Natal dan Pembebasan Sosial

211

HIDUPKATOLIK.com – Pesan Natal perlu dipahami dari semangat ‘militansi operatif’. Dengan demikian pesan Natal tidak berhenti pada soal solidaritas dan altruisme, karena kalau Natal diartikan sebatas kedua keutamaan ini maka kita mempersempit dan melemahkan gema pesan Natal itu sendiri.

Pesan Natal bisa dimaknai dari segi pembebasan sosial. Itu berarti pesan dan gema Natal harus meng-konteks dalam hidup sosial dan berpijak pada realitas. Dengan demikian pesan Natal terasa lebih kenyal dan punya daya lentur sehingga mampu merambah dalam berbagai sekat hidup manusia. Hal ini penting sehingga Natal tidak serta merta diartikan sebatas kenangan kelahiran Yesus Sang Almasih tetapi lebih dari itu, kelahiran umat manusia baik secara pribadi maupun secara kolektif.

Pembebasan Sosial
Membaca Natal dalam konteks pembebasan sosial, mau tidak mau harus kita sandingkan dengan teologi pembebasan. Itu berarti pikiran kita tertuju pada situasi yang terjadi di Amerika Latin. Teologi pembebasan di Amerika Latin muncul dari adanya kemiskinan yang diakibatkan oleh penindasan ekonomi, politik, dan budaya, lalu memproduksi berbagai kebijakan semu dan represif. Politik pembodohan rakyat, para borjuis dan aristokrat memagari diri dan menjaga kemapanan hidup mereka sehingga tidak tersentuh. Inilah magma yang menyembur dalam teologi pembebasan yang sampai sekarang terus saja menggema.

Lain ceritanya dengan teologi pembebasan di asia. Teologi Asia dengan mengambil paradigma dari teologi pembebasan Amerika Latin penekanannya pada religiositas dan pluralitas keagamaan serta dampaknya terhadap perjuangan demi pembebasan. Sebut saja teologi Minjung di Korea, Teologi pembebasan di Philipina dan Teologi Dalit di India. Inti dari baik teologi pembebasan di Amerika Latin maupun di Asia pada prinsipnya sama yakni memperjuangkan keadilan dalam berbagai bidang kehidupan dan mengangkat kembali harkat dan martabat manusia, yang selalu diinjak-injak oleh para penguasa.

Pembebasan di Indonesia
Bagaimana kita mengkontekskan Natal tahun ini dengan situasi kita di Indonesia sekarang ini. Dalam Sidang Tahunan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) 1-11 November 2004, dihasilkan sebuah nota pastoral yang berjudul “Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa”. Dalam nota ini semakin disadari bahwa hidup kita sekarang ini telah menjadi begitu lemah, karena tidak ditata lagi berdasarkan iman dan ajaran agama. Hidup tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai budaya dan cita-cita mulia kehidupan berbangsa. Perilaku lebih dikendalikan oleh perkara-perkara yang menarik indera dan menguntungkan sejauh perhitungan materi, uang, dan kedudukan di tengah masyarakat. Muncul egoisme, konsumerisme dan meterialisme. Untuk memperoleh jabatan, orang rela mengorbankan sesamanya.

Kegelisahan para uskup ini sebenarnya juga menjadi kegelishan kita semua masyarakat Indonesia. Persoalannya bagaimana kita bisa melawan dan mengubah berbagai tindakan diskriminatif yang sudah terstruktur dalam berbagai lembaga kehidupan? Tentu peran agama dalam hal ini sangat diharapkan. Agama yang menjadi penjaga gawang moral diharapkan mampu memberangus berbagai tindakan imoral yang muncul dari umatnya. Hal ini penting mengingat hukum sipil kita sudah terlalu rapuh. Logikanya jelas bahwa kegagalan seseorang menjadi kegagalan institusi agama itu sendiri. Logika ini dapat dibenarkan karena antara agama dan pemeluknya berada dalam satu entitas. Konsekuensi dan harapan di balik logika tertutup ini adalah bahwa masing-masing institusi agama menjaga kawanannya masing-masing sehinga tidak terjebak dalam berbagai tindakan maksiat.

Kalau tidak demikian Natal hanyalah sebuah rutinas yang tanpa makna. Merayakan Natal dalam semangat “militansi operatif” merangsang daya animasi kita untuk tidak hanya mengubah diri tetapi juga mengubah berbagai situasi hidup di sekitar kita yang terus saja mendera bangsa.

Dony Kleden

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini