HIDUPKATOLIK.com – Karya kesehatan yang digarap Gereja, terutama di pelosok daerah sedang gawat darurat. Diperlukan kerjasama dan uluran kasih dari berbagai pihak agar karya ini bisa hidup kembali.
Data dari Persatuan Karya Dharma Kesehatan Indonesia (PERDHAKI) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir tercatat ada sekitar 40 klinik Katolik yang tutup. Sementara, ada 100 lembaga kesehatan dalam kondisi megap-megap. Bagi Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Profesor Laksono Trisnantoro, situasi bisa disebut anomali. Karena karya pelayanan kesehatan secara tradisional seharusnya sangat erat dengan nilai dan iman kekatolikan. “Sejarah pelayanan kesehatan di Indonesia juga dimulai dari rumah sakit Katolik, walaupun memang lebih lambat dibanding karya kesehatan dari Gereja Kristen,” ujar Profesor Trisnantoro.
Penyebab “krisis” yang dialami karya pelayanan kesehatan Katolik, menurut peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran UGM ini, bisa diurai dalam empat hal. Pertama, karya pelayanan kesehatan Gereja Katolik tak lagi menggunakan prinsip-prinsip filantropisme dalam menjalankan kegiatan. “Tidak ada gerakan yang sistematis untuk mengumpulkan dan berbagi pelayanan kesehatan, terutama yang ada di pelosok Nusantara. Sementara, lembaga pelayanan kesehatan pemerintah banyak didanai berbagai subsidi, dan empat tahun terakhir didukung oleh BPJS,” bebernya.
Kedua, karya pelayanan kesehatan Katolik belum bisa mengikuti pola BPJS yang harus melengkapi fasilitas dan sumber daya manusianya. Karena kekurangan sumbangan filantropisme, pelayanan kesehatan Katolik gagal bermitra dengan BPJS.
Ketiga, karya pelayanan kesehatan Katolik kurang memanfaatkan berbagai perguruan tinggi kedokteran dan tenaga kesehatan Katolik sebagai mitra untuk kerjasama. Ada beberapa universitas Katolik yang memiliki Fakultas Kedokteran, yang sangat potensial untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja untuk karya pelayanan kesehatan Katolik. Dan keempat, jaringan karya pelayanan kesehatan Katolik belum diperkuat dengan sistem manajemen yang baik berdasarkan semangat keagamaan dan menggunakan teknologi modern.
Sister Hospital
Keluar dari krisis ini memang tak mudah. Tapi Profesor Trisnantoro melihat, masih banyak solusi yang bisa digarap oleh lembaga karya pelayanan kesehatan Katolik. Misal dengan menggalang filantropisme umat Katolik untuk memberikan sumbangan bagi karya pelayanan kesehatan, terutama di daerah yang terpencil. “Sumbangan ini dapat berasal dari keluarga kaya yang memberikan dana besar namun jumlah penyumbangnya kecil. Atau penyumbangnya adalah umat yang tidak kaya yang menyumbang sedikit namun berkali-kali dan jumlahnya banyak,” tulis Profesor Trisnantoro melalui surat elektronik.
Hal lain yang bisa digarap adalah melakukan kampanye pengembangan dana secara sistematis dengan didukung sistem pengelolaan dana yang transparan, mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak termasuk BPJS dan perguruan tinggi, bekerja sama dengan pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada umat terutama yang miskin, menggunakan sistem manajemen modern dan teknologi telematika untuk mengelola jaringan pelayanan kesehatan, serta meningkatkan kerjasama di antara lembaga karya kesehatan Katolik.
Selain itu, untuk menghidupkan kembali karya kesehatan di pelosok daerah bisa digalakkan gerakan “Sister Hospital”. Rumah sakit Katolik yang kuat secara finansial dan sumber daya manusianya membantu rumah sakit yang masih kecil di daerah terpencil. “Rumah sakit yang besar dengan dukungan dana kemanusiaan bisa menjadi big-sister bagi rumah sakit kecil di tempat-tempat yang jauh,” ujar Profesor Trisnantoro. Pun kemajuan teknologi dan fasilitas yang dimiliki rumah sakit besar dapat dimanfaatkan oleh rumah sakit kecil. Teknik Sister Hospital saat ini sudah dikuasai dan dilakukan RS Panti Rapih Yogyakarta. “Pola ini juga dikerjakan RS Katolik di Melbourne. Bahkan mereka membuka pelayanan di tempat yang terpencil,” imbuh Profesor Trisnantoro.
Panti Rapih
Sejak 2010, RS Panti Rapih Yogyakarta telah membantu karya kesehatan di daerah-daerah terpencil. “Panti Rapih tidak saja merujuk pasien, tapi juga merujuk keilmuan,” ujar Direktur Utama RS Panti Rapih, Dokter Tadeus Teddy Janong saat ditemui Kamis, 30/11. Tatkala angka kematian ibu dan bayi sangat tinggi di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2010/2011, maka Rumah sakit yang dikelola Suster-suster Cinta Kasih St Carolus Boromeus(CB) turut membantu pelaksanaan Program Revolusi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi di Flores. “Kami saat itu datang bersama tim dokter. Ada dokter anak, bidan, anestesi, dan bidang rawat laboratorium,” tutur Dokter Teddy yang pernah berkarya di RSUD Maumere selama lebih sepuluh tahun.
Tim kesehatan RS Panti Rapih itu bertugas membantu petugas kesehatan di Ende dalam menangani kasus kesehatan ibu dan anak. “Kami membantu Puskesmas merujuk pasien gawat darurat. Tak mudah membina rumah sakit dan Puskesmas di sana,” katanya. Sejak 2010 hingga 2015, tenaga medis dari RS Panti Rapih bergiliran setiap dua minggu sekali melayani kesehatan masyarakat di sana.
Tim medis RS Panti Rapih juga membantu RSUD Ende ini mengelola keuangan, mengatur ruang operasi, serta mengupayakan agar mendapatkan akreditasi. “Tenaga kesehatan di Ende juga kami bawa dan latih di Panti Rapih selama sebulan,” terang Dokter Teddy.
Selain itu, mereka juga membantu pengembangan RS St Carolus Borromeus Kupang. “Kami bantu secara full time sehingga bisa meningkat dari kelas D menuju ke kelas C,” sebut Dokter Teddy. Pengalaman yang sama juga dilakukan di RSU Bintuni di Papua. “Ini sudah berjalan tiga sampai empat tahun, dan sekarang sudah hampir selesai,” imbuhnya. Dan belakangan, RS Panti Rapih diminta membantu mengembangkan sebuah rumah sakit di Ketapang, Kalimantan Barat.
Dokter Teddy mengakui, tak gampang mengembangkan lembaga karya kesehatan di daerah terpencil yang saat ini kondisinya megap-megap. Menurutnya untuk menuju sebagai rumah sakit yang bagus harus memiliki tenaga kesehatan yang terampil, kamar operasi yang lengkap, dan asisten-asisten kesehatan yang ada harus dibenahi. “Jadi, harus ada standar-standar kesehatan yang dipenuhi,” jelasnya. Ia menyarankan lembaga karya kesehatan di daerah yang megap-megap itu melakukan perubahan agar tak jauh tertinggal. Selain itu, Dokter Teddy menambahkan, agar lembaga karya kesehatan di daerah bekerja sama dengan BPJS.
Dokter Peduli
Hal lain dibuat oleh Dokter Lie A. Dharmawan. Bersama Yayasan Dokter Peduli atau doctorSHARE, ia mendirikan Rumah Sakit Apung (RSA). Dokter Lie melayani dengan “menjemput bola”, keliling ke daerah-daerah dengan kapal yang dilengkapi peralatan operasi. Dokter Lie tak memungut biaya untuk operasi bagi masyarakat miskin. Bahkan ia dan rekan-rekannya berjuang mencari bantuan untuk biaya rumah sakit pasien miskin.
Pada 16 Maret 2013, pelayaran perdana RSA dr Lie Dharmawan dilakukan. Kapal dengan luas 23,5 x 6,55 meter membawanya bersama tim Yayasan Dokter Peduli menuju Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Perjalanan ditempuh selama 4,5 jam. Di kapal itu, sejumlah 320 warga diobati, 15 pasien bedah minor, dan lima pasien bedah mayor.
RSA terus berlayar menjangkau pasien di daerah-daerah terpencil yang miskin pelayanan kesehatan. Dokter Lie bersama rekan-rekannya melayani masyarakat hingga Labuhan Bajo di Flores Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Pulau Kei, Maluku, dan Papua.
Y. Prayogo/H. Bambang S