Merajut Harmoni dalam Keragaman

431
Antonius Agus Sriyono, Duta Besar Indonesia untuk Takhta Suci Vatikan.
[NN/Dok.Hidup]

HIDUPKATOLIK.com – Hubungan diplomatik Takhta Suci Vatikan dengan Indonesia telah terjalin selama tujuh puluh tahun. Jalinan terus dipupuk, agar harmoni dan perdamaian dunia tetap lestari.

Paus Pius XII pada 6 Juli 1947 mengangkat Mgr Georges de Jonghe d’Ardoye sebagai Delegatus Apostolik Kepulauan Indonesia. Memang, tugas Delegatus Apostolik lebih fokus pada hubungan Takhta Suci Vatikan dengan Gereja Katolik di Indonesia. Namun tidak dapat dihindari, kiprah Delegatus Apostolik akan bersentuhan dengan pemerintahan. Sebagai ilustrasi, pada 3 Februari 1948 untuk pertama kali Mgr de Jonghe melakukan pertemuan dengan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta.

Walaupun Delegatus Apostolik tidak memiliki tugas diplomatik, negara penerima menjamin privilese khusus atau imunitas mirip korps diplomatik. Dalam hal ini, tugas utama Mgr de Jonghe ketika itu, menyiapkan pembukaan hubungan diplomatik Takhta Suci dengan Indonesia. Sebuah hubungan antara dua negara yang berdaulat.

Apabila tahun 1947 menjadi acuan dimulainya hubungan Indonesia dengan Vatikan, berarti hubungan kedua negara sejauh ini telah berlangsung selama tujuh dasa warsa. Sebuah perjalanan yang cukup panjang. Menjadi pertanyaan kita bersama, bagaimana perjalanan hubungan bilateral dua negara selama ini dan manfaat apa yang dapat dipetik dari hubungan tersebut?

Hubungan Diplomatik
Selama 70 tahun ini telah tercatat 15 Wakil Kepausan dikirim ke Indonesia, mulai dari Mgr Georges de Jonghe d’Ardoye sebagai Delegatus Apostolik sampai Mgr Piero Pioppo sebagai Nunsius Apostolik, menggantikan Mgr Antonio Guido Filipazzi. Awalnya, Wakil Presiden/ Menteri Luar Negeri Mohammad Hatta pada 10 Januari 1950 mengusulkan pembukaan hubungan diplomatik dengan Takhta Suci. Setelah Vatikan menyetujui, Pemerintah Indonesia kemudian mengajukan Sukardjo Wirjopranoto sebagai Duta Indonesia untuk Vatikan dan Mgr de Jonghe kemudian diangkat sebagai Internunsius pertama untuk Indonesia (1950-1955). Sampai saat ini, sebanyak 20 duta dan duta besar dari Indonesia pernah bertugas untuk Vatikan. Saya sendiri wakil Indonesia untuk Takhta Suci yang ke-20, menggantikan Duta Besar Budiarman Bahar.

Dalam perjalanan hubungan bilateral yang panjang, salah satu capaian yang menonjol antara lain terus meningkatnya hubungan baik antara Gereja Katolik Indonesia dan Pemerintah Indonesia dengan Vatikan. Hubungan baik antarumat beragama di Indonesia juga terjaga, terutama umat Katolik dengan umat Islam serta dengan agama lain.

Eratnya hubungan kedua negara juga ditandai oleh kunjungan Presiden Soekarno ke Vatikan pada 13 Juni 1956. Ketika itu, Presiden Soekarno bertemu dengan Paus Pius XII. Kunjungan Presiden Soekarno kedua terjadi pada Mei 1959 yang diterima Paus Yohanes XXIII. Dua kunjungan lain Presiden Soekarno terjadi pada 15 Juni 1963 dan 12 Oktober 1964 yang ditemui Paus Paulus VI. Sedangkan Presiden Soeharto pada 25 November 1972 berkunjung ke Vatikan dan bertemu dengan Paus Paulus VI. Adapun Presiden Abdurrahman Wahid mengunjungi Vatikan pada 5 April 2000.

Sebaliknya, Paus Paulus VI berkunjung ke Indonesia pada 3 Desember 1970 dan bertemu dengan Presiden Soeharto. Paus Yohanes Paulus II menjadi Paus kedua yang mengunjungi Indonesia pada 9-14 Oktober 1989. Ketika itu, Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Jakarta, Yogyakarta, Maumere, Dili, dan Medan.

Prioritas Kerjasama
Bagi Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Takhta Suci saat ini, menciptakan harmoni di tengah masyarakat Indonesia yang beragam dari segi agama merupakan misi prioritas. Itulah sebab, dalam berbagai kesempatan kegiatan interfaith-dialogue terus digalakkan. Hanya melalui dialog permasalahan dapat dicari solusi.

Pada Mei 2017, misalnya, KBRI Vatikan bekerjasama dengan Pontifical Council for Interreligious Dialogue dan Komunitas Sant’Egidio mengadakan forum dialog antaragama bertema “Managing Religious Plurality in Indonesia During the Reform Era”. Event ini mengundang tiga pembicara Muslim dari Indonesia, yakni Yenny Wahid, Abdul Mu’ti, dan Yohana Irma Betaubun.

Dalam sambutan, Kardinal Jean-Louis Tauran mengungkapkan pengalamannya ketika berkunjung ke Indonesia. Dikatakan, Indonesia memiliki nilai-nilai dasar kehidupan bermasyarakat yang damai walaupun berbeda-beda latar belakang suku, agama, dan etnis. Menurutnya, Pancasila merupakan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia. President of the Pontifical Council for Interreligious Dialogue ini menyerukan agar semua pihak tegas menolak kekerasan yang mengatasnamakan agama.

Pembangunan proyek “Taman Borobudur” di Museum Etnologi Vatikan yang selesai akhir Juli 2017 juga merupakan bentuk lain dari semangat merajut harmoni sekaligus promosi wisata Indonesia. Mengapa? Borobudur yang merupakan candi legendaris milik umat Buddha Indonesia, sekarang tampil di Museum Etnologi Vatikan milik Gereja Katolik, dan bisa terwujud berkat kontribusi Pemerintah Indonesia yang memiliki umat Muslim terbesar di dunia. Sebuah simbol tentang pentingnya harmoni dalam keragaman agama.

Dalam lingkup yang lebih kecil, pada September 2017, KBRI Vatikan menyelenggarakan forum dialog bersama Forum Kerukunan Umat Beragama Jakarta Barat. Dalam dialog yang dihadiri lima orang imam Indonesia terjadi tukar pikiran yang mendalam tentang bagaimana mengelola kerukunan umat beragama di Jakarta Barat khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Dalam pengantar diskusi, saya menyampaikan pesan yang sejalan dengan pandangan Paus Fransiskus bahwa harmoni di tengah kemajemukan agama di Indonesia bahkan dunia dapat tercipta apabila fondasi hubungan antaragama didasarkan atau bertopang pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Kata kuncinya: humanity, harus mendasari hubungan antarmanusia yang sudah terlahir berbeda.

Patut dicatat, saat ini jumlah rohaniwan dan rohaniwati Indonesia (imam, suster, bruder) yang berkarya dan belajar di Italia sebanyak 1.609 orang. Upaya terus memotivasi mereka agar menjadi seratus persen Indonesia sekaligus seratus persen Katolik terus dilakukan KBRI Vatikan. Usaha ini dilakukan dengan mengunjungi rumahrumah kongregasi. Selama 18 bulan terakhir, kunjungan tercatat dilakukan di dua puluh lima rumah di Italia. Tambahan pula, pelayanan kekonsuleran dan perlindungan terhadap para rohaniwan dan rohaniwati Indonesia terus ditingkatkan dengan mempermudah pengurusan paspor, mempercepat legalisasi dokumen, dan memberi perhatian kepada mereka yang sakit atau
meninggal dunia.

Sementara itu, komunitas rohaniwan dan rohaniwati Indonesia di Italia selama ini memiliki paguyuban yang dikenal sebagai Ikatan Rohaniwan dan Rohaniwati Indonesia di Kota Abadi (IRRIKA). Melalui wadah ini hubungan ke dalam di antara para rohaniwan dan rohaniwati dapat dipelihara juga jalinan kerja sama dengan KBRI Vatikan yang mewakili pemerintah terus dipererat misalnya dengan kegiatan perayaan Natal dan Paskah bersama serta ziarah yang diikuti keluarga besar KBRI Vatikan.

Demikian selayang pandang perjalanan hubungan Indonesia dengan Tahkta Suci ditinjau dari perspektif pelaku dan makna dari hubungan itu sendiri. Sebagai penutup, sebagaimana dikatakan dalam Deklarasi Kepausan Nostra Aetate bahwa hubungan baru dalam dialog dan solidaritas merupakan cerminan dari sebuah human family dan “Gereja menyatakan keterbukaannya terhadap dialog dengan agama-agama non-Katolik”.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini