SAYA BENCI MENJADI SEORANG GURU – BAGIAN II

501
Festival Budaya SMA Adhi Luhur yang melibatkan anak-anak Papua pesisir & pegunungan, Jawa, Bali, Batak

HIDUPKATOLIK.COM – Bukan Kebencian yang Sesungguhnya. (oleh bruder A. Dieng Karnedi, SJ, SS, S.Pd)

Jika pembaca belum sempat membaca bagian I, sila klik dahulu: http://www.hidupkatolik.com/2017/11/22/14920/saya-benci-menjadi-seorang-guru-bagian-i/

Ungkapan kebencian di atas (pada judul) bukanlah yang sesungguhnya. Apa yang lebih ingin saya katakan adalah kebencian saya terhadap suasana pendidikan di Papua yang memprihatinkan. Di sini, bila kita jumpai anak-anak SD, SMP dan bahkan SMA belum bisa membaca, bukanlah hal yang mengagetkan.

Yang mengagetkan adalah bagaimana mungkin mereka terus naik kelas, padahal kemampuan mereka tidak bertambah. Darimana perubahan bisa dimulai jika sistem pendidikan di sini kurang mendukung? Inilah hal sesungguhnya yang saya benci.

Maka sebaik apa pun seorang guru mengajar, jika menggunakan standar yang normal, dengan sendirinya ia akan frustasi. Di sini kondisinya abnormal, maka harus mengajar dengan metode abnormal pula.

Saat bertugas di Pedalaman Waghete, beberapa teman Jesuit dan saya berusaha mengurai persoalan ini dengan mendirikan TK Komugai. Dari tahapan inilah jawaban terhadap kebutaan huruf di sini dapat di atasi. Langkah selanjutnya, kami pun juga memperhatikan pendidikan Sekolah Dasar dengan mendatangkan guru-guru volunteer.

Di Papua, sangatlah wajar kita temukan sekolah-sekolah dengan jumlah siswa yang berjibun, namun tidak diajar secara layak oleh para guru. Sementara itu, sejumlah Jesuit lain ditugaskan untuk mengelola SMA YPPK Adhi Luhur. Melalui sekolah ini, kami berharap bisa mendampingi jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan menyiapkan anak-anak muda Papua untuk menghadapi tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Secara pribadi, tidak selayaknya saya membenci tugas perutusan yang diberikan kepada saya untuk menjadi seorang guru. Dengan menjadi guru itulah saya justru ditantang untuk dapat mengurai benang kusut suasana pendidikan di Papua, meski dalam skala yang kecil sekalipun. Dengan kesadaran baru inilah, saya pun mulai berusaha menemukan cara-cara yang kreatif dan jitu untuk membantu anak-anak Papua. Maka dari itu, sampai pada titik ini, saya tidak akan lagi berbicara soal kebencian, namun sebaliknya bagaimana saya bisa menjadi seorang guru yang penuh kecintaan dalam mengajar anak-anak Papua.

Nah, sekarang terjawab khan, bahwa sesungguhnya bruder Dieng SJ tidaklah benci menjadi guru, setelah sampai pada kesadaran yang baru. Ikuti terus kisahnya di HIDUPKATOLIK.com , sembari merefleksikan pengalaman pribadi kita masing-masing, apa yang sebenarnya diinginkan Tuhan dalam hidup kita, “Lord, what do you want me to do..”.

(A.Bilandoro)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini