HIDUPKATOLIK.com – Kecakapan di bidang kebijakan publik dan pajak membawanya pada interaksi dengan ruang kekuasaan. Tapi ia tak silau. Ia memilih menjadi jembatan di ruang publik.
Ada secuil gurat kelelahan di wajah Yustinus Prastowo. Maklum sejak pagi, ia wara-wiri mengikuti rapat di tiga tempat. “Sore ini sebenarnya ada televisi yang mengundang, tapi karena tidak sempat, ada yang mewakili saya ke sana,” katanya kala ditemui pekan lalu di kantor Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan.
Pras, Direktur Eksekutif CITA, memang punya segudang kesibukan. Selain aktivitas kantor, mengajar, ia harus rapat di pelbagai tempat. Belum lagi, ia harus mengisi seminar hingga talkshow. Ada kalanya, ia juga menerima permintaan awak media untuk wawancara terkait isu publik dan pajak. Akhir Agustus silam misalnya, ketika pegawai pajak mendatangi rumah artis, awak media langsung meminta pendapatnya.
Pras menilai, apa yang dilakukan petugas pajak DKI Jakarta terkait pajak selebritas sudah tepat; menciptakan efek jera dan efek bola salju kesadaran dan kepatuhan pajak. Prinsip pajak, kata alumnus Spesialisasi Pajak Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN) ini, adalah “yang mampu harus membayar lebih besar”. Menurutnya, pajak itu sarana redistribusi kekayaan dari the have ke the poor. “Pajak sangat penting untuk memastikan keadilan,” katanya.
Menjadi Jembatan
Beberapa kesempatan, lulusan S2 Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia ini, pernah membantu Pemprov DKI Jakarta di beberapa isu pendapatan, sebagai pe-review draft Perda. Pras memberi catatan, agar pelaksanaan pelunasan penunggak pajak harus adil dan terukur; termasuk bagaimana pemerintah berkomitmen menggunakan uang pajak dengan benar bagi kesejahteraan rakyat. “Cara-cara keras kadang diperlukan, tapi persuasi dan internalisasi tetap yang wajib dilakukan berkesinambungan.”
Pras beberapa kali diminta menjadi ahli di sidang pengadilan. Misal, dalam kasus pungutan liar nelayan Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Tapi, ia memilah betul. Baginya, posisi keberpihakan kepada orang kecil tak bisa diganggu gugat. Itu nampak, ketika ia ikut mengajukan uji materi UU PPN ke Mahkamah Konstitusi, demi membela para pedagang bahan kebutuhan pokok dan menang. “Akhirnya, putusan MK memakai materi yang kami uji.”
Pun demikian dengan tax amnesty. Ia diminta Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, menjadi ahli pemerintah di sidang uji materi UU Pengampunan Pajak. Ia juga membantu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pencegahan korupsi di sektor penerimaan negara. “Bagi saya, tugas-tugas seperti ini menyenangkan. Sama ketika saya ada di tengah-tengah kaum muda, mahasiswa yang antusias belajar pajak.”
Meski awam mengenalnya sebagai pakar pajak, Pras justru menolak disebut ahli. Ia merasa ada banyak orang yang lebih pantas menyandang status itu. “Saya lebih suka menyebut sebagai penggiat pajak, karena saya memang berbasis aktivis yang fokus pada advokasi.”
Latar belakang Pras memang merupakan kombinasi praktisi dan akademisi. Sebagai akademisi, peneliti dan pengajar, ia telah menulis belasan buku. Tulisannya pun tersebar di pelbagai media nasional. Karena itu, ia kerap diundang mengikuti seminar dan konferensi internasional.
Tapi dalam dirinya mengalir darah sebagai aktivis. Ia turun ke jalan ikut demonstrasi, menjadi advokat keadilan pajak, membantu wajib pajak yang dizalimi melalui uji materi UU di MK. Tapi juga membantu pemerintah menyusun kebijakan yang lebih baik. “Keberpihakan saya kepada keadilan, bukan pemerintah ataupun pengemplang pajak. Menjadi semacam jembatan antara dua titik itu.”
Agar lebih fokus dalam dunia riset, pada 2014, ia mendirikan CITA. Lembaga bentukannya ini, bersama ICW, TII dan lembaga lainnya, membantu isu transparansi dalam kampanye-kampanye politik menuntut keterbukaan pajak. Pras juga membantu di Tim Transisi Jokowi-JK pada 2014, saat tim itu menyusun Nawacita hingga program sebagai presiden terpilih.
Namun, Pras tak silau kekuasaan. Meski ditawari posisi di lingkar kekuasaan, ia memutuskan tetap di luar pemerintahan, agar bisa mengawal proses pemerintahan. Aktivitasnya di bidang pajak, baik riset, menulis opini, atau komentar di media, kadang bikin merah telinga pejabat atau dibenci pengusaha. Tapi, baginya itu konsekuensi menjadi jembatan tanpa keberpihakan.
Utang Filsafat
Pras mencatut, filsafat sebagai sebab ihwal produktivitas dan gayanya dalam menulis. Sebelum mengenal filsafat, ia berkecimpung sebagai pegawai pajak, perusahaan swasta, hingga menjadi peneliti bidang pajak dan kebijakan publik. Di sisi yang lain kesehariannya, ia kerap membaca pelbagai buku yang lahir dari Konsili Vatikan II dan Ajaran Sosial Gereja (ASG).
Kegemaran mendalami ASG ternyata merupakan obsesi sejak kecil. Bahkan, Pras kecil ingin sekali masuk seminari. Apa daya, sebagai putra semata wayang, ia tidak mendapat restu dari orangtua. Tapi tempat belajar teologi bukan hanya di seminari. Sejak sekolah menengah hingga kuliah, Pras belajar otodidak. Ia pun ada di banyak milis dan berdebat. “Saya debat dengan pendeta, juga di kampus lain, itu sebagai proses latihan saya dan cara membela iman.”
Bermodal banyaknya bacaan dan pengalaman inilah, Pras nekat menulis buku berjudul “Panggilan Berbasis Komunitas”. Lantas ketika buku itu nyaris selesai, ia datang ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta untuk bertemu Romo Franz Magnis Suseno SJ. Ia ingin, Romo Magnis menulis kata pengantar. Romo Magnis membaca buku itu. Sejurus Romo Magnis melempar tawaran, “Sebelum saya teruskan buku ini mendingan tes filsafat di sini.”
Usai perbincangan sebentar dengan Romo Magnis, Pras tanpa tedeng aling-aling langsung mengiyakan. Pada 2005, ia mulai belajar filsafat di STF Driyarkara. Pras merasa terkejut. Sebagai orang baru di dunia filsafat ia merasa kecil. Beruntung banyak rekan dan dosen yang membantunya.
Romo Herry Priyono kerap meminta Pras untuk menghadiri acara di pelbagai tempat. Pras kemudian mahfum, itu cara Romo Herry melatih keberaniannya untuk tampil di ruang publik. “Filsafat membuat pikiran menjadi terstruktur, menulis jadi produktif, mengajukan pertanyaan mencari jawaban. Saya bersyukur dan berutang pada filsafat.”
Masa studi di STF Driyarkara ini jugalah, Pras semakin mendalami ASG. Banyak buku hasil Konsili Vatikan II ia lahap. Kata pria asal Gunung Kidul ini, ada motif apologetik (membela iman) di balik gelora semangatnya mempelajari ajaran Gereja.
ASG, lanjut penulis buku “Ekonomi Insani” ini, jelas bervisi sosial, publik, demi kebaikan bersama. Dimensi pajak pun demikian. Karena itu secara tidak langsung ASG memberi warna dalam kiprah Pras di dunia kebijakan publik, politik, dan pajak. “Motif perjuangan saya; mengarusutamakan isu pajak dan demokrasi di ruang publik, agar bangsa kita maju, adil, dan makmur.”
Yustinus Prastowo
Istri : Caecilia Rika Widyasih
Anak : Christophorus Mahatma Dananjaya, Laurentia Acyuta Amaranggana
Pendidikan:
• STAN Spesialisasi Perpajakan Jakarta
• Magister Ilmu Filsafat STF Driyarkara Jakarta
• S2 Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia
Buku :
• Taxing Women: Analisis Kebijakan Perpajakan Indonesia terhadap Perempuan dari Perspektif Teori Kritis
• Antologi Perpajakan Indonesia
• Pengampu(n)an Pajak
• Ekonomi Insani
• Buku Pintar Menghitung Pajak
• Panduan Lengkap Pajak
• Manfaat dan Risiko Memiliki NPWP
Pekerjaan :
• Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis
• Anggota Penasihat Tim Reformasi Perpajakan dan Penguatan Reformasi Kepabeanan dan Cukai Kemenkeu
• Researcher Australia Indonesia Partnership for Economic Governance
• Dosen Program D IV PKN STAN Jakarta
• Pengajar Tetap Pendidikan Kurator Kementerian Hukum dan HAM
• Staf Pengajar di Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya Jakarta, Universitas Trilogi/STEKPI, Universitas Kristen Indonesia, dan Universitar Tarumanagara.
• Pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan
Edward Wirawan