Politik Keugaharian

281

HIDUPKATOLIK.com – Orang yang tidak ugahari, sesungguhnya dia tidak boleh menjadi seorang politisi. Keugaharian menuntut dalam diri seseorang, untuk mengontrol dirinya dari segala jebakan keserakahan (Socrates). Pendapat Socrates tentang keugaharian atau dalam bahasa Yunani disebut sebagai sophrosune dapat kita baca dalam buku yang berjudul Xarmides (Dorian: 2014). Dalam buku ini, sophrosune dipahami sebagai sebuah syarat mutlak dalam pendidikan politik dan berpolitik.

Dalam kaitan dengan dunia politik, Socrates mengartikan sophrosune sebagai usaha pengenalan diri. Pengenalan diri ini berarti orang mengetahui apa yang memang ia ketahui dan mengetahui apa yang memang ia tidak ketahui. Dan menurut Socrates, untuk sampai pada tahap ini, orang harus mampu mengakui bahwa tidak semua hal kita ketahui, dan semua orang punya keterbatasan.

Hanya lewat jalan ini, seseorang dibebaskan dari segala godaan untuk sombong, seolah-olah dia tahu segalanya, sebagaimana kebanyakan politisi zaman ini. Dengan mengetahui dan mengenal diri dan jiwa, seorang politisi diajak untuk lebih ugahari. Ia menjadi lebih hatihati, lebih tahu batas, dan dengan tegas menempatkan diri pada arena benar, bukan area abu-abu atau kompromi sesat. Dalam kaitan dengan ini, Socrates lalu mengartikan lagi sophrosune sebagai pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan.

Ada mitos klasik yang sampai sekarang masih begitu kuat diidap dalam dunia politik; bahwa dunia politik adalah dunia perang strategi dan intrik. Dalam perang strategi dan intrik itu, moralitas menjadi absen, sehingga semuanya seakan-akan menjadi amoral (amoral: tidak ada hubungan dengan moral). Sebuah fenomena yang dianggap biasa tetapi
sangat imoral (tidak bermoral). Sophrosune yang substansinya adalah moral disandera oleh politik kepentingan (pragmatis) yang hanya mempunyai orientasi jangka pendek.

Politik keugaharian adalah politik yang berorientasi pada kebaikan dan menjunjung nilai-nilai moral. Politik keugahairan oleh Socrates adalah politik yang tak hanya punya rasa malu (shame culture), tetapi lebih dari itu, dia juga harus punya rasa bersalah (guilt culture). Pada tataran shame culture, seorang politisi hanya akan merasa malu, kalau kesalahan atau kejahatannya itu diketahui oleh orang lain atau sudah menjadi konsumsi publik. Sementara, guilt culture adalah seorang politisi yang baik diketahui atau tidak diketahui kesalahan yang dibuat; dia tetap merasa bersalah dan ingin mengubah perbuatan untuk tidak salah lagi. Sophrosune sebagaimana yang diharapkan Sokrates ada pada tahap ini. Orang harus tahu diri dan punya rasa bersalah dalam dirinya.

Politik Keugaharian
Nelson Mandela telah menjadi ikon bukan hanya bagi rakyat Afrika Selatan, tetapi juga untuk semua rakyat yang merindukan figur seorang pemimpin yang berpihak kepada rakyat. Demikian pun Presiden Bolivia Evo Morales yang memahami politik sebagai ilmu melayani rakyat, bukan hidup dari rakyat.

Di Indonesia, Bung Hatta juga telah menjadi inspirasi bagi para politisi yang mau berpihak kepada rakyat, bukan pada diri, kelompok, atau golongan tertentu. Komitmennya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi yang mengutamakan rakyat, menjadikannya pemimpin dan pahlawan besar dalam sejarah Indonesia. Ia mundur dari wakil presiden ketika merasa bahwa posisi itu ternyata tidak membuat ia mampu menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Bung Hatta telah mewariskan keugaharian politik untuk membangun bangsa.

Baik Nelson Mandela, Evo Morales, maupun Bung Hatta adalah figur pemimpin yang ugahari. Mereka tahu bahwa posisi yang dimiliki bukanlah kesempatan untuk menggapai cita-cita dan ambisi pribadi. Politik bagi mereka adalah melayani rakyat. Kiranya, politik keugaharian yang ditelandakan oleh mereka menjadi sebuah cermin bagi perpolitikan kita di Indonesia yang terasa semakin hari semakin tidak ugahari.

Dony Kleden

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini