Mgr Aloysius Sudarso, SCJ: Pak Soedadi adalah Guru Saya

1043
Perayaan Ekaristi dalam rangka Ulang Tahun Pernikahan ke 50 pasutri Pak Soedadi dan Ibu Tien oleh Uskup Agung Palembang Mgr Aloysius Sudarso, SCJ,, Pastor Paroki St Yoseph Palembang Rm Laurentius Rakidi, Pr (kiri) dan Imam dari keluarga Pak Soedadi Rm Antonius Wahadi, Pr.

HIDUPKATOLIK.com – Mgr Aloysius Sudarso, SCJ: Pak Soedadi adalah Guru Saya

Perayaan syukur atas ulang tahun pernikahan ke 50, pesta emas perkawinan, Bapak Drs Tarcisius Soedadi (Dadi) dan Ibu Dra Maria Magdalena Sri Koestini (Tien) berlangsung hikmat, haru dan takjub.Betapa tidak rasa haru ini, antara lain,  sungguh dirasakan seorang ibu setengah baya, yang duduk di sampingku, mengenakan batik putih dan celana pandang berwarna hitam, beberapa kali mengambil tisu dari kantong bajunya untuk mengusap air matanya.

Perayaan syukur ini dipersembahkan dalam perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Mgr Aloysius Sudarso, SCJ (72 tahun) Uskup Keuskupan Agung Palembang. Kemeriahan misa kudus ini diiringi lagu-lagu oleh kelompok koor dari mahasiswa-mahasiswi Unika Musi Charitas pimpinan Kak Hani di Gedung Yoseph Lantai 3 Kampus Unika Musi Charitas Palembang, Sabtu (2/12).

Pak Soedadi mau jadi pastor

“Bapak Soedadi dan Ibu Tien telah berkiprah di tengah Gereja dan masyarakat. Mereka tetap setia, mereka tampil muda dan tetap semangat. Mereka telah 50 tahun membangun Gereja rumah tangga”, kata Mgr Aloysius mengawali homilinya. Semangat muda yang mereka tampilkan juga diperlihatkan oleh Pak Boni Simanullang dan Pak Paikun yang merupakan teman seperjuangan pak Soedadi, sambil Mgr Aloysius melihat pak Boni dan Ibu Boni yang duduk di kursi sofa barisan paling depan.

Bapak ibu saudara-saudari, lanjut Mgr Aloysius yang lahir di Yogyakarta, 12 Desember 1945, “Pak Soedadi adalah guru saya ketika saya SMA Seminari Menengah St  Paulus Palembang. Ketika itu, Pak Soedadi mengajar ekonomi. Ia mengajar saya hanya satu tahun, karena pak Soedadi melanjutkan kuliahnya sarjana lengkap di Sanata Dharma, Jogyakarta”.

“Seingat saya ketika itu, Pak Soedadi guru muda, penuh semangat, energik. Saya kira waktu itu pak Soedadi mau jadi pastor” kenang Mgr Aloysius sambil tersenyum dan tawa umat yang hadir.

Setelah kembali dari Sanata Dhama, ia jatuh cinta dan berubah dalam penampilannya. Ia ingin membahagiakan yang dicintainya, yakni Ibu Tien, kata Mgr Aloysius sambil senyum dan menatap pasangan Pak Soedadi dan Ibu Tien yang duduk barisan paling depan.

Kesetiaan membangun keluarga selama 50 tahun. Itu luar biasa. Bagaimana meniru kesetiaan itu? Bahkan, hingga sekarang mereka masih melayani banyak orang dalam bidang pendidikan dan koperasi.

Tidak mau menasihati

“Saya tidak mau menasihati, karena tidak tepat.Biarlah mereka menyampaikan sharing singkat”, kata Mgr Aloysius Sudarso SCJ di penghujung homili singkatnya. Mgr Aloysius didampingi Pastor Kepala Paroki St Yoseph Palembang Romo Laurentius Rakidi, Pr dan imam dari keluarga pak Soedadi Rm Antonius Wahadi, Pr.

Dalam sharing singkatnya, Pak Soedadi mengatakan dari mimbar altar, saya datang ke Palembang bersama temannya NM Soenarli atas tawaran Pastor JH Soudant SCJ pada bulan September 1960 dan tiba tengah malam serta menginap di Seminari St Paulus. Sehari setelahnya Pak Soedadi dan Pak Soenarli dititipkan di asrama frateran selama satu (1) tahun.

Berdoa 40 hari

Perjumpaan dan pengenalan mendalam dengan Ibu Tien yang kini menjadi istrinya ini ketika kuliah meraih sarjana lengkap di IKIP Sanata Dharma. Ibu Tien tingkat 4 dan saya tingkat 5. Tingkat 4-5 sering kuliah gabung. Di sanalah saya sering komunikasi dan dialog dengan Ibu Tien. Masalahnya adalah saya seorang Katolik dan Ibu Tien berasal dari keluarga Muslim yang tidak fanatik dengan agamanya.

“Sebelum memutuskan untuk sehidup-semati berdua, dalam dialog yang intens kami sepakat untuk berdoa dengan cara masing-masing selama 40 hari (saya ikut misa kudus dan Ibu Tien sholat). Setelah itu saya menemui orangtua dari Ibu Tien dan mereka berpesan kepada saya jadilah orang Kristiani yang baik”, kenang Pak Soedadi.

Tangannya halus

Lain hal dengan Ibu Tien. Ibu Tien memuji suaminya, Pak Soedadi. Pak Soedadi “luar biasa”. Saat kenalan, orangnya sabar banget, kenang Ibu Tien. “Tangannya halus karena guru”, lanjutnya.

Seingat Ibu Tien, pesan ayahnya kepada Pak Soedadi, “silahkan mencintai anak saya, tapi harus bertanggungjawab dalam keluarga”. “Saya bersedia”, sanggup Pak Soedadi, singkat.

Istri yang tidak pendiam

Bagi saya, kata Ibu Tien dalam sharingnya, “cinta itu kerinduan yang luar biasa untuk bertemu dan berbicara”. Ketika Ibu Tien saat doeloe bertanya kepada Pak Soedadi, “Mengapa Pak mau menikah dengan saya?”, “Saya memilih kamu (Tien) sebagai istri karena saya adalah pendiam. Saya mencari istri yang tidak pendiam”, kenang Ibu Tien mengingat masa lalunya.

“Kerinduan diwujudkan dalam pekerjaan. Urusan keuangan dalam rumah tangga harus dibicarakan bersama. Bertahan dalam keluarga merupakan mukjizat dari Tuhan. Tekun dalam doa setiap hari dan ajarkan doa kepada anak-anak”, pesan ibu Tien (75 tahun) berdasarkan pengalaman hidup berkeluarga bersama Pak Soedadi (79 tahun) selama 50 tahun.

Tips dalam kesetiaan hidup berumah tangga, kata Ibu Tien di penghujung sharingnya adalah “memberi, memberi dan memberi dalam suka dan duka” kuncinya adalah TST yakni Taat: satu dalam sakramen, taat kepada Tuhan. Setia: saling mengingatkan pada perintah-Nya, saling mengampuni sebagai suami-istri. Tulus: suami-istri harus tulus, maka hidup berkeluarga akan langgeng.

Kepala SMA Xaverius 1 Palembang Ibu Dra Lucia Chia dalam testimoni menulis “Bapak T Soedadi dan Ibu Tien Soedadi selama ini saya kenal sebagai pasangan yang setia, rukun, harmonis, dan saling mendukung. Mereka berdua selalu kompak dan mesra baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan berkeluarga sehingga layak menjadi panutan” dikutip dari biografi yang berjudul “Maju bersama dalam harapan dan kasih”, hlm 88. Akhirnya, bravo Pak Soedadi dan Ibu Tien.***

Ignas Iwan Waning-Palembang

 

(ab)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini