Menilik KV II

142

HIDUPKATOLIK.com – YVES Congar OP, figur penting dalam Konsili Vatikan II. Baginya, salah satu warisan penting Konsili Vatikan II bukanlah yang tertuang dalam beragam dokumen yang dihasilkan para Bapa Konsili, tetapi nilai-nilai yang dihidupi para Bapa Konsili selama tiga tahun masa persidangan. Konsili Vatikan II menjadi ajang perjumpaan iman yang otentik; medan bagi totalitas memori seluruh warga Gereja. Corak “perjumpaan” semacam inilah yang semestinya mewarnai paguyuban umat beriman.

Spirit perjumpaan itu sungguh dirancang dan mewarnai Konsili Vatikan II, sehingga dialog iman terjadi. Bahkan tempat duduk para Bapa Konsili pun dirancang agar mereka bisa berdialog satu dengan yang lain. Maka, para Uskup dari Eropa bisa saling berdialog dengan para Uskup dari Afrika, para Uskup dari Asia bisa berbincang dengan Uskup dari Amerika, dan sebagainya.

Perjumpaan dan dialog butuh kerendahan hati untuk belajar. Spirit itu pula yang dihidupi para Bapa Konsili; Gereja yang mengajar sekaligus Gereja yang mendengar; Gereja yang mengajar sekaligus Gereja yang belajar. Semangat keterbukaan pada dunia pun diwarnai setiap persidangan dalam Konsili Vatikan II. Paus Yohanes XXIII telah mengawali dengan membuka jendela dan pintu-pintu Gereja, meskipun aneka “kejahatan” mengancam. Melalui semangat ini, Gereja ditantang membaca tanda-tanda zaman, menatap tantangan keterlibatan mewartakan kabar sukacita ke tengah kerumunan manusia di dunia. Dunia bukanlah medan yang mengerikan, tetapi medan penuh rahmat, tempat di mana cinta kasih Allah diwartakan dan diwujudnyatakan.

Nampaknya, Kardinal Jorge Mario Bergoglio SJ amat memahami semangat yang dihidupi dan ingin dicapai para Bapa Konsili. Dalam sebuah intervensi pra-konklaf, Kardinal Bergoglio menyampaikan pokok-pokok pandangannya secara amat tajam. Ia mengkritik sikap narsisme teologis yang sedang menjangkiti Gereja. Sikap merasa cukup diri yang memberikan rasa aman nan nyaman amat membahayakan Gereja. Sikap ini jelas bertentangan dengan semangat evangelisasi yang mengajak Gereja untuk keluar dan berkotor tangan di tengah dunia. Evangelisasi yang menyapa mereka yang berada di “pinggiran”. Kardinal Bergoglio mengajak Gereja bertolak dari Kristus menuju ke “pinggiran”, karena Gereja adalah perjumpaan iman yang menjadi mata air, yang tiada henti mengalirkan cinta dan kerahiman Allah bagi manusia.

Bahkan ketika Kardinal Bergoglio kemudian menjadi Paus Fransiskus tak henti-hentinya mengingatkan, mengajak, bahkan mengkritik Gereja. Ia konsisten memprotes ketakadilan tata ekonomi, perang yang melecehkan martabat manusia, juga sikap iman yang mengagungkan adorasi tapi buta terhadap derita sesama dan semesta. Pertobatan tak cukup didaraskan di bilik pengakuan, melainkan mesti mewujudnyata dalam tindakan keseharian.

Suara kenabian Konsili Vatikan II dan Paus Fransiskus itu, kini kembali digaungkan oleh para Uskup di Indonesia. Melalui Sidang Tahunan Konferensi Waligereja Indonesia, para Uskup mengajak segenap warga Gereja untuk terlibat dalam setiap suka dan duka, kegembiraan dan kecemasan bangsa Indonesia. Karena Gereja di utus ke dunia bersama kerumunan manusia, bukan menyingkir ke dalam gua kesunyian yang aman dan nyaman.

Redaksi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini