Dukungan Vatikan

657

HIDUPKATOLIK.com – Usai Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, berita tentang itu mulai tersebar ke penjuru Nusantara. Di Jakarta, hari itu teks proklamasi disiarkan secara berturut-turut di kantor Domei (sekarang Kantor Berita Antara) dan berdampak pada penyegelan kantor itu oleh Tentara Jepang pada 20 Agustus 1945.

Usaha ini diteruskan media pers seperti Harian Suara Asia di Surabaya dan beberapa harian di Jawa dengan terbitan berita proklamasi pada 20 Agustus 1945. Usaha lain juga dilakukan dengan pemasangan plakat, poster, coretan dinding atau gerbong kereta api. Tak kalah dengan yang lain, Uskup Keuskupan Agung Semarang, Mgr Albertus Soegijapranata SJ juga mengirim surat kepada Takhta Suci memberitakan keadaan Indonesia.

Belanda ingin terus menguasai Indonesia. Mereka kembali ke Jawa dan menaklukkan Tentara Jepang. Mereka juga berhasil merebut Batavia dan Presiden pertama Indonesia Soekarno memindahkan ibukota ke Yogyakarta pada Januari
1946.

Selain Batavia, di Semarang juga terjadi pertempuran. Mgr Soegijapranata yang menetap di Semarang juga pindah ke Yogyakarta pada 18 Januari 1947 sehingga dapat berkomunikasi dengan pemerintahan Soekarno dengan mudah. Berkat usaha Mgr Soegijapranata yang terus mengirim surat ke Takhta Suci, akhirnya mendapat balasan dari Paus Pius XII dengan mengirim Mgr Georges de Jonghe d’Ardoye sebagai Duta untuk Indonesia pada 6 Juli 1947.

Langkah itu membuka jalur diplomasi Vatikan dan Indonesia dan menjadikan Vatikan sebagai salah satu negara di Eropa pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Langkah tersebut bertolak belakang dengan sikap Pemerintah Belanda yang baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949.

Tak terasa, hubungan diplomatik Indonesia dengan Vatikan sudah berlangsung selama 70 tahun. Selama itu, sudah tercatat 15 Wakil Kepausan dikirim ke Indonesia, mulai dari Mgr d’Ardoye sampai Mgr Piero Pioppo yang ditunjuk sebagai Nuncio Apostolik Vatikan untuk Indonesia pada 8 September 2017.

Selasa, 14/11, Uskup, kelahiran Savona, Italia Utara, 29 September 1960 ini tiba di Jakarta. Sesampai di ibukota, ia tak henti menebarkan senyum kepada setiap orang yang dijumpai sehingga mendapat julukan “The Smiling Bishop”. Ia juga terkesan akan keramahan Gereja Indonesia dan tersanjung bisa melayani bangsa yang dikenal keberagamannya.

Mgr Pioppo berpesan, agar Indonesia bisa menjadi rumah bersama dan berharap agar gereja bisa bertukar pikiran dengan agama, dan budaya lain untuk mencapai “kesejahteraan bersama”. Pesan ini selaras dengan tugas Duta seturut Kitab Hukum Kanonik (KHK kanon 364, art. 5 dan 6), agar Duta bisa mengembangkan hal-hal menyangkut perdamaian, kemajuan, dan kerjasama para bangsa serta membina hubungan baik antara Gereja Katolik dengan Gereja-gereja lain, juga dengan agama-agama non Kristiani.

Semoga, pesan Mgr Piere Piopo itu bisa menjadi awal yang baik dalam karyanya. Kita berharap ia bisa meneruskan usaha Mgr d’Ardoye dalam mendukung kemerdekaan Indonesia pada 70 tahun lalu, juga bisa ikut menjaga perdamaian Indonesia pada masa kini, serta mewartakan perdamaian itu ke penjuru dunia. Selamat datang monsinyur, selamat bertugas menebarkan “Kebahagiaan Injil” di pelosok Nusantara ini.

Redaksi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini