Lonceng Panggilan Hidup Doa

1040
Hidup doa: Para rahib mendaraskan Mazmur di kapel Pertapaan Rawaseneng.
[HIDUP/Y.Prayogo]

HIDUPKATOLIK.com – Para rahib Rawaseneng menziarahi kehidupan dalam doa dan kerja tangan. Mereka beribadat tujuh kali sehari. Mereka menanggalkan dunia demi berdoa bagi dunia.

Teng… teng… teng…. Genta memecahkan sunyi di lembah Rawa seneng, Temanggung, Jawa Tengah. Tepat pukul 03.30. Hari masih gelap. Lamat-lamat, terdengar kidung Mazmur yang dilantunkan para rahib dari dalam kapel.

Para rahib memulai hari dengan madah pujian bagi Allah. Usai mengidungkan Mazmur, para rahib bertelut dalam meditasi hingga pukul 04.45. Setelah itu, mereka melakukan Lectio Divina sampai pukul 06.00, ibadat pagi, dilanjutkan perayaan Ekaristi. Ada jeda satu jam bagi para rahib untuk membersihkan tubuh dan sarapan. Semua dilakukan dalam keheningan. Saat sarapan, didaraskan bacaan- bacaan rohani. Menu sarapan amat sederhana, satu jenis sayur dan satu lauk.

Lonceng kembali berdentang pukul 08.10. Sebelum melakukan kerja tangan, para rahib beribadat selama 30 menit. Kemudian, mereka tenggelam dalam kerja tangan. Ada yang bekerja di kebun, kapel, peternakan, kamar tamu, toko rohani, dapur, dan yang lain.

Teng… teng… teng. Genta berdentang panjang, tepat pukul 11.30. Para rahib harus mengakhiri kerja tangan, menghela napas sejenak, lalu berarak menuju kapel untuk beribadat pada pukul 12.00. Setelah itu, mereka berarak menuju ruang makan. Pukul 13.00, para rahib telah mengakhiri makan siang, lalu rehat sejenak.

Pukul 14.15, lonceng berbunyi lagi. Saatnya para rahib kembali bertekun dalam keheningan doa. Setelah ibadat, mereka memiliki waktu untuk keperluan pribadi hingga pukul 16.30, saat lonceng kembali berbunyi.

Menjelang petang, pukul 16.45, mereka melakukan Lectio Divina, dilanjutkan medi tasi bersama. Pukul 17.30, mereka kembali bersatu hati melambung Mazmur dalam ibadat sore, dilanjutkan meditasi sampai pukul 18.30.

Usai bersemuka dengan Allah, para rahib berjalan bersama menuju ruang makan untuk santap malam. Santap malam juga dilakukan dalam suasana hening, sembari mendengar bacaan rohani. Pukul 19.00, santap malam usai. Lonceng lagi-lagi berdentang tepat pukul 19.40, tanda ibadat penutup akan di gelar lima menit lagi. Tepat pukul 19.45, para rahib beribadat malam, sebelum beristirahat.

Cara hidup ini dilakoni 35 rahib Ordo Cister ciensis Strictioris Obsevantiae (OCSO) atau dikenal dengan Trappist di Pertapaan St Maria Rawaseneng, setiap hari. Harihari mereka diperkaya dalam keheningan doa dan kerja tangan.

Semangat pembaruan
Kehidupan doa dalam biara yang ketat ini dirintis St Benediktus. Mula-mula, Benediktus diutus pergi belajar ke Roma oleh sang ayah, yang seorang bangsawan. Tapi, situasi Roma tak mendukung kehidupan rohaninya.

Benediktus memilih tinggal di gua di Subiaco, Italia. Ia memulai hidup sebagai eremit,  rahib yang hidup sendiri. Setelah menjalani hidup eremit selama tiga tahun,banyak orang mendatangi dia. Bahkan, beberapa orang menyatakan kehendak mengikuti cara hidupnya. Benediktus pun mendirikan 12 pertapaan kecil, yang masing-masing beranggotakan 12 rahib. Dari sinilah dirintis hidup senobit, rahib yang hidup dalam komunitas.

Namun, kondisi masyarakat kala itu, tak mendukung. Benediktus bersama para rahib mengungsi ke Monte Cassino. Di sini, Benediktus mendirikan pertapaan, membuat anggaran dasar, dan peraturan hidup pertapaan. Benediktus menjalani hidup sebagai rahib sampai wafat pada usia 67 tahun.

Setelah kepergian sang pendiri, kehidupan monastik terus berjalan. Dalam pe ziarahan itu, muncul tokoh-tokoh pembaru. Para tokoh yang berpengaruh dalam kehidupan monastik berasal dari Biara Molesme, Perancis; Robertus, Alberikus, dan Stefanus Harding.

Mereka bertiga, bersama rahib yang lain, pada 1098, meninggalkan Biara Molesme, lalu mendirikan biara baru di hutan Citeaux. Dari Biara Citeaux inilah muncul nama Ordo Cisterciensis.

Pada abad XV, Ordo Cisterciensis mengalami kemunduran. Pembaruan pun kembali dilakukan. Tokoh pembaru yang menonjol adalah Abas De Rance dari biara La Trappe. Semangat pembaruan ini berimbas ke biara-biara lain. Di sinilah muncul Ordo Cisterciensis Strictioris Observantiae (OCSO) atau yang dikenal dengan Trappist.

Gereja berdoa
Komunitas Pertapaan St Maria Rawaseneng dirintis para rahib dari Koningshoeven, Tilburg, Belanda. Peziarahan yang panjang mesti dilalui sebelum Pertapaan Rawaseneng berdiri pada 1 April 1953.

Dua puluh tahun lalu, 1995, Pertapaan Trappist Rawaseneng membuka cabang di Lamanabi, Keuskupan Larantuka. Biara anak ini telah menjadi keprioran, dan kelak Pertapaan Lamanabi akan menjadi keabasan. Sebelumnya, pada 1987, Pertapaan Trappist Rawaseneng juga membuka kehidupan doa di Gedono, Salatiga, Jawa Tengah, bagi para rubiah, sebutan untuk pertapa putri.

Kerasulan para rahib terletak dalam hidup kontemplatif. Para rahib mengabdikan diri dalam hidup doa seturut Peraturan St Benediktus Abas. Panggilan hidup kerahiban merupakan bagian dari panggilan Gereja, yang mau menghayati peran Gereja yang berdoa.

St Benediktus meminta para rahib, agar hidup dari hasil keringat sendiri. Di Pertapaan Rawaseneng, para rahib mengembang usaha peternakan dan pemerahan susu sapi, perkebunan kopi, pembuatan kue, serta mengelola rumah retret. Usaha ini mengkaryakan masyarakat di sekitar pertapaan. Ada sekitar 100 karyawan yang berkarya di pertapaan ini.

Lonceng akan terus berdentang di lembah Rawaseneng. Lonceng yang terus mengingatkan para rahib agar bertekun dan setia dalam menjalani panggilan sebagai Gereja yang berdoa.

Y. Prayogo,
Laporan: Odorikus Holang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini