Konflik dan Rekonsiliasi Autentik

244

HIDUPKATOLIK.com – Walau merupakan miniatur Kerajaan Allah di dunia, namun Gereja tetap tak pernah kebal konflik. Konflik tetap potensial terjadi dalam tubuh Gereja, sebab Gereja merupakan persekutuan orang-orang beragam latar belakang dengan pikiran, sikap, dan perilaku yang berbeda. Gereja bukanlah surga dan bukan pula komunitas para malaikat yang serba sempurna tanpa cacat cela. Sebaliknya Gereja hanyalah kumpulan orang-orang berdosa yang terus-menerus mengusahakan pengudusan hingga mencapai tahap sempurna ketika Yesus Kristus datang kembali.

Bahkan konflik sudah terjadi sejak zaman Gereja perdana (Bdk. Kis 6:1-7). Namun sejak perdana juga, Gereja cekatan mengelola konflik agar dapat bertumbuh (Kis 6:7). Konflik dalam Gereja bisa terjadi karena masalah-masalah berkaitan dengan organisasi, kepemimpinan, program kerja, dan lain-lain. Konflik itu sering merusak hubungan antarumat, antara jemaat dengan gembala, juga antara gembala itu sendiri. Bahkan tak jarang konflik membuat Gereja terbelah. Namun sejak semula Gereja selalu menjadikan konflik sebagai kesempatan untuk meningkatkan pelayanan. Gereja merupakan saksi Allah tentang cinta kasih, maka dia mesti terus-menerus semakin mahir mengelola konflik menuju rekonsiliasi autentik.

Rekonsiliasi Autentik
Kecakapan memperjuangkan rekonsiliasi autentik berlandaskan teologi Kristiani sendiri yang meyakini bahwa dalam diri Yesus Kristus, Allah memperdamaikan dunia dengan diri-Nya sendiri. Inilah kabar gembira yang mesti diperagakan orang Kristen di tengah dunia. Kabar gembira ini tak hanya ditujukan agar Gereja menjadi juru damai dalam tata dunia yang umum, tetapi juga mesti terlihat dalam kecakapan mengelola konflik dalam tubuhnya sendiri menuju rekonsiliasi yang sesungguhnya.

Rekonsiliasi autentik mensyaratkan beberapa hal. Pertama, penyingkapan yang tepat akan peristiwa dan sumber konflik. Di sini dibutuhkan kejujuran original. Persoalan selama ini adalah Gereja sering merasa cepat puas dengan keadaannya, tak mau dikoreksi, dan tidak ingin berubah saat menemukan kesalahan dalam diri, serta takut menghadapi konflik, tetapi lebih memilih sikap cari aman dengan cara menghindari konflik. Saatnya Gereja harus berani membuka diri untuk membongkar sumber-sumber konflik dalam dirinya agar terjadi pembenahan yang semestinya. Gereja harus bisa keluar dari “rasa malu” yang tidak sehat yang justru mendiamkan dan memelihara sumber-sumber konflik dalam dirinya sendiri.

Kedua, kesediaan untuk dikoreksi. Kesadaran bahwa dalam tubuh Gereja juga bisa terjadi kesalahan dan konflik selanjutnya mesti mengarah kepada kesanggupan mengoreksi diri dan keterbukaan untuk dikoreksi. Perlu ada kesadaran bahwa pemimpin-pemimpin Gereja dan perangkat-perangkat di dalamnya bisa salah dan karena itu perlu ada kemauan untuk terus-menerus dikoreksi, bahkan dengan mekanisme “duniawi” sekalipun.

Ketiga, kesediaan untuk mengampuni. Kekhasan rekonsiliasi Kristiani terletak pada kesediaan mengampuni secara suka rela. Kesediaan mengampuni ini berdasar pada keyakinan akan sifat Allah yang mengampuni tanpa batas. Itu berarti perjuangan dalam Gereja untuk menegakkan kebenaran dan keadilan termasuk dalam membela korban mesti melampaui perjuangan versi penegakan hukum positif. Perjuangan penegakan kebenaran dalam Gereja adalah panggilan kemuridan yang tak bisa secara simplistis dengan panggilan tugas seorang aktivis sosial yang cenderung melihat soal secara “hitam-putih” atau “menghakimi” orang secara kategoris-dialektis. Sebagai panggilan kemuridan, spiritualitas Kristianilah yang harus menjadi pedoman bagi perjuangan penegakan kebenaran dan keadilan. Justru di sinilah letak “nilai lebih” misi rekonsiliasi Kristiani. Maka implikasinya, perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan dalam Gereja tidak patut menuntut pelaku sebagai pesakitan dan meminta supaya pelaku itu dihukum seberat-beratnya. Sebab jika itu terjadi maka perjuangan kita justru membawa pelaku menjadi korban baru yang harus menderita. Padahal perjuangan kaum Kristiani mesti membawa orang kepada pembebasan, memutus rantai kekerasan, dan konfik. Itulah rekonsiliasi autentik.

Benny Denar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini