HIDUPKATOLIK.COM – Prinsip Dasar Tobat
Sila baca artikel sebelumnya:
- http://www.hidupkatolik.com/2018/03/13/18742/pendidikan-tobat-menurut-injil-lukas-bagian-i/
- http://www.hidupkatolik.com/2018/03/14/18786/pendidikan-tobat-menurut-injil-lukas-bagian-ii/
- http://www.hidupkatolik.com/2018/03/15/18817/pendidikan-tobat-menurut-injil-lukas-bagian-iii/
3. Berbelaskasihan Kepada Yang Berkekurangan – bagian keempat
Injil Lukas selain dikenal sebagai injil bagi kaum miskin tetapi juga menampilkan Allah sebagai sosok yang pertama kali menyeberang jalan menuju kepada mereka yang miskin dan tersingkirkan dalam konteks sosial Yahudi.
Tentu kemiskinan ini ialah kemiskinan material yang secara tertentu berkonfrontasi dengan ‘kemiskinan moril dan spiritual’. Dalam refleksi teologis mutakhir, kemiskinan justru diperluas bukan saja material, melainkan moril dan spiritual bahkan politis dan keamanan.
Yesus sering disebut Lukas ‘tergerak’ sampai ke dalam lubuk hati-Nya. Gerakan Ilahi ditampilkan sedemikian rupa dengan amat cerdas oleh Lukas untuk menggambarkan bagaimana tepatnya Allah mengasihi manusia terutama mereka yang miskin dan berkekurangan.
“Berbahagialah hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah” (6:20). Sapaan pertama Kotbah di Bukit atau yang sering dinamakan Misi Programatis Yesus ini membentuk suatu kedekatan Allah yang khas dan unik-tak tergantikan bagi mereka yang dijauhkan oleh manusia.
Kemuridan kita pun demikian adanya. Sebagai injil murid, Lukas berulangkali melukiskan kemuridan para rasul Yesus tetap setia dan langgeng di samping Sang Guru. Kemuridan berbakti dan berwujud bukan pada kekayaan atau kemewahan atau keglamoran melainkan kepada yang berkekurangan atau mereka yang miskin.
Gereja dengan gembira selalu berpihak kepada yang miskin, sebab seluruh sejarah keselamatan kita ditandai oleh kehadiran orang-orang miskin (Paus Fransiskus, Evangelii Gaudium, Art. 197).
Mungkin saja terdapat bantuan dan pertolongan karena belas kasihan, ‘ketergetaran-ketergerakan hati’- namun bilamana perbuatan atau tindakan tersebut dibarengi dengan intensi menerima, memberi yang demikian tidak akan pernah berhasil-guna dan bermakna.
Perilaku amal kasih atau pemberian, apabila diberdayakan dengan ‘menolak’ menerima akan ada jawaban keterberian dari Allah di lain pihak sebagai pangkal segala rahmat dan berkat. Pemberian kita meresonansi seluruh diri kita kepada sesama karena Allah. Singkatnya, pemberian atau amal tobat masa Prapaskah kepada sesama adalah syukur kita kepada Allah yang berbelaskasihan.
Fr. Deodatus D Parera (Penulis adalah calon imam Keuskupan Agung Kupang-Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui, Tingkat VI)