Hukuman Mati

262

HIDUPKATOLIK.com – Enam terpidana mati kasus narkotika dan obat berbahaya (narkoba) telah dieksekusi (baca: dibunuh) pada 18 Januari 2015 di Nusakambangan dan Boyolali, Jawa Tengah. Masih ada 58 terpidana mati lagi yang grasinya ditolak oleh Presiden Joko Widodo, sehingga dapat dieksekusi atau dibunuh oleh aparat negara dalam waktu dekat, apabila tidak ada keputusan yang membatalkan.

Jika eksekusi mati dilaksanakan lagi, maka Indonesia menjadi salah satu negara yang memerintahkan pelanggaran hak hidup para terpidana tersebut. Sebagai umat kristiani, semestinya kita menolak hukuman mati dan memperjuangkan hak hidup saudara-saudara kita terpidana mati tersebut. Mengapa masih ada di antara kita yang ragu, bahkan ada yang mendukung hukuman mati?

Hak hidup merupakan salah satu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non-derogable rights). Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28A jo. UU No. 12/2005 tentang ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ ICCPR) pasal 6 (1) mengakui, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Dalam UU No. 12/2005 pengaturan tersebut diperkuat dengan kalimat, “Tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang”. Pengecualian pemberlakukan hukuman mati di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius, seperti genosida. Sementara, kejahatan narkoba tidak termasuk kejahatan yang paling serius.

Pasal 9 (1) UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengakui bahwa, “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya”. Namun dalam bagian penjelasan dinyatakan bahwa hak hidup dibatasi dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa, yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati masih dapat diijinkan. Pengaturan ini jelas bertentangan dengan isi pengaturan yang sama dalam UU No. 12/2005 tentang ratifikasi ICCPR.

Sejalan dengan prinsip penghormatan dan perlindungan hak hidup, ajaran Gereja juga tak mengijinkan hukuman mati. Alasan utama yang disampaikan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bahwa, “Siapapun tidak punya hak mencabut nyawa orang lain karena hidup adalah anugerah dari Tuhan dan hanya Tuhan-lah yang berhak mencabutnya. Hak hidup adalah hak yang paling mendasar yang diberikan oleh Sang Pencipta.

Oleh sebab itu, Gereja selalu membela kehidupan. KWI juga menegaskan, Gereja menilai, penjahat kelas kakap sekalipun mempunyai hak untuk hidup. Negara sebagai pelindung rakyat pun harus memberikannya” (KWI, 16 Januari 2015). Sikap tegas serupa juga disampaikan Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) pada18 Januari 2015.

Alasan lain yang harus menjadi pertimbangan mengapa kita harus menolak hukuman mati adalah realitas masih lemahnya sistem penegakan hukum di negeri ini, mulai dari proses pelaporan, penyelidikan, sampai tahap persidangan. Kita seringkali menemukan dan mendengar ada “peradilan sesat”, kriminalisasi, sampai korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Apa yang dapat kita lakukan apabila seseorang yang sudah dieksekusi mati tetapi di kemudian hari terungkap ada kekeliruan dalam proses peradilan yang memvonisnya?

Perdagangan narkoba memang harus diakhiri. Namun, apakah hukuman mati (pembunuhan) atas sebagian kecil pelaku perdagangan narkoba dapat menjawab permasalahan pelik ini? Terlepas dari kegeraman kita kepada para penjahat narkoba, pantaskah kita sebagai umat beriman mendukung hukuman mati?

Sandra Moniaga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini