HIDUPKATOLIK.com – MENGAPA dikatakan bahwa Yesus belajar taat? Bukankah Dia itu sudah menaati Allah Bapa-Nya sejak detik penjelmaan-Nya menjadi manusia?
Rafaella Dewi Nirmala, Malang
Pertama, apa yang Anda rujuk “Yesus belajar taat” adalah kutipan yang berasal dari surat kepada orang Ibrani. Teks selengkapnya berbunyi, “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya.” (Ibr 5:8).
Surat kepada orang Ibrani ini merujuk kepada fakta, bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh manusia. Ketika Sang Sabda berinkarnasi menjadi manusia, “walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Flp 2:6-7) Dia sungguh-sungguh menjadi manusia, sama seperti kita dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa (Ibr 2:14; 4:15). Karena itu, sebagai manusia Yesus juga harus belajar dalam hal mentaati kehendak Bapa, lebih-lebih dalam penderitaan-Nya. Yesus memang selalu mentaati kehendak Bapa, karena memang makanannya ialah melakukan kehendak Bapa (bdk Yoh 4:34).
Tetapi ketaatan itu tidak datang tidak dilakukan-Nya dengan mudah, tetapi Yesus harus juga mengarahkan diri-Nya kepada kehendak Bapa-Nya. Dalam arti inilah, Yesus juga belajar seperti manusia pada umumnya karena Yesus adalah sungguh manusia.
Kedua, sebenarnya penginjil Lukas sudah menunjukkan adanya pertumbuhan dalam diri kanak-kanak Yesus. Untuk menunjukkan bahwa Yesus adalah sungguh manusia yang mengalami pertumbuhan, Lukas menulis: Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan kasih karunia Allah ada pada-Nya.” (Luk 2:40). Jadi, Yesus tidak serta merta pada saat kelahiran-Nya sudah secara langsung penuh hikmat dan kasih karunia Allah. Kata “bertambah besar” dan “menjadi kuat” menunjukkan bahwa Yesus mengalami proses perkembangan seperti halnya kita manusia pada umumnya. Adanya proses perkembangan juga ditegaskan lagi oleh Lukas sesudah peristiwa di Bait Allah, yaitu: “Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” (Luk 2:52).
Dengan demikian, wajarlah jika Yesus sebagai manusia juga harus belajar untuk menjadi taat, terutama dalam penderitaan-Nya. Ketaatan-Nya terbukti semprurna sampai akhir di salib.
Ketiga, perlu disadari adanya kecenderungan di antara umat untuk melihat Yesus melulu sebagai Allah dan melupakan fakta, bahwa Yesus juga sungguh adalah manusia. Perayaan Natal Kelahiran Yesus mengingatkan kita terus-menerus bahwa Yesus juga adalah sungguh-sungguh manusia. Surat kepada orang Ibrani menyatakan bahwa Yesus adalah sungguh manusia dalam segala hal sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa. Ini juga berarti bahwa kemanusiaan Yesus bukanlah hanya sekedar penampilan luar atau topeng, melainkan Yesus sungguh menjadi manusia. Pernyataan Kitab Suci bahwa Yesus bertumbuh, belajar, menderita, menangis, berjuang keras dan mengalami ketakutan, kelelahan, tertidur, dan lain-lain, sungguh sangat meneguhkan kemanusiaan Yesus.
Keempat, penyangkalan akan kemanusiaan Yesus merupakan sebuah kesalahan fatal sebab jika Yesus bukan sungguh manusia, maka penebusan kita belumlah terlaksana. Jika Yesus hanyalah Allah, maka Yesus adalah tanda kebaikan hati Allah kepada manusia, tetapi belum mewakili manusia dalam membayar hutang dosa manusia kepada Allah. Sebagai manusia, Yesus merangkum seluruh dosa umat manusia dan membayar ketidaktaatan Adam dengan ketaatan-Nya sampai mati, mati di salib.” Kemanusiaan Yesus yang sungguh juga membuat kita bisa melihat dalam diri Yesus seorang teladan yang memberikan diri-Nya secara penuh kepada Allah. Yesus adalah saudara sulung kita, dan akan menarik kita adik-adik-Nya agar dapat juga tidak di hadirat Allah.
Petrus Maria Handoko CM