HIDUPKATOLIK.com – Tahun 2014 ditutup dengan kisah tragis kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501. Sejak pesawat ini dikabarkan hilang, ratusan media massa dalam dan luar negeri ikut melaporkan proses pencarian pesawat dan para korban. Dari pemberitaan media, kita melihat bagaimana media massa berlomba- lomba melaporkan peristiwa itu secara cepat. Namun sayang, saat melaporkan peristiwa tragis ini, media terkadang terpeleset menampilkan hal yang sesungguhnya tak pantas ditampilkan.
Beberapa saat setelah pencarian pesawat hilang ini dimulai, tim penyelamat dan juga awak media menemukan sosok jenazah yang terapung di lautan dalam kondisi yang mengenaskan. Sayang, karena kepekaan awak media yang kurang, sosok jenazah tadi ditampilkan apa adanya dalam bentuk foto ataupun gambar bergerak, tanpa ada filter kepada audience-nya.
Dengan cepat di arena media sosial, televisi yang menayangkan sosok jenazah tadi dicerca, dituduh tak etis, dan hanya mengutamakan sensasi. Masyarakat merasa bahwa aksi kemanusiaan untuk penyelamatan ini janganlah dikotori dengan penampilan gambar yang vulgar. Di beberapa media massa luar negeri pun tindakan televisi ini dikecam.
Memang, kita bisa mengikuti dinamika dunia di sekitar kita dengan menumpukan laporan dari media massa. Kita tak bisa pergi ke berbagai tempat untuk menyaksikan suatu peristiwa terjadi. Itulah tugas dasar seorang jurnalis, melaporkan peristiwa. Namun ketika melaporkan peristiwa itu, jurnalis sebagaimana profesi bermartabat yang lain, memiliki kode etik -dalam dunia televisi disebut Pedoman Perilaku Penyiaran atau Standar Program Siaran-, yang mengatur atau memberi pedoman hal-hal mana yang boleh atau tak boleh disiarkan kepada publik.
Meliput proses penyelamatan ini adalah satu hal, namun memperhatikan bagaimana tayangan yang layak adalah hal yang harus juga diperhatikan. Bagaimana pun gambar yang cukup “keras” seperti itu selalu ada risiko dilihat anak-anak. Niat baik melaporkan peristiwa harus juga sejalan dengan cara penyampaian pesan, sehingga tak terkesan mencari keuntungan dari tragedi atau menampilkan semata unsur sensasionalisme dari peristiwa ini.
Belum lama ini, saya menonton film yang memiliki pesan sama. Film itu berjudul Night Crawlers. Film ini berkisah tentang Lou, seorang pemuda pengangguran yang kemudian melihat peluang sukses dengan menjadi seorang stringer stasiun televisi lokal di Amerika. Masalahnya, Lou ini spesialis meliput peristiwa kecelakaan atau peristiwa kriminal pada malam hari. Bahkan, ia bisa datang ke lokasi sebelum Polisi datang. Dengan footage-nya ia bisa menghasilkan banyak uang, sehingga ia bisa merekrut seorang staf. Dari film ini terlihat bahwa godaan untuk menghasilkan lebih banyak uang terjadi dengan mengorbankan banyak nilai yang lain: persaingan sehat, mengejar peristiwa tanpa mengindahkan lagi etika, termasuk masuk ke rumah korban kejahatan, bahkan ketika stafnya tertembak dalam proses penggeberekan tersangka kriminal oleh Polisi.
Film ini menampilkan sisi gelap dunia industri televisi yang mengandalkan idiom “If it bleeds, it leads”, kalau beritanya berdarah-darah maka akan diminati. Syukurlah industri televisi di Indonesia dalam bagian ini belum separah itu, namun hal ini penting untuk diwaspadai.
Jika kembali pada dasar maka semangat yang tertuang dalam Communio et Progressio, dokumen Konsili Vatikan II, mengatakan, “Persatuan dan Kemajuan manusia yang hidup di dalam masyarakat: Itulah tujuan utama komunikasi sosial dan semua alat yang dipergunakannya.” Bila kita rumuskan dengan bahasa yang lain, maka kita akan bertanya saat ini, sudahkah komunikasi sosial dan alat yang dipergunakan saat ini menuju persatuan dan kemajuan manusia? Mudah-mudahan kalimat ini akan bisa direnungkan oleh mereka-mereka yang terjun dalam bidang komunikasi media massa saat ini.
Ignatius Haryanto