Membangun Kecerdasan Politik

163

HIDUPKATOLIK.com – Di dalam perjalanan wacana sosial, era ini dikenal sebagai era post truth atau pasca-kebenaran. Filsuf A.C. Grayling mengungkapkan pandangannya tentang fenomena post-truth ini. Dia memandang bahwa dunia masa post-truth sebagai hal mengerikan yang tak terbendung. Post-truth mengandaikan, “Pendapatku lebih berharga dari kenyataan-kenyataan yang ada.” Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa setiap orang memiliki media untuk menyampaikan pendapat.

Dengan cara ini semua hal menjadi relatif. Orang-orang membuat cerita-cerita sendiri dan tak ada satu kebenaran yang bisa dipegang. Kamus Oxford menempatkan kata post-truth ini sebagai kata yang paling sering dipakai pada 2016. Hal ini khususnya berhubungan dengan referendum Brexit di Inggris dan pemilihan Presiden Amerika Serikat. Artinya, kata-kata ini sering digunakan terutama dalam kontestasi politik, yang menggambarkan betapa kebenaran sering dipermainkan, demi meraih keuntungan politik tertentu.

Pada 2018, akan ada 171 daerah di Indonesia yang akan mengadakan Pilkada. Setahun berselang, negeri ini akan menghadapi tahap besar dalam kehidupan berbangsa, yaitu pemilihan anggota DPR/DPD dan juga pemilihan Presiden-Wakil Presiden. Berkaca pada pengalaman di Inggris dan Amerika, bukan tidak mungkin hajatan politik Indonesia akan juga diguncang oleh isu-isu post-truth. Artinya, demi meraup suara sebanyak mungkin dan meraih kemenangan, orang mengobok-obok wilayah berpikir masyarakat. Orang dibuat tidak bisa berpikir sehat, agar akhirnya memilih pilihan yang salah. Isu agama, suku, ras, golongan dan juga kepentingan ekonomi, bisa saja menjadi bahan baku untuk terbentuknya opini-opini masyarakat.

Sayangnya, dengan kemajuan sarana komunikasi, orang bisa mengakses berita-berita ini dengan mudah. Tidak ada sensor atas kebenaran suatu berita sehingga setiap orang bisa mengeluarkan pendapat. Benar bahwa ada berbagai cyber army akhir-akhir ini, tetapi dengan membanjirnya arus informasi, tak semua akses informasi bersih dari berita-berita yang menyesatkan; hasil rekaan orang-orang yang berkepentingan.

Minoritas Kreatif
Dalam kontestasi dan pertandingan dikenal istilah kuda hitam, untuk merujuk kepada kelompok lemah dan minor, yang bisa jadi malah menentukan siapa pemenang dari sebuah kontestasi. Meski jumlah orang Katolik di Indonesia tidak besar dibandingkan dengan kelompok yang lain, tapi keberadaan umat Katolik bisa menjadi kuda hitam dalam persaingan politik. Hal ini didukung juga dengan kenyataan bahwa di beberapa tempat jumlah umat Katolik ada pada posisi yang menentukan. Kalau tak hati-hati, wacana bohong dan pencitraan palsu bisa sangat mempengaruhi hasil pemilihan. Hal ini tak hanya masalah siapa yang terpilih, tapi lebih daripada itu, berpengaruh bagi pembangunan bangsa masa yang akan datang. Maka, pertanyaannya, “Bagaimana menangkalnya?”

Berhubungan dengan masalah kebenaran, seorang fenomenolog, Edmund Husserl mengusulkan metode bernama Epoche (Yunani) yang berarti: menunda keputusan atau mengosongkan diri dari keyakinan tertentu. Proses ini berusaha menemukan agar fenomena yang tampil dalam kesadaran tanpa dicampuri pendapat dari pengamat. Dalam konteks Pemilu, amat baik bagi Gereja Katolik untuk membantu umatnya melakukan proses epoche. Pembelajaran politik berbentuk seminar atau seruan yang mencerdaskan harus semakin sering digalakkan. Tujuannya agar umat mendapatkan informasi yang cukup sebelum memutuskan.

Semoga kita semakin cerdas dalam menentukan pilihan. Meski kecil, kita bisa menjadi penentu bangsa ini. Selamat membuat keputusan penting bagi negeri ini. Semoga Anda dan saya mewariskan negeri yang indah kepada generasi berikut. Kecerdasan berpolitik menjadi salah satu jalannya.

M. Joko Lelono

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini