HIDUPKATOLIK.com – Selama menjadi Paus, ia dengan tegas dan gigih melawan Pelagianisme dan Nestorianisme. Di balik ketegasannya, ia berhati lembut, kebapakan, dan pemaaf.
Pada masa Paus Zozimus (†418), seorang imam Roma untuk pertama kali secara terang-terangan mengutuk bidaah Pelagianisme. Pelagianisme adalah paham yang mengajarkan bahwa hakikat manusia sebagai ciptaan Allah tidak, rusak oleh dosa asal. Paham yang diajarkan oleh seorang rahib asal Inggris, Pelagius (360-418) ini, menekankan bahwa manusia dapat memegang kendali penuh atas dirinya, sehingga tidak butuh pertolongan rahmat Allah untuk melakukan kebaikan. Implikasinya, Sakramen Baptis tidak terkait dengan kualitas pengampuan dosa karena dosa asal tidak ada. Doktrin ini mengurangi peran rahmat Ilahi dalam proses keselamatan umat manusia.
Dalam sejarahnya, ajaran Pelagius ini dinilai sebagai bidaah dalam Konsili Kartago (418). Imam itu menjadi loyalis Paus Zozimus yang telah menjatuhkan hukuman kepada para penganut Pelagianisme. Ia menyerukan perlawanan kepada aneka macam fitnah dari Pelagianisme kepada Gereja di Afrika. Imam itu juga menjalin korespondensi dengan St Agustinus (354-430), Uskup Hippo. Konon tahun 418, St Agustinus mengirimkan dua surat ucapan selamat dalam setahun kepada sang imam. Surat itu berisi pujian atas keberanian dan semangatnya untuk membela ajaran Gereja dengan setia.
Di kalangan klerus Roma, imam itu sangat dihormati. Ada yang mengatakan, ia merupakan salah satu tokoh klerus Roma yang terpandang. Namanya juga dikenal luas. Ketika Paus Celestinus I (†432) mangkat pada 27 Juli 432, sang imam pun terpilih menggantikannya. Imam kelahiran Roma itu naik takhta sebagai Paus pada 31 Juli 432. Dialah Paus Sixtus III.
Langkah Rekonsiliasi
Pada masa kepausannya, Paus Sixtus III berjuang melawan bidaah Nestorianisme dan Pelagianisme. Nestorianisme adalah paham yang mengajarkan bahwa eksistensi Yesus sesungguhnya dua pribadi yang tak dapat disatukan, yaitu manusia Yesus dan Putera Allah. Artinya, keilahian Yesus terpisah dari kemanusiaan-Nya. Doktrin ini diajarkan oleh Uskup Agung Konstantinopel, Mgr Nestorius (386-450) dan telah dikutuk sebagai bidaah oleh Konsili Efesus I (431). Kaum Nestorian juga menolak Bunda Maria sebagai Bunda Allah (Theotokos), karena Maria dianggap hanya melahirkan pribadi manusia Yesus (Kristotokos) dan tidak melahirkan pribadi ilahi-Nya.
Paus Sixtus III berusaha mengambil langkah rekonsiliasi bagi para pengikut Nestorianisme dan Pelagianisme yang bertobat. Namun langkah ini, menjadikan ia dituduh condong membela para bidaah itu. Sebagian pihak menafsirkan keliru, terhadap langkah damai yang ia tempuh. Berbagai macam tafsir keliru itu merupakan fitnah dari kaum Pelagianisme yang berusaha menjatuhkan wibawanya. Padahal sejatinya, ia merupakan benteng penjaga orthodoksi Gereja yang teguh.
Paus Sixtus III merestui rekomendasi Konsili Efesus I. Konsili ekumenis ketiga yang dihadiri sekitar 250 uskup ini membahas tema Bunda Maria sebagai Theotokos, meneguhkan Syahadat hasil Konsili Nicea I (325), serta mengutuk bidaah Pelagianisme dan Nestorianisme. Konsili yang digelar oleh Kaisar Theodosius II (401-450) ini berlangsung selama Juni-Juli 431 di Basilika St Maria Efesus, Anatolia (kini Selçuk, Turki).
Kala konsili dimulai, Patriark Antiokhia, Yohanes I (†442) belum tiba. Muncul serangan terhadap Patriark Yohanes I dari Patriark Aleksandria, Cyrillus I (376-444). Patriark Yohanes I dituduh bersekongkol dan mendukung Mgr Nestorius, Uskup Agung Konstantinopel yang bertakhta pada 428-431. Padahal, Mgr Nestorius sedang menjadi bahan perbincangan karena menolak dogma Theotokos. Pada sesi awal konsili yang terdiri dari tujuh sesi ini, Mgr Nestorius sudah dihukum dan dilengserkan dari Takhta Konstantinopel. Ia digantikan Mgr Maximianus (†434). Keterlambatan Patriark Yohanes I dianggap sebagai bentuk boikot terhadap konsili dan dukungan terhadap sahabatnya, Mgr Nestorius. Patriark Cyrillus I lalu mengusulkan kepada konsili untuk ikut menghukum Patriark Antiokhia. Patriark Yohanes I pun naik pitam. Setelah tiba di Efesus, ia segera menyerang balik Patriark Cyrillus I dan menghukumnya. Relasi Antiokhia dan Aleksandria berubah menjadi panas.
Teguh Hati
Tahun 433, Paus Sixtus III berusaha meredakan ketegangan dan memperbaiki hubungan antara Patriark Antiokhia dengan Patriark Aleksandria. Ia berhasil menyelesaikan perdebatan panjang tentang Kristologi terkait konsep Theotokos dan Kristotokos. Alhasil, Patriark Yohanes I dan Patriark Cyrillus I dapat kembali rujuk dan dirangkul kembali dalam pangkuan Gereja Roma.
Dalam perseteruan dengan Pelagianisme, Paus Sixtus III membuat frustasi Mgr Julianus (386-455). Uskup Eclanum (dekat Benevento, Italia) itu berupaya agar diterima kembali dalam persekutuan dengan Gereja dan minta takhta keuskupannya dipulihkan kembali. Ia berpura-pura menunjukkan sikap tobat dan menggunakan berbagai macam tipu daya untuk meyakinkan Bapa Suci. Namun, intuisi Paus mampu mengetahui akal bulusnya. Maka, aneka tipu muslihatnya sama sekali tidak mempengaruhi keteguhan hati Bapa Suci. Alhasil, Mgr Julianus tetap dicopot dari takhtanya dan diekskomunikasi.
Dalam relasi dengan Gereja Timur, Paus berusaha menjaga hubungan baik saja. Pada masa kepausannya, sempat terjadi sedikit keributan. Tahun 437, digelar Sinode Konstantinopel yang ditengarai hendak mempreteli hak-hak dan otoritas Paus atas Illyricum (kini menjadi gelar Uskup Agung Tituler Siscia), yang didukung oleh para uskup di Kepatriarkan Antiokhia. Illyricum adalah daerah di sebelah barat laut Semenanjung Balkan atau di pantai timur Laut Adriatik (kini meliputi daerah Albania utara, Kosovo, Montenegro, Bosnia-Herzegovina, pesisir pantai Kroasia, Serbia dan sebagian kecil Hungaria).
Sinode itu adalah ide Uskup Agung Konstantinopel, Mgr Proclus (†446) yang belum lama naik takhta (434-446) menggantikan Mgr Maximianus (431-434). Paus membela supremasi Takhta Suci atas Illyricum melawan para uskup setempat dan usaha ambisius Mgr Proclus. Paus menegur sikap Mgr Proclus dengan keras dan mengingatkan bahwa Takhta Roma memiliki vikaris di Thessalonika, Yunani, yang harus diajak bicara dan dimintai restu sebagai representasi resmi Patriark Roma.
Lembut Hati
Paus Sixtus III sempat dituduh melakukan kejahatan oleh seorang politikus terpandang di Roma, Bassus. Namun, terbukti bahwa tuduhan itu hanyalah akal-akalan untuk menjatuhkan Sri Paus. Akibat pencemaran nama baik Paus tersebut, Kaisar Romawi, Valentinianus III (419-455) menghukum Bassus.
Sementara itu, para uskup di Roma dan sekitarnya menggelar sinode dan mengekskomunikasi Bassus karena dinilai telah menghina Penerus St Petrus. Namun, Bapa Suci justru berbuat sebaliknya. Paus saleh yang berhati lembut itu justru mengunjungi Bassus, memaafkan dan membantunya, serta mendengarkan pengakuan dosanya. Kala Bassus sudah sakit keras, Paus Sixtus III melayaninya dengan mengirimkan viaticum secara pribadi. Bahkan, ia memimpin upacara pemakaman Bassus saat ia meninggal. Sikap kebapakannya mengalahkan kebencian dan fitnah yang telah ia terima. Di balik ketegasannya terhadap Pelagianisme dan Nestorianisme yang berusaha merongrong Gereja, inilah sisi lain kelembutan hati Paus Sixtus III.
Ketika bertakhta, Paus Sixtus III mencanangkan proyek restorasi bangunan-bangunan suci di Roma, yang sebagian rusak karena serangan bangsa Goth tahun 410. Oleh karena itu, ia mulai merestorasi Basilika St Liberius (kini Basilika St Maria Maggiore) dan memperbesar Basilika St Laurentius di luar tembok. Menanggapi proyek restorasi Paus, Kaisar Valentinianus III pun mengulurkan tangan untuk membantu. Ia memberikan bantuan kepada Bapa Suci untuk memperbaiki dan memperindah Basilika St Petrus dan Basilika St Yohanes Lateran.
Setelah memimpin Gereja selama delapan tahun, Paus Sixtus III wafat di Roma pada 19 Agustus 440. Ia tercatat sebagai Paus yang menulis delapan surat resmi. Setelah wafat, ia dihormati sebagai orang kudus. Gereja memperingati Santo Sixtus III setiap 28 Maret.
R.B.E. Agung Nugroho