Bupati Penjaga Hutan

398
Petrus Falolon di area HPH Tanimbar.
[Dok.Pemkab MTB]

Sejak terpilih sebagai Bupati MTB, ia berjanji untuk mengembangkan hutan yang sehat bagi masyarakat. Eksploitasi hutan menjadi fokus kepemimpinannya.

Di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Maluku, hutan berperan penting sebagai sumber penghidupan masyarakat. Dalam dua dekade terakhir, kontribusi industri perkayuan di Tanimbar terhadap pendapatan nasional sangat besar. Hal ini dikarenakan MTB memiliki kawasan hutan produksi seluas 81.722,04 hektar dan hutan produksi terbatas seluas 191.000 hektar. Selain itu masih ada lagi kawasan hutan lindung seluas 164.123,66 hektar yang terdiri dari hutan suaka alam dan hutan lindung.

Dari data ini jelas bahwa masyarakat Tanimbar sangat tergantung pada hasil hutan. Pertanian tanaman pangan yang cukup potensial memiliki pasar yang dapat dijadikan komoditi unggulan, seperti beras merah, jagung, ketela, kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar, serta sayuran holtikultura. Tanimbar juga memiliki komoditi unggulan lokal berupa jeruk kisar, pisang, jagung, kacang tanah, dan bawang merah. Dalam bidang perkebunan ada potensi untuk menanam cengkeh, cokelat, jambut mete, kapuk, kelapa, pala, dan rempah-rempah lainnya.

Hampir 20 tahun terakhir, pengelolaan hutan Tanimbar sangat sentralistik. Hutan dikelola oleh perusahaan-perusahaan besar dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Meski HPH dituntut untuk memberikan kontribusi terhadap perkembangan perekonomian masyarakat lokal, namun seringkali terjadi masyarakat hanya memperoleh sedikit manfaat dari konsesi besar ini.

Pada kenyataannya, pengelolaan hutan dengan sistem HPH secara sistematis telah memarjinalisasikan masyarakat lokal. Sistem tersebut menciptakan kemiskinan horizontal yang tidak lestari dari sisi ekologi. Lebih buruk lagi, HPH Tanimbar sering meninggalkan permasalahan yang harus dipikul oleh masyarakat setempat. Sungai yang tercemar menjadi warisan salah satunya. Masyarakat juga terancam bencana banjir, erosi, dan tanah longsor.

Sikap Tegas
Situasi ini menjadi salah satu fokus perhatian Petrus Fatlolon. Pit, demikian Bupati MTB ini disapa. Pria kelahiran 16 Agustus 1967 ini yakin bahwa HPH terjadi karena keserakahan beberapa orang. Pit sependapat dengan Mahatma Gandhi bahwa bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua. Namun, tak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir manusia serakah.

Mulai menjabat Mei lalu, Pit langsung “tancap gas”. Ia menutup sementara HPH yang beroperasi di hutan-hutan di Tanimbar. Bersama Wakil Bupati, Agustinus Utuwaly, ia mengeluarkan surat pemberhentian lokasi HPH kepada Direktur Utama PT Karya Jaya Berdikari, John Keliduan.

Keputusannya ini berdasarkan peraturan daerah dan dukungan dari berbagai pihak. Pada Oktober lalu, Pit bersama Dinas Kehutanan MTB bertemu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Dalam pertemuan itu, masing-masing pihak sepakat atas keputusan pemberhentian Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu (IUPHK) di Pulau Tanimbar. Dukungan lain juga datang dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD); Gubernur Maluku, Said Assagaff serta Ikatan Cendekiawan Tanimbar Indonesia.

Pit menjelaskan, Pemkab telah mengantongi sejumlah bukti kuat adanya kerusakan lingkungan. Bukti itu misalnya kekeringan air bersih yang dialami warga Desa Arma dan desa-desa lain di Kecamatan Nirunmas, MTB. “Sejumlah satwa juga nyaris punah akibat tidak ada tempat berlindung karena penebangan Pohon Torem. Pohon endemik ini hanya tumbuh di Tanimbar dan Brasil,” ujar mantan Ketua DPRD Kota Sorong ini.

Kepala daerah, lanjut Pit, memiliki kewenangan untuk membatalkan izin HPH bila terbukti bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. Peraturan untuk ini diatur oleh Inpres No. 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Pohon. “Jadi sangat tidak rasional jika hutan Tanimbar dibiarkan terus dibabat. Saya tidak takut! Saya pastikan tetap tutup. Siapapun di balik itu, ayo kita adu kepentingan. Kepentingan yang saya perjuangkan adalah menjaga kelestarian lingkungan hidup di Pulau Tanimbar dan tidak ada kepentingan lain,” tegas Pit.

Lawan Arus
HPH sendiri mendapat rekomendasi untuk beroperasi di Tanimbar tahun 2007. Namun, kegiatan ini sudah terjadi jauh sebelum rekomendasi tersebut. Di Tanimbar, ada penerapan sistem sentralistik di berbagai sektor, termasuk sektor kehutanan. Hal ini dijalankan berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan. Tetapi hal ini bergeser ketika muncul UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang membuka kesempatan bagi invenstor dari luar negeri. Akibatnya pengelolaan hutan di Indonesia dikenal dengan sebutan “tebang pilih Indonesia”.

Perusahaan-perusahaan yang mendapatkan hak pengusahaan hutan dalam bentuk HPH, menerapkan sistem operasional pemanenan hutan. Akibatnya, iuran hasil hutan sebelum sampai pemerintah pusat “disunat” terlebih dahulu di daerah. Walaupun dasar hukum penyelenggaraan otonomi daerah sudah ada sejak tahun 1999, namun pelaksanaan baru efektif tahun 2001. Dibutuhkan waktu untuk menyiapkan ketentuan-ketentuan pelaksanaan secara benar, termasuk pengaturan iuran kepada daerah. “Dalam periode ini pemangku kepentingan mempunyai penafsiran yang berbeda-beda tentang bagaimana seharusnya mengelola iuran dari perusahaan terkait. Termasuk untuk keuntungan pribadi.”

Penasihat Forum MTB Kota Sorong ini setuju bahwa pengelolaan sumberdaya hutan harusnya memberikan manfaat langsung kepada masyarakat di sekitar hutan. Cara pemungutan hasil hutan kayu harus sesuai dengan kemampuan masyarakat setempat. Misal, HPH relatif kecil maka penggunaan alat-alat berat tidak diizinkan. Bila ada kegiatan operasional HPH, sudah tiba saatnya “orang daerah” harus menikmati hasil hutannya sendiri. Karena selama ini HPH besar-besaran di Tanimbar tetapi yang menikmati para pengusaha dari luar. “Hal ini menandakan, bahwa pada awal survei potensi dan identifikasi areal tidak dilakukan secara benar. Ada bukti di atas kertas sehingga HPH di lapangan tumpang tindih. Hutan lindung dan hutan lereng gunung yang seharusnya tidak di babat pun ikut hancur,” pungkasnya.

Selama mengemban tugas sebagai kepala daerah, Pit berjanji menghidupkan Kelompok Usaha Tani (KUT) di setiap desa. KUT bisa menjadi mitra kerja pemerintah dan perusahaan lainnya. Diharapkan KUT dapat mendorong munculnya perekonomian yang handal untuk masyarakat lokal.

Di era otonomi daerah ini juga, Pit berharap bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan semakin meningkat. Keterlibatan masyarakat yang lebih besar diharapkan dapat merasakan manfaat secara langsung dari pengelolaan hutan. “Kedepannya proses pembuata Surat Keputusan Bupati tidak terkesan hanya melibatkan kalangan terbatas, dan kurang memperhatikan kaidah-kaidah pengelolaan sumber daya hutan. Kebijakan tersebut akan dituangkan dalam bentuk peraturan Daerah dan disetujui DPRD,” janji Pit.

Petrus Fatlolon
TTL: Ambon, 16 Agustus 1967
Istri : Joice Fatlolon

Pendidikan :
• SDN II Bula, Seram, Maluku
• SMP Katolik Ambon
• SMA Xaverius Ambon
• S1 Universitas Al-Amin, Sorong
• S2 Universitas Narotama, Surabaya

Pekerjaan:
• Kontraktor MIGAS
• Senior Representatice Canadian Petrolium
• Direktur PT Wai Illa Sarana Utama
• Penanggungjawab Project International Seismic Survey MIGAS Brunei Darusalam.
• Dosen Universitas Muhamadiyah dan Victoria Sorong
• DPRD Kota Sorong Penghargaan
• Silver Awards dari International Human Resources Development Program, 2010.
• The Best Asean Executive dari Human Resources Development Program 2011
• Sosok pemimpin perusahaan terbaik dari Achievement & Best Performing 2014
• Indonesian Achievement & Best Performing Award dalam bidang kontruksi, 2014.

Yusti H. Wuarmanuk

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini