membuat tubuh Toegijono ambruk. “Saya masuk rumah sakit karena terserang typhus,” ujarnya, lirih.
Siapa sangka sang bos akhirnya keluar dan posisinya digantikan oleh Toegijono. Pada satu sisi, ia bisa menafkahi keluarganya dengan layak. Namun di sisi lain, ia kerap berpisah dengan istri dan anak-anak lantaran perusahaan selalu menugaskannya ke Belanda. Sekali kunjungan, bisa tiga bulan ia berada di Negeri Kincir Angin.
Demi menyalurkan rasa rindu dan mengetahui keadaan keluarga, Toegijono rutin menulis surat dan menelepon. Setiap kali ingin menghubungi mereka, ia meminta istrinya untuk mengumpulkan seluruh keluarga di dekat telepon. Ia ingin mendengar satu persatu suara mereka.
Menolak Acara
Pada 2 Desember lalu, pasangan sepuh ini memperingati usia emas pernikahan. Mereka tak mengadakan Misa khusus atau menggelar acara di tempat istimewa. Sebenarnya, anak-anak mereka sempat berencana membuat acara untuk orangtua mereka pada momen spesial itu. Tapi, Toegijono menolak.
Pada hari itu, Toegijono-Soepingi bersama anak, mantu, dan cucu, mengucap syukur kepada Tuhan dengan mengikuti Misa harian di kapel kecil milik Suster OSF di Marsudirini, Kemang Pratama, Bekasi. Usai itu, mereka sekeluarga makan bersama di sebuah restoran di wilayah Jakarta.
Soal tak ada acara khusus pada 50 tahun usia pernikahannya, Toegijono beralasan, pada 50 tahun yang lalu, ia mengundang Yesus untuk datang ke gereja kecil di pelosok. Sekarang, setelah 50 tahun, sambungnya, ia merasa tak pantas jika mengundang kembali Yesus untuk datang ke acara khususnya seperti dulu. Sebaliknya, justru dirinya bersama sang istrilah yang harus datang kepada-Nya.
“Mohon maaf, jika ini logika bengkok saya. Saya merasa tidak pantas jika Tuhan datang kepada kami. Justru kami yang harus datang kepada-Nya,” tandas prodiakon, anggota kor Gregorian Schola Cantorum, dan penggerak doa Brevir di paroki ini.
Tak dinyana, komunitas prodiakon serta umat Lingkungan memberikan kejutan kepada Toegijono-Soepingi. Mereka merayakan usia emas pernikahan pasangan sepuh itu pada hari yang berbeda. “Saya amat berterima kasih untuk perhatian mereka kepada kami,” ujar instruktur senam Tera Taichi untuk komunitas Adiyuswa paroki.
Fransiskus Dono Prihadi mengapresiasi sesama rekan prodiakonnya itu. “Beliau (Toegijono) selain sedikit bicara dan banyak bekerja, juga penuh semangat serta rendah hati dalam pelayanan, baik untuk yang sesama umur maupun kaum muda. ”
Segera Pulang
Toegijono-Soepingi mensyukuri peristiwa spesial itu. Mereka bisa memperingati bersama. Lima puluh tahun yang lalu, kenangnya, hanya ada dirinya dan sang istri. Setelah 50 tahun, keluarga kami bertambah menjadi 13 orang. “Kami tak banyak jasa untuk anak-anak. Saya dan Ibu hanya bisa menambah jumlah anggota keluarga,” ujarnya, merendah.
Keluarga, di mata Toegijono amat penting. Karena itu, ia berpesan kepada para orangtua, terutama keluarga muda, agar segera pulang ke rumah begitu jam kerja usai. Jangan pernah mencari dalih untuk itu, sebab akan menjadi kebiasaan.
Toegijono-Soepingi juga menyadari, usia mereka kian meninggi dari hari ke hari. Ada kalanya, aku Toegijono, saat di tempat tidur, sambil bercanda, mereka melempar tanya, siapa yang bakal dipanggil Tuhan lebih dulu. “Artinya, kami tak bisa hidup sendirian. Sampai sekarang, kami masih saling membutuhkan,” pungkas Toegijono, dengan mata berkaca-kaca.
Yanuari Marwanto