Martabat Penderita Gangguan Jiwa

200

HIDUPKATOLIK.com – Sejumlah sumber menyebutkan jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa di Indonesia, dengan beragam jenisnya, hampir mencapai lima belas juta orang atau lebih dari enam persendari jumlah penduduk. Jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Mereka tersebar di seluruh provinsi. Dari ujung barat sampai ujung timur. Angka tertinggi terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Kendati di provinsi ini prosentasinya cukup tinggi namun pemerintah daerah provinsi ini telah melarang tindakan pemasungan terhadap setiap warga yang mengalami gangguan jiwa. Sementara provinsi lain masih membiarkan pemasungan. Tindakan yang bertengangan dengan nilai-nilai Sila Kedua Pancasila, Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Hak Azasi Manusia (HAM), dan tentu saja nilai-nilai agama. Inilah yang menjadi perhatian sekaligus keprihatinan kita. Belum lagi, pandangan minor masyarakat dan stigma yang umumnya ditujukan kepada saudari-saudara kita tersebut.

Masalah pendampingan dan pelayanan kesehatan warga yang mengalami gangguan jiwa tergolong amat terbatas. Pemerintah tampak kedodoran. Rumah-rumah sakit dan shelter/ panti perlindungan khusus gangguan jiwa masih jauh dari cukup. Paramedis pun demikian. Akibatnya, banyak penderita gangguan jiwa yang terlantar di sembarang tempat. Selain masalah kesehatan, situasi ini amat rentan terhadap tindak kekerasan, lebih-lebih kaum perempuan. Pelecehan seksual mengintai mereka. Termasuk di rumah penampungan yang dikelola oleh kaum laki-laki. Sungguh memprihatinkan.

Bagaimana dengan pendampingan pastoral? Sejauh pengamatan kami, sampai saat ini, belum ada karya institusional gerejani, yang secara khusus memberikan bantuan atau pendampingan. Katakanlah semacam seksi atau komisi yang bertugas melayani dan mendampingi hingga mereka sehat dan bisa kembali ke tengah keluarga dan masyarakat. Pendampingan pastoral yang selama kita dengar masih bersifat perseorangan. Salah satu contohnya adalah kepedulian total yang dilakukan oleh seorang imam di Nusa Tenggara Timur (NTT) beberapa tahun terakhir. Kepedulian yang kemudian mendapat respons luas, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.

Mengingat jumlah orang yang mengalami gangguan jiwa makin bertambah, sudah saatnya, setidaknya lembaga-lembaga sosial Gereja secara serius memalingkan mata terhadap saudari-saudara kita tersebut. Sejumlah data juga menunjukkan, jumlah yang masih terpasung masih tinggi. Keluarga-keluarga penderita perlu (baca:harus) dilibatkan. Mereka diberi pemahaman atau kesadaran, bahwa pemasungan anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa harus segera dihentikan. Tindakan itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Redaksi

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini