HIDUPKATOLIK.com – Yerusalem memiliki arti penting bagi orang Yahudi, Kristen, dan Islam. Yerusalem bukan hanya sebuah kota, tapi juga ide, hati, dan jiwa bagi mereka.
Elie Wiesel, seorang Yahudi yang selamat dari kamp konsentrasi NAZI, sempat berujar demikian tentang Yerusalem, “Kamu gemetar. Begitu juga saya. Dan, bukankah ini karena Yerusalem? Sungguh sebuah misteri.” Namun, bukan hanya Elie Wiesel dan orang-orang Yahudi yang merasa “gemetar” karena Yerusalem. Orang-orang Kristen dan umat Islam yang datang ke kota ini pun merasakan emosi yang sukar diungkapkan.
Bagi orang-orang Yahudi, Yerusalem mempunyai tempat istimewa. Sejak abad X SM, Yerusalem menjadi pusat spiritual mereka. Dalam tradisi Yahudi, tempat yang kini dikenal sebagai Bukit Bait Suci adalah Gunung Moria, tempat Abraham hampir mengorbankan anaknya, Ishak. Bahkan mereka meyakini, dari tanah di tempat inilah Adam diciptakan.
Di atas tempat yang sama, Bait Allah Pertama dibangun oleh Raja Salomo dan selesai pada 950 SM. Bait Allah ini lantas menjadi pusat pesta peziarahan orang Yahudi tiga kali dalam setahun, yakni Paskah (mengenangkan keluaran dari Mesir), Pentakosta atau Hari Raya Tujuh Minggu (perayaan syukur atas gandum pertama sekaligus syukur atas kedua loh hukum yang diterima Musa di Sinai), dan Hari Raya Pondok Daun (memperingati masa 40 tahun tinggal di tenda-tenda di padang gurun).
Bait Allah
Ketika orang-orang Babilonia merebut Yerusalem pada 580 SM, mereka menghancurkan Bait Allah dan mengirim orang-orang Yahudi ke pengasingan. Sekembalinya dari Babilonia, orang-orang Yahudi membangun kembali Bait Allah, pada masa Herodes Agung direnovasi dan diperbesar kompleksnya. Namun, sebagai respon atas pemberontakan mereka, Bait Allah Kedua ini dihancurkan oleh tentara Romawi pada 70 M dan sekali lagi mereka diusir dari Yerusalem serta dilarang untuk kembali.
Tanpa Bait Allah dan dalam pembuangan, dari generasi ke generasi, orang-orang Yahudi selalu meneruskan kepada anak-anak mereka kisah tentang para leluhur mereka dalam Kitab Suci, terutama tentang Daud, perjuangannya merebut Yerusalem, dan keinginannya membangun Bait Allah sebagaimana dikisahkan Kitab Samuel dan Mazmur.
Dalam doa yang didaraskan tiga kali sehari, Yerusalem pun disebut, “Dan ke Yerusalem, kota-Mu, semoga Engkau kembali dengan belas kasihan, dan semoga Engkau tinggal di dalamnya, seperti yang telah Engkau sabdakan. Semoga Engkau membangunnya kembali di masa sekarang sebagai kota yang kekal, dan semoga Engkau segera membangun takhta Raja Daud di dalamnya….”
Dengan wajah menghadap ke Yerusalem, mereka mendaraskan doa-doa tersebut. Setiap tahun, ketika merayakan Paskah, mereka akan mengakhirinya dengan berkata, “Tahun depan di Yerusalem.” Saat menghibur seorang yang berkabung, orang-orang Yahudi berkata, “Semoga Allah menghibur engkau di antara semua yang berduka karena Sion dan Yerusalem.” Bahkan dalam pesta pernikahan, sedikit abu akan diletakkan di dahi mempelai pria sebelum dia pergi menjumpai mempelai wanita, dan seusai perayaan, sang mempelai pria akan memecahkan gelas dengan tumit sepatunya sebagai tanda peringatan bahwa sukacita dan kebahagiaan pernikahan tidak boleh membuatnya melupakan kedukaan akan hancurnya Yerusalem.
Dengan begitu, Yerusalem selalu menjadi bagian dari memori kolektif orang-orang Yahudi. “Jika aku melupakan engkau Yerusalem, biarlah menjadi kering tangan kananku” (Mzm 137:5).
Memiliki Ikatan
Setali tiga uang dengan orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen pun memiliki ikatan dengan Yerusalem. Selain karena kaitannya dengan kisah-kisah Perjanjian Lama, Yerusalem pun memainkan peranan penting dalam kehidupan Yesus. Yerusalem adalah tempat di mana Yesus dibawa sebagai seorang anak untuk “dipersembahkan” di Bait Suci (Luk 2:22).
Kisah perihal “pembersihan” Yesus di Bait Allah, yang mengusir berbagai pedagang dari daerah suci (Mrk 11:15) terjadi di kota ini. Terlebih lagi kisah tentang perjamuan terakhir Yesus di “ruang atas”, penangkapan-Nya di Getsemani, persidangan-Nya di hadapan mahkamah agama dan di hadapan Pilatus, penyaliban-Nya di Golgota, hingga pemakaman, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga, semua terjadi di Yerusalem. Karena itu, selama berabad-abad pula, para pengikut Yesus Kristus ini tidak pernah melupakan Yerusalem dan selalu berusaha untuk mengunjungi, memelihara, dan merawat tempat-tempat di mana jejak-Nya mereka temui.
Dalam tradisi Islam, Yerusalem pun memiliki tempat istimewa. Hubungan erat kota ini dengan Abraham, Daud, Salomo, dan Yesus membuat kota ini pun penting dan suci bagi umat Islam yang menganggap tokoh-tokoh itu sebagai Nabi Islam dan cerita mereka disebutkan dalam Al Qur’an.
Selain itu, tradisi Islam menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengunjungi Yerusalem dalam perjalanan nokturnal (Isra dan Mi’raj). Pada suatu malam pada tahun 620/621, dengan ditemani Malaikat Jibril, Muhammad dibawa oleh kuda bersayap Buraq ke Yerusalem, di mana dia berdoa, dan dibawa mengunjungi surga.
Saat itulah perintah untuk sholat lima kali sehari diturunkan kepada Muhammad. Nama Yerusalem memang tidak disebutkan secara langsung di dalam Al Qur’an, juga tidak disebutkan terjemahan bahasa Arabnya (Al Quds). Namun, Al Qur’an (17:1) menyebut istilah Al-Masjidil-Aqsa (Masjid Terjauh) yang mengacu pada Tempat Suci di Yerusalem, di mana masjid berdiri.
Sejak itu, Yerusalem berperan sebagai kiblat pertama (sholat) untuk umat Islam. Baru pada tahun 625, ketika Muhammad kurang lebih 17 bulan di Madinah, kiblat tersebut diubah menjadi Ka’bah di Mekkah. Karena itulah, Yerusalem dianggap sebagai situs suci dalam tradisi Islam, bersama dengan Mekah dan Madinah.
Mereka Pulang
Bertolak dari uraian-uraian tersebut, tidaklah mengherankan jika selama berabad-abad, baik orang-orang Yahudi, Kristen, maupun Islam telah meletakkan pada kota Yerusalem semua harapan dan mimpi, air mata, dan juga kerinduan mereka. Yerusalem lantas tidak hanya berarti sebagai sebuah kota, tetapi juga sebagai sebuah ide.
Yerusalem menjadi hati dan jiwa baik bagi orang Yahudi, Kristen, maupun Islam. Karena itu, banyak orang yang mengunjungi kota ini, sekalipun untuk pertama kalinya, akan mengalami bahwa mereka bukan datang ke Yerusalem tapi pulang ke Yerusalem. Ke Yerusalem, kamu tidak berseru, “I am coming” tapi “I am back”.
Pater Albertus Gesu OFM, Mahasiswa di Studium Biblicum Fransiscanum, Yerusalem