Dalam Keluarga Mereka Dibina

320
Beberapa anak Panti Asuhan Bunda Pengharapan saat belajar bersama.
[HIDUP/Antonius E. Sugiyanto]

HIDUPKATOLIK.com – Awalnya sebagai tempat penitipan anak, PA Bunda Pengharapan kini menjadi keluarga bagi setiap anak yang membutuhkan kasih sayang.

Sudah hampir lima tahun, Fortunata Pelafania tidak pernah menginjakkan kaki lagi di tanah kelahirannya. Fania, begitu anak kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA) ini dipanggil, sudah sejak empat tahun ini tinggal di Panti Asuhan (PA) Bunda Pengharapan Kubu Raya, Kalimantan Barat. Kondisi ekonomi keluarga yang menjadi latar ia dan kakaknya, Milensia, memilih tinggal di panti yang dikelola Suster Pasionis (Congregatio Passionis Jesu Christi/ CP) ini.

Ada rasa rindu yang kadang hinggap dalam angan Fania, ketika ingat keluarga di kampung halamannya di Sekadau, Kalimantan Barat. Namun, ia berusaha tetap tegar. Tinggal di panti, ada begitu banyak kegembiraan yang dirasakannya. Terlebih sahabat yang sudah seperti keluarga.

Tidak hanya Fania dan Milensia, di PA Bunda Pengharapan ada puluhan anak yang sedang merajut masa depan. Mereka dididik dalam iman Kristiani untuk meraih mimpi di masa depan. Meski hidup dalam kesederhanaan, suster-suster yang mendampingi memiliki mimpi yang tinggi. Kelak, mereka dapat menjadi garam di tengah dunia.

Penitipan Anak
Awal perjalanan PA Bunda Pengharapan, dimulai sejak tahun 1997. Suster Kristina Eni CP menceritakan, awalnya dibuka tempat penitipan anak-anak yang orangtuanya bekerja sebagai buruh. Ketika itu, setiap orangtua menitipkan anak mereka di jam-jam kerja. Setiap berangkat, pekerja-pekerja itu menitipkan anaknya, dan mereka akan mengambil lagi saat mereka pulang.

Namun selama dua tahun pertama, beberapa orangtua tidak membawa pulang anak yang telah dititipkan. Suster Kristina melanjutkan, dengan kondisi ini, maka mereka harus merawat anak-anak itu. “Setiap menitipkan anak, sebenarnya orang tua juga diminta sumbangan setiap bulan. Namun, belakangan mereka tidak membayar bahkan tidak mengambil anak yang ditipkan itu,” ungkap Pimpinan PA Bunda Pengharapan ini.

Berhadapan dengan kondisi ini, Tarekat Suster Pasionis kemudian berinisiatif menjadikan tempat penitipan anak ini sebagai panti asuhan. Hingga akhirnya, pada tahun 2000, penitipan anak ini menjadi PA Bunda Pengharapan. Suster Kristina mengisahkan, dengan status ini panti berusaha merawat anak-anak yang kehilangan orangtua, juga anak yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Di saat awal menjadi panti asuhan, mereka menerima semua anak baik putra maupun putri. Namun, berlatar pertimbangan yang matang, pada akhirnya panti hanya diperuntukkan untuk anak putri dari usia balita sampai SMA. Suster Kristina mengungkapkan, meski begitu, ada beberapa anak putra yang masih diizinkan tinggal, namun hanya sampai usia Sekolah Dasar. Setelah lulus SD, mereka akan dipindah ke panti khusus putra. “Kalau dicampur putra-putri akan lebih sulit penangannya, maka kami hanya mengkhususkan panti untuk anak putri saja,” ungkap suster yang mengikrarkan kaul pertama tahun 2015 ini.

Pendidikan Keluarga
Di PA Bunda Pengharapan semua penghuni adalah keluarga. Suster Kristina menjelaskan, dalam pendampingan, mereka menggunakan pendekatan kekeluargaan. Setiap anak dididik untuk menjadikan setiap penghuni panti sebagai keluarga. Setiap anak ditanamkan pemahaman bahwa mereka adalah bagian dari keluarga besar PA Bunda Pengharapan. “Jadi penghuni lain di panti adalah kakak atau adik mereka, sehingga mereka harus saling mencintai dan menghormati,” ungkap suster kelahiran Ende, Nusa Tenggara, Timur ini.

Suster Kristina sadar, kehadiran Suster-suster Pasionis di panti ini adalah sebagai pengganti orangtua, dari anak-anak yang tinggal di sana. Maka, ia berusaha untuk membantu anak-anak panti meraih setiap impian mereka. “Kami hanya mendampingi hanya sampai SMA, namun kami berharap mereka meraih cita-cita yang lebih tinggi lagi.”

Sebagai sebuah panti di bawah naungan Tarekat Suster Pasionis, semangat kesederhanaan yang bersumber dari Yesus yang tersalip juga menjadi spirit dalam mendampingi anak-anak. Suster Kristina mengungkapkan, sedapat mungkin anak-anak juga diajarkan tentang nilai-nilai yang terpancar dalam kharisma dan spiritualitas tarekat. Anak-anak diajarkan untuk hidup sederhana dan memiliki kasih sayang seperti yang diteladankan Yesus di salib.

Sejak awal berdiri, PA Bunda Pengharapan terbuka bagi siapa saja anak yang membutuhkan. Sr Kristina menengungkapkan, panti tidak membedakan anak dari budaya atau agama apapun. Semua yang membutuhkan bantuan, maka panti akan selalu membuka pintu. “Meski dalam mendidik, kami menggunakan nilai-nilai Kristiani, namun siapa saja boleh bergabung,” kata Suster Kristina.

Kerja Gembira
Di PA Bunda Pengharapan, anak-anak berkegiatan selaras dengan jadwal yang ada. Suster Sofiani Kemba Tae CP menjelaskan, setiap hari anak-anak bertanggungjawab menyiapkan makanan untuk semua penghuni panti. Sebagai pendamping anak-anak panti, Suster Sofiani berusaha untuk bisa bekerja bersama anak-anak. “Setiap kegiatan mereka harus didampingi agar mereka dapat bekerja dengan tanggung jawab.”

Semua kegiatan mulai dari memasak, membersihkan panti, dan belajar semua dijalankan dalam kebersamaan. Dalam hal rohani, setiap hari anak-anak berkesempatan mengikuti doa Rosario, novena, dan juga Misa. Dengan ini, anak-anak ingin diajarkan tentang kekeluargaan dan semangat iman yang semakin mendalam.

Yupita Rite mengungkapkan, selalu ada suka duka selama ia tinggal di PA Bunda Pengharapan. Siswi kelas XI SMA ini berusaha untuk dapat bekerjasama dengan anak-anak yang lain dalam menjalankan setiap tugas. “Kalau lagi tugas masak, karena dikerjakan bersama jadi suasananya jadi gembira.”

Sebagai satu keluarga, setiap anak saling mendukung dalam belajar dan kehidupan bersama. Theresia Sudarti merasakan, di panti dia dapat belajar bersama yang lain. Sehingga apabila dalam kesulitan ia dapat bertanya satu dengan yang lain.

Namun, tinggal di panti tetap saja punya warna sendiri. Jauh dari keluarga, tentu saja memunculkan kerinduan. Felesia Wahyuni yang sudah cukup lama tinggal di panti pun kadang merasakan kerinduan itu. Felesia berusaha untuk tidak menyerah, semua anak yang hidup bersamanya di panti, akhirnya menjadi keluarga yang akan selalu ada untuk saling menghibur.

Setiap kehidupan selalu memiliki keterbatasan. Hal ini disadari oleh anak-anak yang tinggal di PA Bunda Pengharapan. Namun, keterbatasan tidak menjadi penghalang untuk menggantungkan mimpi setinggi-tingginya.

Antonius E. Sugiyanto

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini