Paus Korban Tipu Daya Pelagianisme

1059
St Zosimus
[rankly.com]

HIDUPKATOLIK.com – Masa kepausannya amat pendek, ditandai dengan ketegangan internal antara Takhta Suci dengan para Uskup di Gallia dan Afrika. Namun, ia berhasil mempertahankan orthodoksi Gereja, meski sempat ditipu bidaah Pelagianisme.

Kota Abadi bersuka cita. Pada 18 Maret 417, Gereja mendapat Paus baru. Upacara inagurasi digelar secara meriah. Zosimus naik takhta sebagai Penerus St Petrus. Ia merupakan Paus berdarah Yunani. Ayahnya bernama Abram.

Namun, ada juga yang mengatakan bahwa berdasarkan nama keluarganya, Paus Zosimus mungkin berdarah Yahudi. Konon, ia sempat menjadi Uskup Siracusa, Sisilia, Italia. Ia naik takhta menggantikan Paus Innosensius I yang wafat pada 12 Maret 417.

Informasi tentang Paus Zosimus sangat terbatas, apalagi kehidupannya sebelum menjadi Paus. Kapan ia lahir tidak diketahui. Pun sepak terjangnya sebelum duduk di Takhta St Petrus juga gelap gulita. Masa kepausannya yang hanya sebentar (417-418), ditandai dengan ketegangan dalam Gereja, antara Takhta Suci dengan para uskup di Gallia dan Afrika bagian utara. Wilayah Gallia saat ini meliputi Perancis, Luxemburg, Belgia, sebagian Swiss, Italia utara, Belanda, dan Jerman.

Persoalan Gallia
Upacara inagurasinya sebagai Paus dihadiri Uskup Arles (kini Keuskupan Agung Aix-Arles), Mgr Patroclus. Mgr Patroclus dianugerahi takhta yang sebelumnya diampu oleh Mgr Hero. Pendahulunya dilengserkan secara tidak adil oleh panglima Romawi, Jenderal Konstantinus.

Kehadiran Mgr Patroclus berhasil memikat hati Paus Zosimus. Tak heran jika Bapa Suci menganugerahinya hak-hak istimewa sebagai Vikaris Uskup Roma dengan previlese Uskup Metropolitan bagi para uskup di Gallia, terutama Provinsi Vienne (kini Keuskupan Grenoble-Vienne) dan Narbonne (kini Keuskupan Carcassonne et Narbonne) di Prancis. Selain itu, berdasarkan surat Paus tertanggal 22 Maret 417, Mgr Patroclus juga menjadi penghubung Takhta Suci dengan wilayah Gallia. Tak ada uskup di Gallia yang dapat secara bebas menghadap Paus di Roma, tanpa izin Mgr Patroclus.

Awalnya, Tahun 400, Arles (di Prancis) secara resmi menjadi kota pengganti Trier (di Jerman) sebagai residensi tetap pimpinan sipil. Relasi pimpinan sipil dan Uskup Arles pun relatif dekat. Pada masa Mgr Patroclus, Jenderal Konstantinus menjadi pimpinan sipil yang mendukung posisi Mgr Patroclus di Arles. Oleh karena itu, Mgr Patroclus berusaha mengambil hati Paus Zosimus sehingga berhasil dianugerahi hak istimewa di seluruh Gallia sesuai impiannya.

Peningkatan status Takhta Arles menjadi pemicu ketegangan di kalangan para uskup Gallia. Uskup Vienne, Narbonne, dan Marseilles (kini Keuskupan Agung Marseilles) menilai peningkatan status Takhta Arles sebagai pengurangan sekaligus ancaman bagi hak-hak mereka. Maka, mereka pun melayangkan keberatan kepada Paus Zosimus. Beberapa kali, Paus Zosimus mengirim surat untuk menegaskan keputusan yang telah ia ambil. Ketegangan ini terus berlangsung menjadi pertikaian, yang baru selesai pada masa Paus Leo I (†461).

Kasus Pelagianisme
Selama bertakhta, Paus Zosimus pernah didatangi tokoh Pelagianisme, Coelestius. Pelagianisme adalah bidaah yang percaya bahwa dosa asal tidak ada sehingga Sakramen Baptis tidak terkait dengan kualitas pengampuan dosa. Hakikat manusia sebagai ciptaan Allah tidak rusak oleh dosa asal. Ajaran ini diprakarsai oleh Pelagius (360-418), seorang rahib asal Inggris. Ia mengajarkan bahwa manusia dapat memegang kendali penuh atas dirinya sehingga tidak butuh pertolongan rahmat Allah untuk melakukan kebaikan. Paham ini bertentangan dengan ajaran Gereja karena mengurangi peran rahmat Ilahi dalam proses keselamatan umat manusia. Dalam sejarah, ajaran Pelagius ini dinilai sebagai bidaah dalam Konsili Kartago (418).

Coelestius yang sudah dihukum oleh Paus Innocentius I (†417) berusaha menghadap ke Roma untuk meminta perlindungan Paus Zosimus. Pasalnya, Coelestius sudah diusir dari Konstantinopel. Ia juga sudah dikutuk oleh Sinode Kartago (411). Coelestius datang menghadap Paus Zosimus ketika Bapa Suci sedang mengadakan pertemuan dengan seluruh klerus Keuskupan Roma di Basilika St Clemens. Di hadapan sinode, Coelestius secara publik menyatakan tunduk pada ajaran yang disampaikan Paus Innocentius I dan mengungkapkan iman sesuai ajaran Gereja Roma. Menyaksikan hal ini, Paus Zosimus tergerak oleh perilaku santun Coelestius. Bahkan, Paus merasa bahwa Coelestius belum dapat dikatakan sesat.

Tak lama sesudah aksi Coelestius ini, Bapa Suci menerima surat dari Pelagius yang berisi ungkapan iman dan sebuah risalah baru mengenai kehendak bebas dari para heretik. Maka, reaksi pengutukan dan pengusiran pada Coelestius oleh para uskup Afrika dinilai terlalu terburu-buru dan prematur. Paus pun menulis surat kepada para uskup di Afrika. Ia meminta agar para uskup Afrika menunjukkan kesesatan Coelestius untuk dipresentasikan kepada Paus di Roma.

Ketegangan di Afrika
Menanggapi surat Paus Zosimus yang cenderung membela Pelagius, Uskup Agung Kartago, Mgr Aurelius langsung menggelar sinode para uskup Afrika. Mereka merumuskan kesesatan dan penyimpangan ajaran Pelagius. Hasil sinode–tertanggal 1 Mei 418–ini segera dikirim ke Roma. Bapa Suci terhenyak menerima balasan dari para uskup Afrika. Paus Zosimus telah ditipu Pelagius.

Paus segera menjawab surat para uskup Afrika dan berjanji bahwa dirinya tak akan tergesa-gesa mengambil langkah dalam kasus Pelagius, tanpa minta pertimbangan para uskup Afrika. Bapa Suci lalu menerbitkan Epistola Tractoria, yang mengutuk Coelestius, Pelagius dan pengikutnya, serta semua dokumen yang berbau Pelagianisme. Kaisar Honorius juga membantu perlawanan dan pengusiran terhadap para pengikut Pelagianisme di Roma.

Peluang ancaman penghasutan Takhta Suci ini disebabkan oleh mekanisme “naik banding” yang selama ini berlangsung. Setelah kasus Coelestius, seorang imam Keuskupan Sicca Veneria (kini menjadi gelar Uskup Tituler), Apiarius menghadap Paus untuk naik banding. Apiarius telah diekskomunikasi oleh uskupnya, Mgr Urbanus karena dinilai membangkang dan ajarannya dianggap sesat. Alih-alih mengindahkan pertimbangan kolegialitas para uskup Afrika, Apiarius justru langsung menghadap Paus. Bapa Suci mengirim delegatus ke Afrika untuk melakukan penyelidikan. Sebelum kasus ini selesai, Paus Zosimus keburu wafat. Ia wafat pada 27 Desember 418.

Setelah wafatnya, Paus Zosimus dihormati sebagai orang kudus. Selama menjadi Paus, ada beberapa dekrit yang ia promulgasikan, seperti pakaian seorang diakon, pemasangan Lilin Paskah di gereja-gereja paroki, dan larangan bagi kaum klerus untuk pergi ke kedai minuman. Jazadnya dimakamkan di Basilika St Laurensius di Agro Verano, Roma. Gereja mengenangnya setiap tanggal 26 Desember.

R.B.E. Agung Nugroho

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini