Ibu Orang Miskin dari Kota Mafia

928
Makam Beata Carolina Concetta Angela Santocanale OFS.
[palermotoday.com]

HIDUPKATOLIK.com – Perjumpaan banyak budaya di Palermo membuat banyak orang menjadi mualaf hanya demi pemenuhan perut semata. Banyak karya karitatif digerakkan untuk mencegah situasi ini.

Kota Palermo kini masih terus berjuang. Daerah otonomi Sisilia, Italia ini harus memulihkan diri dari kerusakan akibat mafiosi ‘mafia’. Pertumbuhan perkotaan yang tak terkontrol membuat kota ini kerap disepadankan sebagai kota seribu masalah. Di Palermo para mafia mampu memuluskan segala kepentingan. Pengkhianatan, teror, dan pembunuhan dalam skala besar, kerap terjadi di daerah dengan tujuh ratusan penduduk ini.

Potret suram ini diperparah setelah kehadiran mafia feodal. Dalam konsisi ini, masyarakat juga hidup dalam kemiskinan. Tanah yang tadinya dikuasai rakyat, akhirnya terampas oleh kondisi ini. Demikian juga tanah Gereja, kekayaan lahan yang luas, terampas oleh mafia. Perkembangan yang terjadi tidak mampu diikuti masyarakat. Mereka tak dapat beradaptasi dengan perubahan yang sedang bergulir.

Sementara proses ini berjalan, banyak orang muda mencemplungkan diri ke dalam dunia perbanditan. Upaya penegakan hukum oleh pemerintah Italia sangat lemah. Tanah milik petani miskin dikuasai secara tak adil.

Setelah Perang Dunia II, terciptalah hubungan aneh antara Sisilia, Palermo, dan mafia. Mafia menancapkan pengaruh besar di wilayah ibukota Sisilia ini. Vito Ciancimino dan Salvatore Lima, dua sesepuh Cosa Nostra, berinisiatif menjalankan tugas Departemen Pekerjaan Umum Palermo yang bisa dibilang vakum karena perang. Mereka membangun perumahan untuk rakyat, dengan menggerakkan mafia. Penghuni perumahan itu dipaksa membayar pajak tinggi kepada petinggi Cosa Nostra.

Menjadikan Sama
Kehadiran mafiosi membuat banyak orang menginginkan kejayaan Palermo masa lalu. Penjelajah Arab terkemuka, Ibnu Hawqal, pernah mengunjungi Palermo pada sekitar abad X. Dalam catatannya saat itu, Hawqal menjuluki Palermo sebagai “Kota 300 Masjid”. Pelancong Muslim ini menyaksikan kehebatan Palermo dari semangat toleransinya. Orang dari beragam suku dan etnis, seperti dari Sisilia, Arab, Yahudi, Barbar, Persia, Tartar, Afrika, dan Eropa berbaur harmonis.

Gambaran Palermo pada masa lalu, seakan dinodai dengan mafia yang merajalela. Namun, ada satu sosok anomali. Seorang yang setia berusaha mewujudkan cinta kasih di tengah wabah sosial yang menjangkit Palermo. Ia adalah Sr Carolina Concetta Angela Santocanale OFS. Biarawati dari Ordo Ketiga St Fransiskus (Ordo Franciscanus Saecularis) ini berusaha menghadirkan cinta di tengah kecamuk Palermo.

Perjuangan Sr Angela dirasakan sangat bermanfaat bagi para pendatang di Palermo. Kendati semangat toleransi sangat kental, tetapi riak-riak intoleransi dapat dirasakan pada masyarakat akar rumput. Di Palermo, banyak orang miskin terpaksa menjadi mualaf demi memenuhi kebutuhan perut. Perkawinan campur membuat Gereja berada pada posisi ketar-ketir.

Sr Angela pun terpaksa harus turun ke jalanan Palermo. Ia melayani semua orang miskin tanpa lelah. Persaudaraan yang terjalin dengan orang miskin membuat dirinya dijuluki Madre dei Poveri, ‘ibu orang miskin’. Dengan keranjang roti di tangan, Sr Angela membagikan sedikitnya 50 keranjang roti setiap hari.

Dalam pelayanan itu, ia sambil berkatekese tentang Kristus yang tersalib. Tak lupa sebuah ajakan kepada orang miskin untuk melakoni pertobatan tanpa henti. Jiwa keibuannya terasa ketika dekat dengan anakanak. Ia menceritakan berbagai kisah orang kudus kepada mereka. Tak lupa orang sakit pun dirawatnya. Ia memeluk dan memberi makan orang sakit yang tak punya keluarga. Banyak orang sakit meninggal penuh damai dalam pelukan hangat suster kelahiran Palermo 2 Oktober 1852 ini.

Kadang-kadang bila persediaan makanan berkurang, ia harus mengemis kepada para penderma. Ia tak malu menyebut diri sebagai sahabat orang miskin. Meski beberapa orang yang mengenalnya tak percaya dengan kegiatan sosialnya ini.

Anggapan ini masuk akal, mengingat Sr Angela masih keturunan Baron Celsa Reale Palermo, yang tak lain adalah bangsawan di kota itu. “Bagaimana mungkin kamu harus mengemis demi orang miskin?” celoteh seorang sahabatnya.

Meski banyak cercaan, Sr Angela terus melayani. Atas kiprahnya ini, Uskup Agung Palermo Kardinal Alessandro Lualdi mengaku kagum dan menjadikan Sr Angela sebagai inspirasinya. “Rahmat Tuhan hanya berlimpah bagi mereka yang mengusahakan kebahagiaan bagi orang lain,” begitu tulis Kardinal Alessandro.

Gadis Bangsawan
Sr Angela memang hidup dalam kemewahan. Sejak kecil, ia sudah bergelimang kekayaan. Tapi Angela tak pernah mengharapkan semua itu. Ia tak memiliki keinginan untuk mewarisi status bangsawan dari kakeknya. Ada panggilan lain dalam hatinya untuk melayani orang miskin. Ia sadar, panggilan itu berada di luar tembok kastil megah.

Saat berjalan-jalan di Palermo, ia terkejut melihat beberapa anak sedang bertengkar hanya karena sekerat roti. Dilihatnya, seorang menangis tersedu ketika tak kebagian roti. Ketika ia bergelimang kemewahan, ada realitas lain yang dilihatnya. Di kastil, roti hanya diberikan untuk makanan hewan-hewan peliharaan sang ayah. “Bila besar saya akan memberi roti kepada mereka,” janjinya dalam hati.

Ketika memasuki usia 17 tahun, sang kakek meninggal dunia. Menjelang kepergiannya, sang kakek membisikkan sebuah kalimat kepada Angela. “Menjadi orang hebat itu bukan karena kekayaan, tapi hati yang terbuka kepada penderitaan orang lain. Suatu saat, namamu dicatat bukan karena kekayaan, tapi kedermawananmu,” begitu pesan sang kakek kepadanya.

Pesan itu seakan tumbuh di hati Angela. Pesan ini lalu mengantarnya bergabung dengan Suster-suster OFS di Sisilia. Setelah masuk biara, ia tidak pernah menganggap dirinya sebagai anak bangsawan. Ia bersedia bekerja kasar dan siap ditegur bila berbuat salah. Sewaktu menjadi suster yunior, ia mendapat tugas bekerja di dapur meski belum pernah sekalipun memanggang roti dan membuat makan. Tetapi semua itu ia lakoni dalam kebesaran hati demi melayani Tuhan dan sesama.

Saat berada di jalanan, banyak orang merasa heran akan kehebatan Sr Angela. Ia bisa memberikan makanan apa saja yang diminta oleh orang-orang miskin. Ketika ditanya makanan itu diperoleh dari mana, ia selalu menjawab dari mukjizat Yesus. Ketulusan hatinya ini membuat banyak wanita muda merasa terpanggil untuk membantunya. Pada kemudian hari, wanita-wanita muda ini menjadi anggota pertama dari Ordo Saudara Kapusin Minor atau Suster-suster Kapusin Imakulata dari Lourdes yang didirikannya.

Sr Angela terus melayani hingga tutup usia di Palermo pada 27 Januari 1923. Pater Mauro Venuti, bapak spiritual Sr Angela, suatu saat pernah berkata, “Bila Anda ingin melayani orang lain, berikanlah dari kekuranganmu dan Tuhan akan menyediakan kelebihan bagimu. Jangan pernah merasa puas bila membantu orang lain. Puaslah ketika orang lain tersenyum dan berdoa untuk Anda.”

Proses beatifikasinya mulai dibuka pada 2 April 1982. Ia digelari Hamba Allah oleh Paus Yohanes Paulus II (1920-2005) pada 19 September 1991. Paus yang sama menyetujui keutamaan-keutamaan hidup yang diberikan Sr Angela pada orang miskin, pada 1 Juli 2000 dan mengangkatnya sebagai venerabilis. Ia dibeatifikasi di Katedral St Maria Nuova Monreale, Italia, 12 Juni 2016 oleh Kardinal Angelo Amato SDB, Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus Vatikan. Ia dikenang setiap 27 Januari.

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini