HIDUPKATOLIK.com – Lebih dari 10 tahun, perempuan ini menjalani panggilan sebagai barisan terdepan penyelamat kehidupan. Ia mengawali pelayanan kesehatan di kamp pengungsian Timor Leste dan daerah konflik Tobelo.
Bersentuhan dengan bidang kesehatan bukan hal baru bagi Afra Fonda Tangdiala, yang akrab disapa Afra. Sejak kanak-kanak, jalan hidupnya seperti sudah diarah untuk berkecimpung dalam dunia kesehatan. Orangtua dan sang kakak mengharapkan Afra menjadi seorang dokter.
Usai menuntaskan pendidikan di SMA Regina Pacis Bogor, lantaran tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi swasta, Afra mendaftar kuliah di Universitas Indonesia. “Waktu itu saya pasrah aja, mengikuti kehendak keluarga menjadi dokter. Formulir masuk ditulis kakak dengan pilihan Kedokteran. Puji Tuhan, saya diterima!” kenang bungsu dari empat bersaudara pasangan RR. Tangdiala dan CD. Da Lopez ini.
Daerah konflik
Setelah mendapat gelar Sarjana Kedokteran pada 1999, Afra bergabung dengan Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (Perdhaki). Di bawah Perdhaki, Afra diutus menjalani panggilan sebagai dokter umum di tempat pengungsian Timor Leste pasca jajak pendapat. Satu tahun kemudian, kali ini bersama Tim Kesehatan Gabungan (Kesgab) dari Depertemen Kesehatan RI dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Afra kembali diutus pergi mengobati para korban konflik di Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara.
Bertugas di daerah konflik membuat Afra akrab dengan desingan peluru dan gele gar suara bom rakitan. Kala itu, dua kecamatan, Galela dan Tobelo, bergejolak oleh konflik yang mengatasnamakan agama. Dua kecamatan ini pun terisolasi. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga Tobelo harus memesan ke Manado di Sulawesi Utara. Listrik pun tak ada. Bangunan rumah sakit sudah tidak layak pakai. “Sungguh situasi yang memilukan,” kenang Afra yang saat ditemui sedang mempersiapkan operasi di Rumah Sakit Mitra Depok, Jawa Barat, Jumat, 24/10 ini.
Di Tobelo, Afra justru banyak menangani ibu hamil yang akan melahirkan. Padahal, ia seorang dokter umum. Tapi, tentu ia tak bisa menolak pasien. Suatu hari, ia harus bangun pukul empat pagi, lantaran ada pasien yang akan melahirkan dengan posisi bayi sungsang. “Saya takut, karena saya dokter umum, bukan dokter kandungan. Apalagi, ini pengalaman pertama saya menghadapi kondisi bayi sungsang. Tetapi berkat bantuan seorang bidan, bayi lahir dengan selamat,” demikian perempuan kelahiran 7 September 1974 ini.
Dokter kandungan
Berkat pengalaman menangani ibu hamil di daerah konflik, pada 2003 Afra memutuskan mengambil spesialis kandungan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sembari melanjutkan studi, Afra juga berkarya di Pusat Krisis Terpadu Perempuan dan Anak, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Saat piket malam, Afra kerap mendapati pasien kasus kekerasan, termasuk pemerkosaan.
Afra juga sering sekali menjumpai pasien hamil yang meminta untuk menggugurkan janin. Tapi, dengan tegas Afra selalu menolak permintaan itu. “Sejak kecil saya dididik dalam keluarga Katolik yang taat. Dan, saya tahu, bahwa aborsi ditolak Gereja Katolik,” urai istri Antonius Anwar ini.
Jika ada pasien yang ingin melakukan aborsi, dengan sigap Afra memberi nomor teleponnya. Jika suatu waktu dibutuhkan, pasien dapat segera menelepon dia. Afra pun selalu menyiapkan diri membantu dengan senang hati. “Saya siap membantu, tapi syaratnya tidak boleh aborsi! Kasus aborsi ini pasti saya temui setidaknya tiga bulan sekali,” ujar umat Paroki St Paulus Depok, Keuskupan Bogor ini.
Kini, selain aktif bekerja sebagai dokter kandungan di beberapa rumah sakit, Afra juga giat menjadi pembicara dalam diskusi-diskusi terkait kasus aborsi. Pada 14 Agustus 2014, Afra diundang Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk men jadi pembicara dalam diskusi tentang Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang di dalamnya mengatur perihal tindak aborsi. “Sebagai dokter kandungan, saya tidak bisa melakukan aborsi. Kecacatan bayi dalam kandungan akan terus dipantau pada usia kehamilan delapan minggu, 12 minggu, hingga 20 minggu. Jadi, ya tidak mungkin hanya dipantau selama enam minggu,” jelas Afra. Terkait kasus aborsi dengan alasan kehamilan akibat pemerkosaan, Afra pun tegas menolak.
Afra mengajak para imam, suster, dan tentu umat, untuk terus mengawal pelaksanaan peraturan tersebut. Menurutnya, masyarakat harus dipagari, agar tidak mudah melakukan aborsi. Intinya, jika ada pasien hamil ingin melakukan aborsi, tidak boleh dibiarkan sendiri. “Gereja juga harus menurunkan para kader di bidang kesehatan dan psikolog untuk melakukan pendampingan, karena kasus aborsi ini lumayan banyak terjadi,” jelas Afra.
Afra memang selalu melihat segala hal secara ilmiah, terutama ketika berhadapan dengan kondisi pasiennya. Semua dihitung, dilihat, dan dianalisis seberapa besar kemungkinan sang pasien bisa sembuh. “Jika melihat perhitungan ini kadang sulit dan rumit. Tak bisa dipungkiri, saya juga harus percaya, jika Tuhan menghendaki pasien hidup, maka ia akan sembuh,” kata Afra.
Afra Fonda Tangdiala
TTL : Jakarta, 7 September 1974
Suami : Antonius Anwar
Anak : Rafael Erasto Numba dan Michael Otto Intona
Pendidikan:
• SD Mardiyuwana Depok
• SMP Negeri 2 Depok
• SMA Regina Pacis Bogor
• Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
• Spesialis Kandungan Universitas Indonesia
Pekerjaan:
• Dokter Kandungan di RS Sint Carolus Jakarta (2007)
• Dokter Kandungan di RS Mitra Depok (2008-sekarang)
• Dokter Kandungan di RS Hermina Depok (2008-sekarang)
• Dokter Kandungan di RS Bakti Yuda Depok (2008-sekarang)
Aprianita Ganadi
Laporan: A. Nendro Saputro